Bencana yang Berulang, Apakah Kita Benar-Benar Siap Menghadapi Hujan Deras?

Hikmawan Firdaus | Mutami Matul Istiqomah
Bencana yang Berulang, Apakah Kita Benar-Benar Siap Menghadapi Hujan Deras?
ilustrasi banjir.[Freepik.com/freepik]

Baca 10 detik
  • Pemerintah cenderung reaktif, sementara langkah pencegahan dan edukasi kebencanaan masih minim.
  • Jika perilaku dan kebijakan tidak berubah, banjir dan longsor akan terus berulang setiap musim hujan.
  • Hujan bukan penyebab utama bencana; kelalaian manusia dan buruknya tata kelola lingkunganlah yang berperan.

Hujan di negeri ini seharusnya menjadi kabar baik. Ia membawa kesejukan, menyuburkan tanah, dan menghidupkan sawah serta ladang. Namun, entah sejak kapan, hujan deras justru selalu menimbulkan rasa cemas. Setiap kali awan gelap menggantung di langit, sebagian orang mulai gelisah, takut air meluap, takut tanah longsor, takut kehilangan rumah. Seolah-olah hujan yang seharusnya menjadi berkah kini lebih sering terasa sebagai ancaman.

Baru-baru ini, Bali dan Nusa Tenggara Timur dilanda banjir dan longsor. Rumah hanyut, jalan terputus, bahkan nyawa pun melayang. Berita semacam ini bukan hal baru. Dari tahun ke tahun, narasi yang muncul hampir sama: hujan deras turun, sungai meluap, banjir melanda, longsor menimbun pemukiman, korban berjatuhan, bantuan berdatangan, lalu perlahan berita itu tenggelam. Siklusnya terasa begitu akrab, seperti ritual tahunan yang tak pernah selesai.

Yang membuat miris, pola bencana kita seakan-akan tidak pernah berubah. Begitu hujan mengguyur beberapa hari, jalan-jalan tergenang, rumah-rumah terendam, dan warga terpaksa mengungsi. Ketika air surut, kita menyaksikan kerusakan yang ditinggalkan: sekolah yang tidak bisa dipakai, sawah yang hancur, dan ribuan orang yang harus memulai hidup dari nol. Lalu, ketika rasa iba sudah reda, masyarakat sibuk dengan rutinitas masing-masing, seakan-akan bencana itu tidak pernah terjadi. Hingga musim hujan berikutnya, kita terkejut lagi oleh peristiwa yang serupa.

Mengapa kita tidak pernah siap? Pertanyaan ini sebenarnya sudah sering dilontarkan, tapi jawabannya selalu sama. Kita hidup di negara dengan curah hujan tinggi, tetapi manajemen lingkungan kita buruk. Hutan yang dulu berfungsi sebagai penyangga kini beralih fungsi menjadi kebun sawit, ladang tambang, atau perumahan baru. Sungai yang seharusnya bersih kini menjadi tempat pembuangan sampah. Drainase perkotaan dibiarkan mampet, sehingga hujan sebentar saja bisa membuat jalan tergenang. Semua ini bukan sekadar kelalaian, tapi juga cermin dari budaya kita yang kerap menganggap bencana sebagai takdir belaka.

Padahal, data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana menunjukkan ribuan kejadian setiap tahun, dan hampir sembilan puluh persen di antaranya adalah bencana hidrometeorologi. Banjir dan longsor selalu menempati urutan teratas. Kerugiannya bukan hanya materi, tetapi juga korban jiwa, trauma, dan terputusnya akses masyarakat terhadap pendidikan maupun pekerjaan. Angka-angka itu seharusnya cukup untuk membuat kita sadar bahwa ada masalah serius dalam cara kita memperlakukan alam.

Namun yang terjadi justru sebaliknya. Pemerintah masih sering bersikap reaktif. Setelah bencana, barulah logistik dikirim, tenda darurat didirikan, dan bantuan disalurkan. Tapi sebelum itu, langkah-langkah preventif jarang benar-benar serius dijalankan. Drainase kota jarang dibersihkan secara berkala, peringatan dini tidak selalu berfungsi, bahkan edukasi kebencanaan di sekolah pun masih minim. Di sisi lain, masyarakat juga tidak luput dari kesalahan. Masih banyak orang yang membuang sampah sembarangan, menutup resapan air dengan semen, atau mendirikan bangunan di bantaran sungai.

Ketika bencana datang, kita sering sibuk mencari kambing hitam. Ada yang menyalahkan pemerintah, ada yang menyalahkan masyarakat, ada pula yang hanya pasrah mengatakan ini sudah kehendak Tuhan. Padahal, bencana tidak pernah murni disebabkan oleh alam. Ada peran besar manusia di balik setiap banjir dan longsor yang melanda negeri ini. Jika kita menutup mata terhadap kenyataan itu, maka kita akan terus menjadi korban dari ulah kita sendiri.

Belajar dari negara lain, kita sebenarnya punya banyak contoh. Jepang misalnya, negeri yang akrab dengan gempa bumi dan tsunami. Meski bencana datang hampir setiap saat, korban bisa ditekan seminimal mungkin karena masyarakat sudah terbiasa berlatih kesiapsiagaan. Jalur evakuasi jelas, sistem peringatan dini berfungsi, dan pendidikan kebencanaan sudah dimulai sejak taman kanak-kanak. Bayangkan jika sistem serupa diterapkan dengan serius di Indonesia. Anak-anak akan tahu apa yang harus dilakukan ketika banjir datang, masyarakat tidak lagi panik saat tanah longsor terjadi, dan korban bisa jauh lebih sedikit.

Di Indonesia, upaya-upaya semacam itu memang ada, tetapi sering hanya menjadi formalitas. Sirene peringatan dipasang tapi tidak dirawat, jalur evakuasi ditandai tapi tertutup bangunan liar, dan simulasi bencana hanya dilakukan sekali lalu dilupakan. Semua ini menunjukkan betapa kita belum benar-benar menempatkan bencana sebagai ancaman serius yang membutuhkan kesiapan nyata.

Padahal, hujan akan selalu datang. Ia tidak bisa dihentikan, tidak bisa dilawan, dan tidak bisa dinegosiasikan. Yang bisa kita lakukan hanyalah belajar hidup berdampingan dengannya. Caranya dengan menjaga lingkungan, memperbaiki sistem drainase, merawat hutan, serta membangun budaya masyarakat yang lebih peduli pada alam. Tidak kalah penting, pemerintah juga harus konsisten menegakkan aturan tata ruang, bukan hanya sibuk memberikan izin pembangunan tanpa mempertimbangkan dampak ekologis.

Refleksi ini sebenarnya sederhana. Kalau kita tidak berubah, maka yang berubah hanyalah angka: jumlah korban, besarnya kerugian, dan panjangnya daftar daerah yang terkena dampak. Berita banjir dan longsor akan terus muncul, tahun demi tahun, hingga kita bosan membacanya. Namun di balik setiap berita, ada tangisan nyata dari orang-orang yang kehilangan rumah, sawah, bahkan orang tercinta.

Bencana seharusnya menjadi guru. Ia datang membawa pesan bahwa ada sesuatu yang salah dengan cara kita hidup. Jika setiap kali guru itu datang kita menutup telinga, maka kita hanya akan mengulang kesalahan yang sama. Kita tidak bisa mengendalikan hujan, tetapi kita bisa mengendalikan perilaku kita. Kita bisa belajar untuk lebih peduli pada lingkungan, lebih disiplin menjaga kebersihan, lebih berani menuntut kebijakan yang berpihak pada keselamatan rakyat.

Hujan tidak pernah salah. Ia adalah bagian dari siklus alam yang mendatangkan kesuburan. Yang membuatnya berubah menjadi bencana adalah sikap kita sendiri yang abai. Sudah waktunya berhenti menganggap bencana sebagai takdir yang tak bisa dihindari. Justru dengan mengakuinya sebagai hasil dari keputusan dan perilaku kita, barulah kita bisa mulai memperbaiki keadaan.

Karena kalau tidak, tahun depan kita akan kembali membaca berita yang sama: banjir di sana, longsor di sini, korban jiwa berjatuhan, dan masyarakat kembali terpuruk. Siklus itu akan terus berulang, sampai kita berani menjawab pertanyaan ini dengan jujur: apakah kita benar-benar siap menghadapi hujan deras, atau hanya berpura-pura siap?

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak