Di tengah dominasi film animasi yang seringkali berpusat pada superhero tanpa cela, monster lucu, atau pahlawan dunia fantasi, kemunculan ‘Garuda: Dare to Dream’ terasa segar dan berani. Bukan karena efek visualnya, bukan pula karena petualangan magisnya, tapi karena sosok protagonisnya: Putra, anak 13 tahun pengidap asma yang bermimpi menjadi pemain tim nasional sepak bola Indonesia. Langkah kecilnya, napasnya yang pendek, dan mimpinya yang tinggi jadi daya pikat film ini.
Di dunia yang kadang terlalu cepat memuja kesempurnaan, Film Garuda: Dare to Dream datang membawa pesan yang pelan tapi begitu mendalam deh, bahwa keterbatasan bukan akhir dari perjalanan, tapi awal dari perjuangan yang lebih manusiawi.
Putra bukan karakter yang digambarkan sempurna atau heroik sejak awal. Dia juga bukan jagoan yang bisa menyelamatkan dunia dengan satu tendangan. Dia hanyalah anak kecil dengan paru-paru lemah, tapi punya mimpi yang kuat, dan di situlah penonton menyimak kisah getir dan semangatnya.
Film ini bisa jadi gambaran penting bagi anak-anak yang sering merasa ‘nggak cukup’, entah karena fisik, ekonomi, atau bahkan pandangan masyarakat. Lewat Putra, penonton (anak-anak) diajak melihat bahwa kelemahan bukan sesuatu yang harus disembunyikan, tapi bisa dihadapi dan diterima dengan keberanian. Apalagi ketika semangat juang itu datang dari sesuatu yang bersifat spiritual: roh Garuda, lambang keberanian dan kebanggaan bangsa.
Gaga (roh Garuda yang bercahaya) nggak sebatas jadi perangkat magis dalam cerita, tapi semacam metafora dari ‘semangat nasionalisme’ dan ‘keyakinan diri’ yang sering kita lupakan.
Yang menarik, isu kesehatan jarang banget mendapat tempat utama di film animasi Indonesia. Biasanya karakter utama digambarkan sehat, energik, dan sempurna. Padahal, realita di sekitar kita jauh lebih kompleks. Ada banyak anak seperti Putra yang harus membawa inhaler ke mana pun, tapi tetap datang ke lapangan bola dengan mata berbinar.
Ketika nantinya penonton (anak-anak) melihat tokoh seperti Putra di layar lebar, itu bukan lagi sekadar tontonan. Itu bisa jadi validasi, bahwa mereka juga layak punya panggung, layak punya pahlawan yang mirip dengan mereka.
Selain itu, film ini juga bisa memantik obrolan lebih luas soal representasi disabilitas dan kondisi kesehatan kronis dalam media Indonesia. Kita masih jarang banget punya film yang berani menampilkan karakter dengan keterbatasan tanpa menjadikannya bahan iba.
Biasanya, narasi tentang ‘kekurangan’ selalu dibingkai dalam kesedihan atau penderitaan. Nah, di sini, ‘Garuda: Dare to Dream’ tampak mencoba membalikkan paradigma itu, bahwa vulnerability justru bisa jadi sumber semangat juang.
Kalau kita lihat lebih dalam, pilihan Sutradara Ronny Gani untuk mengangkat cerita ini juga bisa dibaca sebagai bentuk kritik halus terhadap budaya kompetitif yang kadang terlalu keras. Dunia sepak bola anak-anak, dengan seleksi, ejekan, dan tekanan untuk jadi yang terbaik, bisa sangat kejam bagi mereka yang berbeda.
Nah, film ini menyorot sisi lainnya, yakni perihal keberanian anak untuk tetap berdiri, bahkan ketika dunia bilang dia seharusnya duduk diam dan berhenti berlari.
Dalam konteks yang lebih luas, ‘Garuda: Dare to Dream’ juga merepresentasikan Indonesia yang sedang belajar untuk lebih inklusif. Baik dalam film, pendidikan, maupun olahraga, isu keberagaman dan kesetaraan masih jadi pekerjaan rumah besar.
Ketika anak dengan asma digambarkan bukan sebagai ‘pihak yang kasihan’, tapi sebagai ‘tokoh utama yang berdaya’, itu langkah kecil tapi berarti menuju industri film yang lebih empatik.
Dan jangan lupa, film ini datang dari Shanty Harmayn, (produser) yang sebelumnya terlibat dalam film reflektif seperti Pasir Berbisik (2001). Dengan latar belakang sepeka itu, nggak heran kalau ‘Garuda: Dare to Dream’ punya lapisan makna lebih dalam ketimbang sekadar film animasi olahraga anak.
Namun seperti halnya Putra yang masih berlari mengejar mimpinya, ‘Garuda: Dare to Dream’ juga masih berada dalam perjalanan panjangnya. Saat ini, proyek ini tengah dibawa Produser Shanty Harmayn ke ajang Tokyo Gap-Financing Market, forum internasional tempat para pembuat film mencari dukungan dana, distributor, dan mitra global. Langkah ini menandai awal dari mimpi besar, membawa kisah anak Indonesia ke panggung dunia.
Film ini dijadwalkan tayang di bioskop pada 2026, dengan Indonesia sebagai pasar utama sebelum (mungkin) terbang ke festival-festival mancanegara. Dan sampai hari itu tiba, semangatnya sudah lebih dulu menyala, seperti Garuda yang nggak pernah berhenti mengepakkan sayap, bahkan sebelum benar-benar lepas landas.
Yuk, kita nantikan kabar baik selanjutnya!
CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS