Tepuk Sakinah Viral, Tapi Sudahkah Kita Paham Maknanya?

Hernawan | Mutami Matul Istiqomah
Tepuk Sakinah Viral, Tapi Sudahkah Kita Paham Maknanya?
ilustrasi pernikahan (freepik.com/bristekjegor)

Beberapa hari terakhir, jagat media sosial kita diramaikan oleh sebuah fenomena unik: Tepuk Sakinah. Berawal dari sebuah acara pernikahan yang menampilkan yel-yel penuh semangat itu, mendadak semua orang ramai membicarakannya. Ada yang bilang lucu, ada yang merasa gemas, bahkan ada yang sampai ikut membuat konten menirukannya. Tak butuh waktu lama, Tepuk Sakinah pun menyebar dengan cepat, diulang-ulang, dihafalkan, dan diparodikan.

Kalau dilihat sepintas, memang tidak ada yang salah. Kita memang hidup di zaman ketika segala sesuatu bisa viral dalam hitungan detik. Dan masyarakat kita dikenal kreatif, mudah sekali menirukan hal-hal yang dianggap seru. Namun, di balik keseruan itu, saya merasa ada sesuatu yang perlu direnungkan lebih dalam: apakah kita betul-betul memahami makna dari kata sakinah itu sendiri? Atau jangan-jangan kita hanya mendengar tepuk itu lewat telinga, menirukan karena enak didengar dan mudah ditertawakan, tanpa sempat merenungkan arti yang sebenarnya?

Karena jujur saja, sebuah tepukan tangan tidak akan pernah punya arti apa-apa kalau tidak dibarengi dengan pemahaman makna yang sesungguhnya.

Viral yang Mudah, Makna yang Sering Terlupakan

Fenomena viral bukan hal baru. Hampir setiap minggu ada saja hal baru yang ramai dibicarakan: entah lagu pendek, dialog lucu, tarian unik, sampai kebiasaan-kebiasaan baru yang kadang bertahan hanya sebentar. Tepuk Sakinah masuk dalam kategori itu. Ringan, mudah ditiru, dan membawa suasana gembira.

Tapi begini, tidak semua hal yang viral itu buruk. Kadang ia bisa jadi pintu masuk untuk mengenalkan sesuatu yang sebenarnya penting. Persoalannya, apakah orang mau berhenti sejenak untuk menggali lebih dalam, atau hanya sekadar ikut-ikutan?

Di sinilah saya merasa perlu mengajak kita semua merenung. Karena sakinah itu bukan sekadar kata manis yang ditempelkan pada sebuah tepukan. Ia adalah doa, ia adalah tujuan, bahkan ia adalah cita-cita setiap pasangan yang memasuki gerbang pernikahan.

Apa Itu Sakinah?

Kita sering mendengar istilah rumah tangga sakinah. Tapi apakah kita benar-benar tahu artinya?

Sakinah berasal dari bahasa Arab yang berarti ketenangan, ketenteraman, kedamaian. Dalam konteks rumah tangga, sakinah adalah kondisi ketika suami dan istri mampu saling menenangkan, saling menguatkan, dan saling menutupi kekurangan satu sama lain. Ia bukan sekadar romantis ala film, bukan juga sekadar senyum manis di depan kamera.

Sakinah adalah ketika ada badai masalah, pasangan tetap berusaha saling menggenggam tangan. Sakinah adalah ketika salah satu lelah, yang lain berusaha menenangkan. Sakinah adalah ketika perbedaan tidak jadi alasan perpisahan, tetapi dijadikan kesempatan untuk saling memahami.

Inilah makna yang sering kali terlupakan ketika kita terlalu sibuk menirukan “tepuk-tepuk” yang viral. Padahal tanpa pemahaman, tepukan itu hanya akan jadi hiburan semata, tanpa mampu mengubah apa pun dalam kehidupan rumah tangga.

Antara Hiburan dan Alarm

Kadang saya berpikir, untuk apa sebuah tepukan seperti itu harus dihafalkan oleh setiap pasangan? Apakah rumah tangga akan otomatis sakinah hanya karena hafal tepukannya? Tentu tidak.

Namun di sisi lain, saya juga melihat sisi positifnya. Mungkin justru fenomena ini bisa jadi alarm keras bagi kita semua. Betapa banyak pernikahan yang digelar dengan meriah, tapi baru beberapa tahun bahkan bulan kemudian harus berakhir dengan perpisahan. Angka perceraian di negeri ini bukanlah angka kecil. Dan seringkali penyebabnya adalah hal-hal sederhana yang tidak mampu dihadapi dengan kepala dingin: masalah komunikasi, ekonomi, campur tangan keluarga, atau sekadar rasa lelah yang tidak pernah terucapkan.

Maka ketika Tepuk Sakinah muncul, meski awalnya hanya sebagai hiburan, saya ingin melihatnya sebagai alarm. Sebuah pengingat yang bisa membuat pasangan muda kembali menoleh: sudahkah kita benar-benar memahami makna sakinah dalam rumah tangga kita?

Pengalaman Pribadi: Lima Tahun yang Lalu

Kalau saya pribadi, menikah lima tahun silam, belum ada istilah Tepuk Sakinah. Bahkan saya baru tahu istilah itu belakangan setelah viral. Kadang saya merasa beruntung, karena tidak ada tuntutan untuk menghafalkan sebuah yel-yel ketika baru menikah. Yang ada hanyalah wejangan orang tua, doa dari para tetangga, dan nasihat sederhana yang intinya sama: jaga rumah tangga baik-baik.

Namun di saat yang sama, saya juga merasa ini tamparan keras. Kenapa? Karena fenomena Tepuk Sakinah justru lahir di era ketika pernikahan begitu mudah dijalani, tapi juga begitu mudah diakhiri. Seakan-akan ada yang ingin mengingatkan: hei, sakinah itu bukan sekadar janji di pelaminan, tapi perjuangan seumur hidup.

Jadi meski saya tidak pernah menghafalkan Tepuk Sakinah, saya ingin memaknainya sebagai doa. Bahwa setiap rumah tangga, termasuk rumah tangga saya sendiri, harus terus berusaha merawat ketenangan dan ketenteraman itu.

Realita: Sakinah Itu Perjuangan

Mari kita jujur. Rumah tangga tidak pernah sepenuhnya indah. Ada hari-hari penuh tawa, ada juga hari-hari penuh air mata. Ada saatnya kita merasa dekat sekali dengan pasangan, tapi ada pula saat ketika kita merasa jauh.

Di titik itulah sakinah diuji. Apakah kita bisa tetap saling merangkul? Apakah kita mampu menahan ego masing-masing? Apakah kita berani untuk meminta maaf lebih dulu, meskipun merasa tidak sepenuhnya salah?

Sakinah bukan berarti tidak ada masalah. Justru sakinah lahir dari kemampuan menghadapi masalah bersama. Jadi kalau ada pasangan yang hanya bisa kompak saat menirukan tepuk tangan, tapi tidak bisa kompak saat menghadapi cobaan, itu artinya mereka belum benar-benar memahami sakinah.

Dari Tepukan Menuju Tindakan

Saya tidak ingin menyepelekan Tepuk Sakinah. Justru saya ingin mengajak kita melihat lebih jauh. Tepuk tangan boleh saja, tidak ada salahnya. Bahkan bisa jadi cara baru untuk menyemangati pasangan. Tapi jangan sampai berhenti di situ.

Karena sekali lagi, tepukan itu tidak akan ada artinya tanpa makna. Yang harus kita perdalam adalah isi hatinya, bukan sekadar bunyi tangannya. Kita harus menjadikan sakinah sebagai tujuan nyata dalam rumah tangga, bukan sekadar kata manis dalam sebuah yel-yel.

Jadi, mari kita gunakan momentum viral ini sebagai pengingat. Bukan untuk saling menertawakan, tetapi untuk saling memperbaiki.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak