Di masa orang tua kita, menikah di usia 25-an sering dianggap sebagai pencapaian besar dalam hidup. Mereka yang belum menikah di usia 30-an sering dicap "terlambat", bahkan menjadi sasaran pertanyaan keluarga besar saat kumpul Lebaran.
Namun, narasi itu mulai bergeser drastis di generasi yang tumbuh dengan internet, media sosial, dan krisis ekonomi berkepanjangan Gen Z. Di mata mereka, ketakutan terbesar bukanlah jadi jomblo selamanya, melainkan hidup miskin.
Bukan tanpa alasan. Gen Z tumbuh dalam bayang-bayang ketidakpastian ekonomi. Mereka menyaksikan generasi sebelumnya bekerja seumur hidup, namun masih harus berjuang membayar cicilan.
Mereka melihat inflasi yang tidak masuk akal, harga rumah yang melambung tinggi, dan realita bahwa satu pekerjaan saja seringkali tak cukup untuk hidup layak.
Akibatnya, Gen Z menjadi generasi yang sangat rasional dan realistis. Mereka tidak lagi melihat pernikahan sebagai milestone utama dalam hidup, tetapi lebih sebagai pilihan yang hanya layak dipertimbangkan jika kondisi finansial sudah benar-benar mapan.

Bagi mereka, menikah dalam kondisi keuangan yang tidak stabil bukan romantis, tapi sembrono. Biaya hidup saat ini sangat mahal, dari harga sewa, cicilan rumah, pendidikan anak, hingga asuransi dan kesehatan.
Semua itu membutuhkan perencanaan dan dana besar. Maka tak heran, banyak dari mereka yang memilih menunda pernikahan dan memprioritaskan penguatan ekonomi pribadi terlebih dahulu.
Lebih dari itu, banyak juga yang menyaksikan langsung bagaimana rumah tangga orang terdekat mereka retak karena persoalan uang. Cinta memang penting, tapi Gen Z sadar cinta tak bisa membayar listrik atau uang sekolah. Mereka lebih takut terjebak dalam pernikahan toksik yang disebabkan oleh tekanan finansial, ketimbang hidup mandiri dan lajang di usia 30-an.
Media sosial pun ikut memperkuat ketakutan ini. Gen Z terus menerus terpapar gaya hidup yang tampak "sempurna", rumah estetik, mobil keren, liburan ke luar negeri, dan brunch di kafe setiap akhir pekan. Meskipun mereka tahu tidak semuanya nyata, gambaran-gambaran ini membentuk standar hidup yang tinggi dan ambisius.
Bagi banyak dari mereka, menikah tanpa kesiapan finansial bisa berarti mengorbankan gaya hidup yang selama ini mereka perjuangkan. Mereka tak mau hidup pas-pasan, bergantung pada pasangan, atau menyesali keputusan karena terburu-buru memenuhi ekspektasi sosial.
Namun, ini tidak berarti Gen Z menolak pernikahan. Mereka tetap menginginkannya, tapi dengan cara dan waktu mereka sendiri. Pernikahan bukan lagi kewajiban, melainkan pilihan sadar yang baru akan dipilih saat kehidupan pribadi, karier, dan keuangan sudah stabil.
Ada pergeseran nilai yang signifikan di sini. Gen Z lebih menghargai kebebasan, pencapaian individu, dan pertumbuhan pribadi. Menikah terlalu dini dianggap bisa menghalangi potensi eksplorasi diri: entah itu pindah kota untuk karier, traveling keliling dunia, atau membangun bisnis sendiri.
Mereka ingin mengenal diri lebih dalam, mencapai versi terbaik diri mereka, sebelum membagi hidup dengan orang lain.
Pergeseran ini bukan bentuk egoisme, melainkan refleksi dari kenyataan hidup. Bagi Gen Z, kemiskinan adalah musuh nyata. Dan mereka tahu, membangun kehidupan finansial yang aman butuh waktu, strategi, dan ketekunan.
Daripada menikah hanya karena usia, Gen Z memilih untuk membangun pondasi ekonomi yang kuat. Mereka tidak takut hidup sendiri. Yang mereka takutkan adalah hidup dalam ketergantungan, ketidakpastian, dan keterbatasan. Karena di tengah dunia yang semakin tak bisa diprediksi, keamanan finansial adalah bentuk kebebasan sejati.