Ada sebuah kalimat yang meluncur begitu saja di tengah obrolan santai selepas bekerja, tanpa nada menggurui, tanpa niat menjadi kutipan bijak yang kelak terpampang di bak belakang truk atau dipajang rapi di bio media sosial. Kami duduk seadanya, badan masih menyimpan sisa-sisa lelah, kepala belum sepenuhnya lepas dari target, tuntutan ini dan itu, serta berbagai hal kecil yang seharian menumpuk tetapi tak pernah benar-benar sempat dipikirkan.
Di sela sunyi yang cenderung canggung, ditemani kepulan asap tembakau lintingan yang naik perlahan, seseorang berkata pelan sambil bercanda, namun terselip nada tegas yang sulit diabaikan, “Kalau haus itu minum, bukan mencari validasi.” Tidak ada yang langsung menanggapi saat itu, bukan karena kami tidak paham, melainkan karena kalimat itu terasa seperti cermin kecil yang dilemparkan ke tengah obrolan, memaksa setiap orang menatap kembali dirinya sendiri sebelum akhirnya berani bicara lagi.
Kalimat itu terdengar sederhana, nyaris seperti nasihat receh yang biasa kita dengar lalu kita angguki sambil berlalu. Namun sialnya, justru kesederhanaannya itulah yang membuat ia sulit dihindari. Ia tidak menawarkan solusi besar, tidak juga meminjam istilah psikologi atau filsafat yang rumit. Ia hanya menyorot satu kesalahan mendasar yang sering kita lakukan: salah membaca rasa.
Kita mengira sedang haus, padahal yang kita kejar adalah pengakuan. Kita mengira sedang butuh istirahat, padahal yang kita inginkan hanyalah dilihat sebagai orang yang paling sibuk, paling lelah, paling berjuang. Dan dari situlah banyak kekacauan kecil dalam hidup sehari-hari bermula.
Dalam hidup modern yang serba cepat dan serba pamer, kebutuhan sering kali menyamar. Haus tidak lagi hadir sebagai rasa kering di tenggorokan, tetapi sebagai dorongan untuk membuka ponsel, mengecek notifikasi, atau membagikan potongan hidup yang kita harap bisa mewakili isi dada.
Kita merasa kosong, lalu menulis status. Kita merasa gagal, lalu memposting kesibukan. Kita merasa tidak dianggap, lalu berharap ada satu-dua komentar yang bisa berfungsi sebagai bukti bahwa kita masih ada. Masalahnya, yang kita lakukan bukan memenuhi kebutuhan, melainkan menunda pengakuan bahwa kita sedang rapuh.
Kalimat “kalau haus itu minum” sebenarnya mengandung logika yang sangat dasar, bahkan nyaris biologis. Haus adalah sinyal. Ia bukan perasaan abstrak yang butuh tafsir panjang. Ia konkret, jelas, dan solusinya pun sederhana. Namun, ketika sinyal-sinyal hidup menjadi semakin bercampur dengan tuntutan sosial, kapital simbolik, dan citra diri, kita mulai meminum apa pun kecuali air.
Kita minum validasi, minum pujian, minum atensi, berharap semuanya bisa menggantikan fungsi dasar dari pemenuhan diri. Padahal, seperti minuman manis, validasi hanya memberi sensasi segar palsu yang cepat menguap.
Ada asumsi besar yang bekerja diam-diam di kepala kita: bahwa jika kita cukup didengar, cukup dilihat, cukup diakui, maka seluruh rasa tidak nyaman akan selesai. Asumsi ini tidak sepenuhnya salah, tetapi sangat berbahaya jika diterima mentah-mentah. Validasi memang punya fungsi sosial dan psikologis, tetapi ia bukan obat untuk semua jenis luka. Ia tidak bisa menggantikan tidur yang cukup, jeda yang jujur, atau keberanian untuk berhenti sejenak. Ketika validasi dijadikan solusi tunggal, kita justru membangun ketergantungan baru yang tidak pernah benar-benar memuaskan.
Seorang skeptis mungkin akan menyela: bukankah manusia memang makhluk sosial yang membutuhkan pengakuan? Benar. Namun, kebutuhan sosial berbeda dengan kebingungan eksistensial. Yang sering terjadi bukan sekadar kebutuhan akan pengakuan, melainkan ketidakmampuan membedakan kapan kita butuh orang lain dan kapan kita justru perlu berdamai dengan diri sendiri.
Kita takut sendirian, lalu menyebutnya kebutuhan sosial. Kita takut diam, lalu menyebutnya keinginan berbagi. Padahal, bisa jadi yang kita butuhkan hanyalah keberanian untuk tidak selalu ditemani.
Kalimat itu juga menyimpan kritik halus terhadap budaya menjelaskan diri yang berlebihan. Kita hidup di zaman di mana hampir semua hal perlu narasi. Lelah perlu dijelaskan. Sedih perlu dibuktikan. Bahkan, diam pun sering kali ditafsirkan sebagai sesuatu yang mencurigakan. Kita merasa harus selalu punya alasan yang bisa diterima publik agar perasaan kita sah. Seolah-olah tanpa saksi, rasa itu tidak pernah benar-benar ada. Padahal, ada jenis kelelahan yang justru semakin parah ketika dipaksa untuk dijelaskan.
Kita terlalu sering membingkai luka agar terlihat masuk akal. Kita kemas kekosongan dengan kata-kata yang rapi, dengan caption yang “relatable”, dengan humor tipis agar tidak terlihat terlalu serius. Semua itu bukan salah. Namun, ketika ia menjadi kebiasaan, kita perlahan kehilangan kemampuan untuk benar-benar merasakan apa yang kita rasakan. Kita lebih sibuk mengelola persepsi daripada merawat diri. Kita lebih peduli bagaimana rasa itu terlihat daripada bagaimana rasa itu disembuhkan.
Ada jenis kesembuhan yang tidak bisa dipercepat oleh perhatian publik. Ia justru membutuhkan kesunyian. Membutuhkan pulang tanpa cerita. Membutuhkan diam tanpa penjelasan. Membutuhkan momen di mana kita mengizinkan diri sendiri untuk tidak produktif, tidak komunikatif, dan tidak menarik. Dalam dunia yang menuntut kita selalu hadir, selalu responsif, selalu “on”, keberanian untuk berhenti menjadi tindakan yang hampir subversif.
Malam itu, setelah obrolan singkat yang entah kenapa terasa lebih jujur daripada diskusi panjang, kami benar-benar minum. Air putih, dingin, tanpa makna tambahan, tanpa simbolisme berlebihan. Tidak ada yang memotretnya, tidak ada yang membagikannya. Dan justru di situ terasa perbedaannya. Tubuh tahu kapan ia akhirnya diberi apa yang ia minta. Tidak ada euforia, tidak ada drama, hanya rasa cukup yang tenang.
Barangkali hidup memang menuntut kebijaksanaan sesederhana itu. Bukan dengan meniadakan validasi, melainkan dengan menempatkannya pada porsi yang tepat. Validasi bukan air minum; ia hanya pelengkap. Ia tidak seharusnya menjadi sumber utama pemenuhan diri. Ketika kita bisa membedakan mana haus dan mana sekadar ingin dilihat, kita mulai mengambil kembali kendali atas hidup kita sendiri.
Tidak semua kekosongan harus ditutup dengan sorak-sorai. Tidak semua kelelahan perlu pengakuan. Ada rasa-rasa yang cukup diselesaikan dengan kejujuran pada diri sendiri. Dengan berhenti sebentar. Dengan menarik napas. Dengan mengakui bahwa kita lelah tanpa perlu membuktikannya kepada siapa pun. Dan mungkin, di situlah bentuk kedewasaan yang paling sunyi tetapi paling jujur: ketika kita berhenti mencari minuman yang salah, dan akhirnya memilih air.
Kalau haus, ya minum. Sesederhana itu. Namun, seperti banyak hal sederhana lainnya dalam hidup, justru itulah yang paling sering kita lupakan.