Prinsip Monogami Sultan HB X: Soal Kesetiaan dan Romansa Pandangan Pertama

Hayuning Ratri Hapsari | e. kusuma .n
Prinsip Monogami Sultan HB X: Soal Kesetiaan dan Romansa Pandangan Pertama
Sri Sultan HB X dan GKR Hemas (Instagram/gkrhayu)

Di tengah banyaknya diskusi tentang poligami, komitmen, dan hubungan rumah tangga, muncul sorotan khusus terhadap keputusan Sultan Hamengkubuwono X dari Keraton Jogja yang memilih untuk tetap beristri satu dibanding mengikuti jejak ayahnya yang memiliki lima istri.

Padahal, ada ‘warisan jejak’ yang membolehkan Sultan Jogja memiliki istri lebih dari atu dengan mengambil selir. Namun, prinsip monogami Sultan HB X seolah memutus rantai poligami keraton sekaligus mengusung nilai kesetiaan, keadilan, dan romansa.

Bahkan, ada kisah romantis antara Sultan HB X dengan GKR Hemas semasa muda yang ikut terungkap. Bukan cuma prinsip kesetiaan, tapi juga romansa cinta pada pandangan pertama yang bertahan hingga sekarang.

Romansa Sultan dan Ratu Jogja Di Masa Muda

Kisah cinta Sultan HB X dengan GKR Hemas ternyata bukan berawal dari istana. Dari unggahan akun Instagram @eksposjogja, terungkap kalau romansa ini berawal dari pertemuan pada tahun 1960 di warung bakmi Rotowijayan.

Saat itu Herjuno Darpito, nama muda Sultan, terpikat pada Tatik Drajat Supriastuti yang lewat di gang Suronatan. Bermula dari pandangan pertama inilah benih cinta mulai tumbuh. Calon Raja Keraton Jogja ini bahkan rela menempuh perjalanan jauh demi bertemu pujaan hatinya.

Tanpa embel-embel putra raja, Sultan HB IX, keseriusan cinta masa muda ini berujung ke pelaminan. Usai lamaran di Cipete, keduanya akhirnya menikah pada 1968 hingga dikaruniai lima putri. Naik takhta, Sultan HB X tetap setia dan memilih monogami pada GKR Hemas.

Kesetiaan dalam Perspektif Sultan HB X

Dalam sebuah wawancara yang viral, Sultan HB X yang sempat ditanya soal alasan monogami menyoroti soal keadilan. Raja ke-10 Kesultanan Yogyakarta ini merasa tidak mampu menjamin keadilan jika memiliki banyak istri.

Meski tidak menentang poligami yang dilakukan Raja terdahulu, tapi Sultan HB X memastikan ‘warisan jejak’ tersebut tidak berlanjut pada era kepemimpinannya.

Terlepas dari prinsip yang dipegang, Sultan HB X mengajarkan kesadaran atas tanggung jawab rumah tangga yang mempertimbangkan keadilan antar istri, bukan sekadar menikmati status. Dari sisi kedalaman nilai etika, kesetiaan yang dijunjung Sultan bukan mengedepankan komitmen dan integritas terhadap pasangan.

Dari teladan Sultan HB X kita belajar untuk menjunjung tinggi hubungan yang utuh dengan satu pasangan yang memungkinkan tumbuhnya saling pengertian, tanggung jawab, dan keadilan. Kondisi ini dianggap lebih mudah dikelola dibanding saat harus terbagi.

Namun, penting untuk diingat kalau monogami bukan hanya bentuk formal sebuah hubungan pernikahan, tapi perjalanan kemitraan yang butuh komitmen, komunikasi, dan kerja sama.

Monogami Sultan HB X: Simbol Hubungan Satu Pasangan Hidup

Keputusan Sultan HB X untuk memilih monogami, meski mengusung warisan tradisi istana, menjadi simbol kuat bahwa hubungan satu pasangan hidup bukan hanya soal aturan. Monogami juga menyoal nilai, etika, dan romansa yang bermakna.

Dengan memilih satu hati, satu pasangan, Sultan mengingatkan kita bahwa kemitraan hidup bukan sekadar kebersamaan, tetapi soal tanggung jawab dan kehormatan.

Bagi pasangan zaman sekarang, komitmen berpegang pada keputusan besar ini bukan hanya perkara soal “berapa banyak”. Justru keputusan ini lebih mendalam karena menyoal “siapa dan bagaimana kita saling jadi mitra seumur hidup”.

Sebab kesetiaan dari memilih satu mitra hidup bisa menjadi ekspresi sikap dan pemikiran untuk saling menghargai, bukan hanya memiliki. Lebih dalam lagi, keadilan dalam hubungan bukan meluku tentang pembagian tugas atau materi, tetapi soal rasa dihargai dan dipertimbangkan.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak