Hope Theory: Rumus Psikologi di Balik Orang yang Tidak Mudah Menyerah

Hayuning Ratri Hapsari | Davina Aulia
Hope Theory: Rumus Psikologi di Balik Orang yang Tidak Mudah Menyerah
Ilustrasi hope (Unsplash.com/Ronak Valobobhai)

Dalam hidup, kita sering berada pada titik di mana segala sesuatu terasa buntu. Tugas menumpuk, rencana tidak berjalan semestinya, kegagalan datang bertubi-tubi, atau hidup bergerak terlalu cepat hingga kita kehilangan arah. Banyak orang akhirnya merasa lelah, hilang motivasi, bahkan ingin menyerah.

Namun menariknya, ada sebagian orang yang mampu terus maju meskipun menghadapi situasi sesulit apa pun. Apa yang membuat mereka berbeda? Jawabannya tidak hanya soal kekuatan mental bawaan, tetapi sesuatu yang oleh psikologi disebut sebagai hope atau harapan, sebuah rumus kognitif yang menjaga kita tetap melangkah.

Harapan atau hope bukan sekadar perasaan optimistis yang muncul begitu saja. Dalam penelitian yang dibahas oleh Rand dan Cheavens (2009) dalam artikelnya yang berjudul Hope Theory”, harapan dijelaskan sebagai konstruksi kognitif yang terdiri atas dua komponen utama, yaitu agency (will) dan pathways (ways).

Penelitian ini menunjukkan bahwa individu dengan tingkat hope tinggi cenderung memiliki prestasi akademik lebih baik, mampu mengatasi stres, memiliki kesehatan fisik lebih stabil, serta mampu menghadapi kegagalan dengan lebih adaptif.

Artinya, harapan bukan hanya kata-kata manis, tetapi mekanisme psikologis nyata yang memengaruhi keberhasilan hidup seseorang.

Memahami Dua Komponen Utama: Will dan Ways

Menurut Rand dan Cheavens, harapan bukan sekadar “semoga semuanya baik-baik saja”. Harapan terdiri dari dua elemen penting, yaitu will, dorongan internal untuk mencapai tujuan, serta ways, yaitu kemampuan menemukan berbagai strategi atau jalan menuju tujuan tersebut. Will membuat seseorang tetap mau bergerak, sementara ways memberi alternatif langkah ketika satu jalan tertutup.

Individu dengan hope tinggi tidak hanya yakin dapat mencapai sesuatu, tetapi juga fleksibel mencari cara baru ketika rencana awal gagal. Inilah mengapa harapan tidak sama dengan optimisme. Optimisme berharap sesuatu berjalan baik, sedangkan hope mengarahkan kita untuk bertindak.

Tujuan sebagai Motor Penggerak Harapan

Hope Theory menekankan bahwa harapan selalu terikat pada tujuan. Tanpa tujuan, tidak ada alasan untuk membangun strategi atau mempertahankan motivasi.

Rand dan Cheavens menemukan bahwa individu yang mampu menetapkan tujuan dengan jelas memiliki tingkat hope lebih tinggi dan lebih konsisten dalam mengejar tugas-tugas akademik maupun pekerjaan.

Menetapkan tujuan juga membantu otak memetakan tindakan yang perlu dilakukan. Ketika tujuan jelas, energi mental lebih fokus, sehingga muncul ruang bagi will dan ways untuk bekerja secara optimal.

Bagaimana Harapan Melindungi dari Stres dan Tekanan?

Salah satu temuan penting dalam artikel tersebut adalah bahwa hope berperan sebagai buffer psikologis. Individu dengan tingkat harapan tinggi tidak mudah terjebak dalam pola pikir negatif saat menghadapi hambatan. Mereka cenderung memaknai masalah sebagai tantangan yang masih bisa ditangani.

Secara emosional, hope mengurangi keputusasaan dan meningkatkan rasa kontrol diri. Ketika seseorang yakin bahwa selalu ada alternatif jalan lain (ways), ia tidak mudah merasa gagal total. Ini menjadi alasan mengapa mahasiswa atau pekerja dengan tingkat harapan tinggi lebih sedikit mengalami burnout.

Harapan dalam Keseharian: Kecil Tapi Penting

Yang menarik dari Hope Theory adalah sifatnya yang sangat praktis. Will dan ways bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari tanpa harus melakukan teknik rumit.

Misalnya, ketika menghadapi tugas kuliah sulit, mahasiswa dengan hope tinggi akan mencoba mencari sumber belajar lain, mengubah strategi belajar, atau meminta bantuan teman. Sementara yang harapannya rendah cenderung berhenti pada kegagalan pertama.

Dalam hubungan interpersonal pun demikian. Harapan membuat seseorang tetap berusaha memperbaiki komunikasi atau mencari pendekatan yang lebih sehat saat menghadapi konflik.

Harapan ternyata bukan sekadar perasaan samar, tetapi sebuah rumus psikologis yang bekerja melalui tujuan, motivasi, dan strategi.

Hope Theory mengajarkan bahwa kemampuan untuk tidak menyerah bukanlah keajaiban, melainkan hasil dari bagaimana kita membangun will dan ways dalam menghadapi hidup.

Dengan harapan yang realistis dan strategi yang fleksibel, kita bukan hanya mampu melewati masa sulit, tetapi juga bertumbuh karenanya. Harapan bukan tentang menunggu yang terbaik, tetapi tentang menciptakan jalan ketika yang terbaik belum datang.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak