Baru saja duduk di kursi Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa langsung bikin gebrakan. Dana Rp200 triliun yang selama ini parkir di Bank Indonesia, kini dialihkan ke lima bank Himbara—BRI, BNI, BTN, Mandiri, dan BSI—melalui skema Deposito On Call. Alasannya agar likuiditas bank lebih longgar, kredit bisa mengalir ke sektor riil, dan roda ekonomi kembali berputar.
Negara punya uang, bank butuh dana, maka pertemukan keduanya. Tapi di dunia politik, langkah Purbaya justru terlihat nekat. Ia baru saja menjabat, belum membangun modal kepercayaan publik, sudah berani mengeluarkan kebijakan dengan angka fantastis yang gampang sekali dipelintir jadi bahan kritik.
Publik awam melihat Rp200 triliun bukan sebagai instrumen makroekonomi, tapi sebagai uang rakyat. Bayangan yang muncul di kepala orang adalah, bukannya buat sekolah, rumah sakit, atau subsidi, kok malah dikasih ke bank?
Wajar saja di era keterbukaan informasi, masyarakat semakin kritis soal penggunaan anggaran. Sialnya, Purbaya memulai langkah dengan isu yang sangat sensitif, yaitu keuangan negara. Artinya, ia sedang diuji soal transparansi, padahal belum seminggu ia duduk di kursi yang panas itu.
Keputusan ini seolah jadi “batu uji” bagi karier politik Purbaya. Jika sukses, ia bisa dianggap sebagai teknokrat visioner yang berani mengambil risiko di awal demi perbaikan ekonomi jangka panjang. Tapi kalau gagal, cap “pemboros uang rakyat” bisa langsung menempel di dahinya.
Lebih gawat lagi, publik sering lupa bahwa kebijakan ekonomi tidak pernah instan. Kredit yang cair hari ini mungkin baru terasa dampaknya enam bulan kemudian.
Tapi persepsi publik berjalan lebih cepat, begitu harga bahan pokok naik atau lapangan kerja tak kunjung bertambah, kebijakan Rp200 triliun ini bisa dianggap blunder. Dan Purbaya-lah yang akan disalahkan, meski mungkin bukan sepenuhnya kesalahannya.
Posisi Menteri Keuangan selalu serba sulit. Dari satu sisi, pasar keuangan dan kalangan bisnis menuntut kebijakan yang pragmatis, bagaimana caranya uang negara bisa memutar roda ekonomi lebih cepat.
Dari sisi lain, rakyat biasa berharap anggaran negara langsung dirasakan, misalnya melalui bantuan tunai, subsidi, maupun layanan publik.
Purbaya harus bermain di antara dua tuntutan itu. Dengan langkah Rp200 triliun ini, ia tampak condong ke sisi pasar dan perbankan. Apakah ini strategi jangka pendek agar ekonomi tak stagnan? Atau tanda bahwa orientasi kebijakan keuangan negara akan lebih pro-bisnis ketimbang pro-rakyat?
Tak bisa dipungkiri, setiap Menkeu baru pasti akan dibandingkan dengan pendahulunya. Sri Mulyani meninggalkan warisan sebagai sosok yang disiplin menjaga APBN, tapi juga dikritik karena dianggap terlalu kaku dan pro-neolib.
Kini Purbaya melangkah dengan gaya berbeda, ia lebih berani, lebih frontal, langsung mengutak-atik angka triliunan. Tapi inilah dilemanya, keberanian itu bisa dipuji sebagai gebrakan segar, atau justru dicurigai sebagai tanda ia kurang hati-hati mengelola uang rakyat.
Di politik, persepsi lebih penting daripada niat. Meski niat Purbaya mungkin untuk menstabilkan ekonomi, publik bisa saja melihatnya sebagai langkah parkir dana rakyat di bank. Satu kesalahan komunikasi atau bocornya isu penyalahgunaan bisa merusak reputasinya sebelum ia sempat menunjukkan prestasi.
Jika benar-benar ingin keluar sebagai pemenang dari ujian awal ini, Purbaya tak cukup hanya meyakinkan bank dan pasar. Ia harus mampu meyakinkan rakyat bahwa Rp200 triliun ini tidak sekadar mainan elit.
Transparansi penuh, laporan berkala, hingga data siapa penerima manfaat harus dibuka ke publik. Karena kepercayaan publik adalah modal politik terbesar seorang Menteri Keuangan. Tanpa itu, keberanian Purbaya bisa berubah jadi blunder politik yang membekas seumur jabatan.
Purbaya Yudhi Sadewa memulai debutnya dengan langkah besar. Rp200 triliun di awal masa jabatan adalah taruhan yang bisa menjadikannya sosok reformis berani, atau justru menteri yang tumbang karena kebijakan kontroversial.
Apakah ini langkah berani yang akan dikenang, atau bunuh diri politik yang disesali? Jawabannya ada di cara ia mengawal kebijakan ini. Karena rakyat hanya peduli pada satu hal, apakah uang mereka benar-benar kembali ke mereka, atau hanya hilang di putaran elit perbankan.