Mind Hack Mahasiswa: Cara Otak Mengubah Stres Jadi Tenaga Positif

Hikmawan Firdaus | Davina Aulia
Mind Hack Mahasiswa: Cara Otak Mengubah Stres Jadi Tenaga Positif
Ilustrasi mahasiswa (Unsplash.com/Lanelle Ladero)

Bagi banyak mahasiswa, dunia perkuliahan terkadang terasa seperti arena maraton tanpa garis akhir. Tugas yang menumpuk, tekanan untuk mempertahankan IPK, hingga kekhawatiran soal masa depan membuat stres menjadi teman harian yang sulit dihindari. Tak jarang, stres itu menular ke aspek lain seperti tidur terganggu, semangat menurun, bahkan muncul rasa cemas berlebihan.

Namun menariknya, sebagian mahasiswa tetap bisa bertahan, tersenyum, dan berprestasi di tengah tekanan yang sama. Apa rahasia di balik ketangguhan mereka? Jawabannya ada pada cara otak mereka bekerja, khususnya dalam bagaimana mereka menipu stres lewat strategi kognitif yang disebut Mind Hack Mahasiswa: Cara Otak Mengubah Stres Jadi Tenaga Positif

Penelitian terbaru yang diterbitkan di InSight: Jurnal Ilmiah Psikologis (2025) berjudul “The effect of social support on academic resilience among Indonesian university students: The mediating role of emotion regulation strategies” memberi jawaban menarik mengenai fenomena ini. Penelitian yang dilakukan oleh Saptandari, Suryandari, dan Mahira (2025) dari Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada menemukan bahwa kemampuan mahasiswa dalam menilai ulang situasi (cognitive reappraisal) dapat membuat tekanan akademik terasa lebih ringan. Strategi ini membantu mahasiswa memanipulasi cara pikirnya sendiri terhadap situasi yang menekan, sehingga reaksi emosional menjadi lebih terkendali. Dengan kata lain, otak punya cara licik tapi cerdas untuk menghadapi stress, bukan dengan menghindar, melainkan dengan mengubah cara pandang terhadap masalah.

Stres Kuliah: Musuh Lama yang Selalu Datang Lagi

Tidak ada mahasiswa yang benar-benar bebas dari stres. Dalam studinya, Saptandari dan rekan menemukan bahwa tantangan seperti beban akademik, tekanan performa, rasa kesepian, hingga masalah keuangan menjadi sumber utama stres mahasiswa di Indonesia. Jika tidak dikelola, tekanan ini bisa menurunkan motivasi belajar, memperburuk performa akademik, bahkan memicu keinginan untuk berhenti kuliah.

Namun, penelitian tersebut juga menegaskan bahwa ada faktor pelindung yang mampu menahan dampak negatif stress, yakni academic resilience atau ketangguhan akademik. Mahasiswa yang tangguh tidak berarti tidak pernah stres, melainkan mampu bangkit dan tetap produktif meski sedang berada dalam tekanan. Ketangguhan ini tidak muncul begitu saja. Salah satu kuncinya adalah cara mahasiswa mengatur emosi dan berpikir saat menghadapi situasi sulit.

Cognitive Reappraisal: Trik Otak untuk Menipu Stres

Cognitive reappraisal adalah kemampuan untuk menafsirkan kembali situasi yang menekan agar terasa lebih ringan. Misalnya, daripada berpikir “Saya pasti gagal ujian ini,” mahasiswa yang menggunakan reappraisal akan berkata, “Ini kesempatan saya untuk belajar dari kesalahan sebelumnya.” Dalam konteks psikologi, strategi ini bekerja di area otak yang mengatur emosi dan pengambilan keputusan, membantu seseorang menurunkan reaksi negatif dan menumbuhkan rasa kontrol terhadap situasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa cognitive reappraisal secara signifikan memediasi hubungan antara dukungan sosial dan ketangguhan akademik. Artinya, dukungan dari teman atau keluarga dapat memperkuat kemampuan seseorang dalam menilai ulang situasi negatif, sehingga stres menjadi lebih mudah dikelola. Dengan kata lain, ketika seseorang merasa didukung, otaknya lebih siap untuk berpikir positif dan melihat masalah secara lebih rasional.

Expressive Suppression: Ketika Menahan Emosi Bisa Jadi Adaptif

Selain reappraisal, penelitian tersebut juga meneliti strategi lain yang disebut expressive suppression, yakni menahan atau menyembunyikan ekspresi emosi. Biasanya strategi ini dianggap kurang sehat karena dapat menumpuk tekanan batin. Namun, hasil penelitian justru menemukan bahwa menahan ekspresi emosi ternyata juga berhubungan positif dengan ketangguhan akademik mahasiswa Indonesia.

Dalam konteks perkuliahan, menahan emosi negatif bisa membantu mahasiswa menghindari perilaku impulsif, seperti marah pada dosen atau menyerah pada tugas. Meski bukan strategi utama, expressive suppression dapat berperan adaptif bila disertai kemampuan berpikir jernih. Menunda ekspresi emosi memberi waktu bagi otak untuk menilai ulang situasi secara rasional dan di situlah peran cognitive reappraisal kembali mengambil alih.

Stres dalam perkuliahan mungkin tak bisa dihapus, tapi bisa “dikelabui.” Penelitian Saptandari dkk. (2025) membuktikan bahwa cara otak memandang stres menentukan seberapa kuat seseorang bisa bertahan. Dukungan sosial, terutama dari teman dan keluarga, memperkuat kemampuan otak dalam menilai ulang masalah sehingga tekanan terasa lebih ringan. Pada akhirnya, bukan jumlah tugas yang membuat seseorang kewalahan, melainkan cara ia memaknai tugas-tugas itu.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak