suara hijau

Kegigihan Nelayan Pati di Balik Rasa dan Mutu Laut Terbaik

Lintang Siltya Utami | Choirunnisa Nuraini
Kegigihan Nelayan Pati di Balik Rasa dan Mutu Laut Terbaik
Ilustrasi Nelayan dan Ikan (Pexels/Mike Mijares)

Kabupaten Pati dikenal luas sebagai salah satu daerah pesisir yang hidup dari laut. Nama Pati sering diasosiasikan dengan ikan pindang, bandeng presto, hingga hasil olahan laut yang menembus pasar luar negeri. 

Namun, di balik citra hasil laut yang melimpah itu, ada realitas keras yang jarang dibicarakan laut tidak pernah memberi hasil dengan cara yang mudah. Setiap ikan tongkol, manyung, kuniran, rajungan, dan udang yang sampai ke meja makan adalah hasil dari kegigihan nelayan yang bergelut dengan risiko, cuaca, dan ketidakpastian.

Bagi nelayan Pati, terutama di wilayah Juwana, melaut bukan sekadar rutinitas, tetapi pertaruhan. Mereka berangkat saat fajar bahkan tengah malam, membaca tanda-tanda alam yang tidak tertulis di buku manapun. 

Angin, arus, dan gelombang menjadi bahasa sehari-hari. Di saat cuaca ekstrem semakin sering terjadi, nelayan tetap harus memutuskan berangkat atau pulang tanpa hasil. Pilihan itu tidak pernah netral, karena di rumah ada keluarga yang menunggu pemasukan.

Ironisnya, ketika hasil tangkapan melimpah, harga tidak selalu berpihak pada nelayan. Pasar sering kali menentukan nilai ikan tanpa mempertimbangkan risiko yang telah mereka lalui. 

Inilah paradoks kehidupan nelayan Pati bekerja di sektor yang menopang pangan dan ekonomi, tetapi tetap berada di posisi paling rentan dalam rantai produksi.

Juwana Sentra Perikanan antara Harapan dan Tekanan

Juwana menjadi jantung perikanan Kabupaten Pati. Pelabuhan, tempat pelelangan ikan, dan industri pengolahan tumbuh berdampingan dengan permukiman nelayan. 

Dari kawasan inilah berbagai jenis ikan seperti tenggiri dan bawal hitam diolah menjadi ikan beku berkualitas ekspor.

Produk-produk ini menembus pasar internasional, membawa nama Pati ke luar negeri. Namun, pertanyaannya seberapa besar manfaat itu kembali ke nelayan?

Di Juwana, nelayan tidak hanya dituntut untuk menangkap ikan, tetapi juga menjaga kualitas hasil laut agar layak masuk pasar modern.

Penanganan pascatangkap menjadi krusial. Kesalahan kecil dalam penyimpanan bisa menurunkan harga drastis. 

Di sisi lain, fasilitas penyimpanan dingin dan akses teknologi belum sepenuhnya merata. Banyak nelayan masih bergantung pada sistem lama, sementara tuntutan pasar terus meningkat.

Tekanan juga datang dari perubahan ekologi laut. Penurunan stok ikan di beberapa titik memaksa nelayan melaut lebih jauh, membutuhkan biaya bahan bakar lebih besar.

Belum lagi persoalan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, yang dalam jangka panjang justru merugikan nelayan sendiri.

Kegigihan nelayan Pati bukan hanya soal fisik, tetapi juga soal bertahan di tengah sistem yang belum sepenuhnya adil.

Dari Laut ke Produk Bernilai Tambah Ketahanan yang Perlu Dijaga

Keunggulan Pati tidak hanya terletak pada hasil tangkapan, tetapi juga pada kemampuan mengolahnya menjadi produk bernilai tambah. Ikan bandeng presto, pindang, hingga olahan rajungan menjadi bukti bahwa laut Pati tidak berhenti di dermaga.

Industri makanan rumahan dan skala menengah tumbuh, menyerap tenaga kerja, dan menggerakkan ekonomi lokal. Namun, fondasi semua itu tetap nelayan.

Tanpa nelayan yang gigih, rantai produksi akan rapuh. Sayangnya, posisi nelayan sering kali hanya dianggap sebagai pemasok bahan baku, bukan aktor utama. 

Padahal, menjaga kualitas laut dan hasil tangkapan membutuhkan dukungan nyata akses modal, perlindungan harga, serta kebijakan yang berpihak pada keberlanjutan. Jika nelayan terus ditekan tanpa perlindungan, maka keunggulan hasil laut Pati akan kehilangan akarnya.

Kisah nelayan Pati adalah kisah tentang daya tahan. Mereka tidak hanya melawan ombak, tetapi juga ketimpangan struktural. Mereka menjaga tradisi melaut sambil beradaptasi dengan tuntutan pasar global. 

Kegigihan ini seharusnya tidak dianggap sebagai hal yang wajar lalu diabaikan. Ia perlu dihargai, diperkuat, dan dilindungi. Tanpa mereka kita pun tak bisa merasakan enaknya berbagai masakan dan makanan hasil laut.

Pada akhirnya, hasil laut terbaik Pati bukan semata soal rasa atau kualitas ekspor. Ia adalah cerminan dari kerja keras nelayan yang terus bertahan meski laut semakin menantang dan sistem belum sepenuhnya berpihak. 

Jika kita menikmati pindang, kepiting rajungan atau ikan beku dari Pati, maka kita juga sedang menikmati hasil dari kegigihan yang sering tidak terlihat.

Menjaga nelayan berarti menjaga masa depan laut Pati dan sekitarnya itu sendiri.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak