Biasanya, demo di jalanan selalu identik dengan spanduk besar bertuliskan kalimat panjang. Kalimatnya kaku, bahasanya formal, warnanya pun cenderung hitam-putih. Tapi ketika giliran Gen Z turun ke jalan, wajah demo jadi berbeda sama sekali.
Poster yang mereka bawa terlihat estetik, penuh warna, dan sarat kreativitas. Sekilas, poster itu tampak seperti konten yang bisa langsung masuk ke feed Instagram atau bahkan trending di TikTok. Namun jangan salah, di balik desain yang manis ada pesan yang tidak main-main: kritik sosial.
Kalimat-kalimat seperti “KAMI BUKAN MAKAR, KAMI MAWAR”, “Minta dipilih, minta didengar. Sudah dipilih, gamau mendengar. Awokwok”, atau “Rakyat secantik ini harus dikhianati negara” menjadi bukti bagaimana Gen Z punya gaya komunikasi yang unik.
Mereka bisa menyatukan bahasa gaul, humor receh, dan kritik politik dalam satu rangkaian kata sederhana.
![Massa yang tergabung dalam Aliansi Perempuan Indonesia (API) saat melakukan aksi di depan DPR RI, Jakarta, Rabu (3/9/2025). [Suara.com/Alfian Winanto]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/09/03/62893-demo-di-dpr-demo-perempuan-di-dpr-aliansi-perempuan-indonesia-api.jpg)
Warna sebagai Identitas Visual
Salah satu hal yang membuat poster Gen Z berbeda adalah pemilihan warna. Alih-alih monoton, mereka membawa nuansa cerah yang langsung mencuri perhatian.
Dua warna yang paling menonjol adalah hijau dan pink. Kombinasi ini menciptakan atmosfer yang jarang terlihat dalam aksi-aksi politik sebelumnya.
Harald Braem dalam buku The Power of the Colours: Meaning & Symbolism menyebutkan bahwa “Green is life” yang merujuk pada tumbuhan hijau yang menjadi sumber makanan makhluk hidup.
Hijau melambangkan harapan, kehidupan baru, dan semangat perubahan. Warna ini memberi kesan optimistis, seolah ada keyakinan bahwa masa depan bisa lebih baik jika ada keberanian untuk bersuara.
Alnasuan dalam Color Psychology menyebutkan bahwa pink biasanya dikaitkan dengan kelembutan, kasih sayang, dan energi muda. Ketika dibawa dalam aksi protes, pink justru memberi nuansa hangat dan inklusif. Ia menunjukkan bahwa kritik tidak harus selalu kaku dan keras, tapi bisa juga hadir dengan wajah yang ramah dan mengundang.
Kombinasi hijau dan pink membuat poster terlihat lebih hidup. Di mata Gen Z, estetika itu penting, karena pesan bukan hanya soal isi, tapi juga soal bagaimana ia dikemas agar mudah diterima dan diingat.
Bahasa sebagai Senjata
Gen Z adalah generasi yang tumbuh dengan budaya digital. Meme, plesetan, dan bahasa ringan sudah jadi makanan sehari-hari di media sosial. Maka tidak heran, gaya komunikasi itu terbawa ke jalanan.
Tambahan kata “awokwok” pada akhir kritik, atau permainan kata seperti “makar” yang diubah menjadi “mawar”, adalah contoh bagaimana humor bisa dijadikan medium serius.
Orang yang membaca mungkin tertawa dulu, tapi kemudian menyadari bahwa di balik kelucuan itu ada kritik tajam yang sedang diarahkan. Humor menjadi cara untuk memecah ketegangan sekaligus menyampaikan pesan dengan cara yang lebih cair.
Estetika yang Mudah Viral
![Massa yang tergabung dalam Aliansi Perempuan Indonesia (API) saat melakukan aksi di depan DPR RI, Jakarta, Rabu (3/9/2025). [Suara.com/Alfian Winanto]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/09/03/12614-demo-di-dpr-demo-perempuan-di-dpr-aliansi-perempuan-indonesia-api.jpg)
Bagi Gen Z, visual bukan sekadar pelengkap, tapi kunci. Poster yang mereka buat tidak asal coret, melainkan benar-benar dipikirkan dari sisi desain. Font yang rapi, warna pastel, tata letak yang estetik, semua terasa seperti karya grafis yang bisa diunggah ke media sosial.
Karena itulah poster Gen Z punya daya sebarkan tinggi. Foto-foto mereka mudah viral, dibagikan ulang di Instagram, Twitter, hingga TikTok. Poster itu menjadi “konten” sekaligus “protes”, mengaburkan batas antara dunia online dan dunia offline. Kritik sosial pun menemukan jalannya sendiri: dari jalanan menuju linimasa.
Identitas Politik Gen Z
Apa yang dilakukan Gen Z dengan poster mereka memperlihatkan sesuatu yang lebih dalam: identitas politik yang khas. Mereka menolak cara lama yang kaku dan monoton, lalu menggantinya dengan cara yang lebih dekat dengan keseharian mereka. Estetika, humor, dan simbol visual menjadi bahasa baru yang mereka ciptakan.
Poster bukan hanya sekadar alat untuk menyuarakan aspirasi, tapi juga representasi diri. Dengan desain yang indah, warna yang kuat, dan bahasa yang akrab, mereka menyampaikan bahwa politik bisa dibicarakan dengan cara yang kreatif dan ringan, tanpa kehilangan maknanya.
Poster demo Gen Z memberi pelajaran penting: kritik sosial tidak selalu harus hadir dalam bentuk serius, kaku, atau gelap. Dengan sentuhan warna hijau yang penuh harapan dan pink yang hangat, humor ringan, serta desain visual yang menarik, mereka menciptakan gaya baru dalam menyuarakan aspirasi.
Ringan di mata, tapi berat di makna, itulah cara Gen Z berbicara soal masa depan. Poster mereka bukan hanya catatan perlawanan, tetapi juga karya estetik yang menunjukkan bahwa politik dan kreativitas bisa berjalan berdampingan.