Menghidupkan Makna Pendidik Melalui Pengalaman Guru Gen Z Salah Berlabuh

Hikmawan Firdaus | Ignatia Hera Sigi Juwita
Menghidupkan Makna Pendidik Melalui Pengalaman Guru Gen Z Salah Berlabuh
Ilustrasi guru mengajar di kelas. (Pixabay/akshayapatra)

Menjadi seorang guru biasanya adalah pilihan paling akhir seorang generasi Z yang mencoba survive dari hingar bingar kehidupan dunia. Bagi kebanyakan generasi Z, profesi ini adalah salah satu profesi “bunuh diri” yang paling jelas dan mudah diterka cerita akhirnya.

Sebagai generasi Z garis keras, saya pun tidak mengerti kenapa saya bisa berakhir disini. Sampai detik saya menulis ini pun saya masih bertanya-tanya “Kenapa saya mencekik diri saya sendiri, dengan beradu nasib di bawah ketidakpastian profesi yang tidak pernah digubris negara saya sendiri?” Miris mungkin, tapi begitulah adanya bukan?

Sebagai generasi Z yang masih denial dalam menerima kenyataan, saya juga masih harus menerima fakta bahwa saya harus mengajari anak-anak tingkat sekolah dasar. Ya, saya adalah lulusan pendidikan Bahasa Indonesia yang biasanya mengajar di SMP maupun SMA.

Memang tidak menutup kemungkinan lulusan Bahasa Indonesia seperti saya mengajar sekolah dasar. Namun, tampaknya Tuhan memang lebih usil dari anak kelas dua yang sulit diterka pola pikir dan tindakannya, sehingga saya harus mengajar Bahasa Inggris bagi murid-murid sekolah dasar. Terlalu rumit ya? Ah sudahlah mengeluh pun tidak akan ada habisnya. Sekarang saya hanya bisa terus berjalan dan berusaha menemukan diri di tengah ekspektasi, sistem, dan realita yang tidak selalu sejalan.

Saya masih ingat betapa paniknya saya dalam menyelami internet untuk mencari materi Bahasa Inggris. Setiap malam saya terus menelusuri berbagai platform untuk belajar atau sekedar mencari permainan dan lagu berbahasa Inggris. Saya mulai memahami dan menirukan gerakan-gerakan lucu untuk sekedar menarik perhatian anak-anak. Walaupun sudah berusaha sekuat itu, terkadang saya pun masih merasa tidak cukup. Entahlah, atau hal itu memang sudah menjadi sifat dasar manusia konon.

Ketika pagi buta menjelang, saya sering terbangun lebih awal dan duduk diam termenung di pojok kamar saya. Saya masih terus memikirkan betapa jauhnya posisi saya dari rencana semula. Saya yang dulu mempelajari para pujangga, puisi dari Chairil Anwar, dan struktur kebahasaan bagi anak SMA, harus mengajarkan “This is a chair” sambil menunjukan gambar kursi lewat bakat menggambar saya yang seharusnya dipendam. Lucu, tapi menohok pula disaat yang bersamaan.

Belum habis realita materi menikam dari berbagai sisi, saya masih harus terbentur realita keuangan seorang guru. Hal ini adalah salah satu realita yang sulit untuk diabaikan, karena menjadi guru bukan hanya perjuangan batin, tetapi juga perjuangan ekonomi.

Bayangkan saja, kalkulator yang dulu menjadi sahabat mengerjakan PR matematika, sekarang menjadi sahabat untuk menghitung pengeluaran bulanan. Kadang muncul keinginan untuk menyerah dan pergi untuk sekedar mencari pekerjaan yang lebih “menjamin”. Namun, percaya tidak percaya pikiran itu bisa seketika lenyap setiap melihat senyum anak-anak.

Rasanya beban-beban yang sebelumnya mengekori langsung hilang setiap anak-anak berhasil mengucapkan pelafalan bahasa inggris dengan benar. Ada rasa hangat yang sulit untuk dijelaskan. Mungkin inilah mengapa para guru tetap bertahan. Bukan uang, bukan jabatan, tapi karena senyum dari hati.

Mengajar Bahasa Inggris di sekolah dasar membuat saya tersadar jika sebenarnya saya sudah satu langkah keluar dari zona nyaman. Bukan lagi panggilan atau takdir, karena saya meyakini jika hidup adalah pilihan. Mungkin benar jika saya tidak mengajar di jenjang dan bidang yang saya impikan, tapi saya belajar bahwa terkadang menjadi guru adalah suatu keberanian dalam mengambil pilihan.

Pilihan untuk terus berkembang, pilihan untuk mengambil keputusan yang kadang terasa berat, atau keputusan-keputusan lain yang bisa mengubah cara pandang terhadap dunia. Pada akhirnya “guru” bukanlah sekedar kata atau profesi. Menjadi guru adalah tentang menghidupkan kembali makna yang sempat terkubur dalam keterbatasan, kegelisahan, dan harapan.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak