NTT dan Bali Dilanda Banjir, Apa Kabar Tata Ruang Kita?

Hikmawan Firdaus | Akrima Amalia
NTT dan Bali Dilanda Banjir, Apa Kabar Tata Ruang Kita?
Ilustrasi banjir.(Unsplash/Wes Warren)

Baca 10 detik
  • Alih fungsi lahan, hutan gundul, dan izin pembangunan sembarangan jadi pemicu utama.
  • Banjir adalah alarm kebijakan: tanpa reformasi tata ruang, bencana akan terus berulang.
  • Banjir di NTT dan Bali bukan sekadar ulah alam, tapi akibat tata ruang yang amburadul.

Banjir bandang kembali menghantam Indonesia. Kali ini, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Bali yang menjadi sorotan. Air bah tiba-tiba datang, menghanyutkan rumah, merendam sawah, bahkan merenggut nyawa. Setiap kali berita banjir tersiar, kita seakan menonton film lama yang diputar ulang: gambar warga mengungsi, anak-anak menangis di pelukan ibunya, pejabat turun meninjau sambil berfoto, lalu berita itu perlahan tenggelam, sebelum akhirnya banjir berikutnya datang lagi.

Pertanyaannya: sampai kapan kita membiarkan pola yang sama berulang? Apakah banjir ini murni ulah alam, atau ada campur tangan tata ruang kita yang semrawut?

Banjir yang Tidak Lagi Mengejutkan

Ilustrasi Ikon Sosial Media(Unsplash/Igor Omilaev)
Ilustrasi Ikon Sosial Media(Unsplash/Igor Omilaev)

Beberapa hari terakhir, curah hujan ekstrem mengguyur wilayah Indonesia bagian timur. Di NTT, banjir bandang melanda sejumlah kabupaten. Sementara di Bali, air bah meluap ke pemukiman, memutus akses jalan, hingga melumpuhkan aktivitas warga. Media sosial dipenuhi video orang-orang berlarian menyelamatkan diri, air cokelat mengalir deras membawa potongan kayu dan lumpur.

Kita tahu NTT adalah daerah dengan kontur tanah perbukitan dan rentan longsor. Kita juga tahu Bali punya daerah resapan yang makin tergerus oleh pembangunan hotel, vila, dan infrastruktur pariwisata. Jadi, meskipun hujan deras memang menjadi pemicu, sulit rasanya menyebut bencana ini sebagai "tidak terduga". Justru banjir ini seperti sebuah pengingat: ada yang salah dalam cara kita membangun dan mengelola ruang.

Tata Ruang yang Lupa pada Alam

Ilustrasi tata ruang(Unsplash/Sebastian Hages)
Ilustrasi tata ruang(Unsplash/Sebastian Hages)

Dalam teori perencanaan kota, tata ruang seharusnya jadi panduan utama: mana kawasan yang boleh dibangun, mana yang harus dilindungi sebagai daerah resapan, mana yang rawan bencana sehingga tidak boleh menjadi permukiman. Namun dalam praktiknya, aturan sering kali hanya menjadi dokumen yang tak lebih dari tumpukan kertas.

Di banyak daerah, izin pembangunan keluar begitu saja, tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan. Di Bali, sawah produktif berubah menjadi resort mewah. Di NTT, kawasan hutan ditebang untuk perkebunan atau permukiman baru. Sungai menyempit karena bantaran dipadati rumah. Hutan gundul membuat air hujan meluncur deras tanpa penahan. Lalu saat bencana datang, kita menyalahkan curah hujan yang "di luar normal".

Padahal, banjir hanyalah konsekuensi logis dari tata ruang yang abai.

Banjir, Sebuah Alarm Kebijakan

Ilustrasi alarm(Unsplash/insung yoon)
Ilustrasi alarm(Unsplash/insung yoon)

Ada satu hal menarik: banjir selalu disebut sebagai "bencana alam". Padahal, apakah benar sepenuhnya salah alam? Alam memang menurunkan hujan. Tetapi manusialah yang menentukan ke mana air itu akan pergi.

Jika resapan masih ada, air akan meresap. Jika hutan dijaga, tanah akan menahan. Jika sungai dilebarkan, aliran air akan lebih terkendali. Namun karena kita sering kali menutup mata demi pembangunan jangka pendek, banjir akhirnya menjadi harga yang harus dibayar.

Banjir, dalam arti ini, bukan sekadar air bah. Ia adalah alarm kebijakan. Ia mengingatkan kita bahwa pembangunan yang hanya mengejar keuntungan ekonomi, tanpa menimbang daya dukung lingkungan, pada akhirnya akan berbalik merugikan masyarakat.

Belajar dari Kota Lain

Ilustrasi globe(unsplash.com/Kyle Glenn)
Ilustrasi globe(unsplash.com/Kyle Glenn)

Beberapa kota di dunia berhasil menekan risiko banjir dengan manajemen ruang yang serius. Singapura, misalnya, meski kecil dan padat, punya sistem drainase yang terencana rapi. Mereka membuat detention pond: danau buatan yang berfungsi menampung air hujan sebelum dialirkan ke laut. Jepang punya underground flood tunnel raksasa di Tokyo, yang jadi penopang saat hujan ekstrem melanda.

Kita memang tidak bisa serta-merta menyalin mentah-mentah. Kondisi geografis dan sosial berbeda. Tetapi setidaknya ada satu pesan: banjir bisa dikendalikan jika tata ruang diperlakukan serius, bukan sekadar formalitas.

Solidaritas Warga yang Selalu Hadir

Ilustrasi luka(unsplash.com/Diana Polekhina)
Ilustrasi luka(unsplash.com/Diana Polekhina)

Setiap bencana selalu menghadirkan sisi lain: solidaritas. Di NTT maupun Bali, relawan berdatangan, bantuan makanan dikirim, posko darurat didirikan. Media sosial menjadi jalur donasi, orang-orang mengulurkan tangan meski tidak kenal siapa yang ditolong.

Solidaritas ini indah, tetapi jangan sampai membuat kita lupa bahwa akar masalah tetap ada di kebijakan. Kita tidak bisa selamanya hanya mengandalkan gotong royong warga setiap kali banjir datang. Solidaritas harus berjalan seiring dengan reformasi tata ruang.

Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Ilustrasi pertanyaan(unsplash.com/Tim Mossholder)
Ilustrasi pertanyaan(unsplash.com/Tim Mossholder)

Sebagai warga, mungkin kita tidak punya kuasa langsung untuk menyusun rencana tata ruang. Namun kita tetap bisa bersuara. Mendesak pemerintah daerah lebih transparan soal izin pembangunan, menolak alih fungsi lahan yang merugikan, atau sekadar menjaga lingkungan sekitar agar tidak memperparah banjir.

Di tingkat kebijakan, pemerintah seharusnya menjadikan banjir ini sebagai momentum untuk berbenah. Evaluasi ulang tata ruang, perketat izin pembangunan, libatkan ahli lingkungan dalam setiap keputusan. Jangan tunggu bencana lebih besar datang baru kita menyesal.

Banjir di NTT dan Bali hanyalah satu episode dari serial panjang bencana di Indonesia. Jika kita tidak belajar, maka serial ini akan terus berlanjut. Mungkin lokasi berbeda. Hari ini NTT, besok bisa Jawa, lusa Sumatra. Tetapi alurnya sama.

Maka, pertanyaan di judul artikel ini penting untuk kita renungkan: Apa kabar tata ruang kita?
Jika jawabannya masih sama: amburadul, penuh kompromi, dan abai pada alam. Maka jangan heran kalau berita banjir akan terus menjadi tontonan rutin di negeri ini.

Dan kita, lagi-lagi, hanya bisa meneteskan air mata sambil bertanya: kenapa selalu begini?

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak