Bullying seolah menjadi ‘aksi’ yang tidak pernah ada habisnya dan sulit diberantas, bahkan dalam circle pertemanan. Ngerinya lagi, bully di lingkup pertemanan yang tampak akrab dan hangat dibungkus dalam dalam tawa dan sering diakhiri dengan kalimat klasik “bercanda aja kok!”
Inilah sisi gelap bullying yang sering luput dari sorotan di mana perilaku menyakiti disamarkan sebagai bentuk candaan bersama teman akrab. Padahal, bagi korban, candaan yang berlebihan bisa meninggalkan luka psikologis yang mendalam.
Bullying yang Disamarkan Sebagai Candaan
Kita sering menganggap candaan sebagai bagian wajar dari hubungan pertemanan sampai ada aturan tidak tertulis agar nggak terlalu dimasukkan ke hati atau malah baper.
Memang benar, bercanda bisa mempererat keakraban dan mencairkan suasana. Namun, ketika candaan dilakukan dengan tujuan merendahkan, mempermalukan, atau menertawakan kelemahan seseorang, maka itu sudah bukan humor lagi tapi pembullyan.
Contoh kalimat-kalimat ringan, seperti “Ih, kamu gendutan banget sih sekarang”, “Kamu emang bodoh, tapi lucu”, atau “Si paling nggak punya pacar nih” yang sering terdengar dari mulut teman satu circle.
Sekilas tampak sepele, tapi jika terus diulang, kalimat seperti itu dapat merusak rasa percaya diri seseorang. Sayangnya, di banyak circle pertemanan, perilaku semacam ini justru dianggap normal, bahkan dijadikan “tradisi” pertemanan.
Faktanya, banyak orang bertahan dalam pertemanan yang toksik karena takut dianggap tidak humoris atau baperan jika menolak dijadikan bahan candaan. Padahal, saat ada yang tersakiti, candaan sudah bertransformasi menjadi kalimat bully.
Dampak Psikologis dari Candaan yang Kelewatan
Bullying verbal yang dikemas sebagai candaan sering kali bisa memicu stres, kecemasan sosial, hingga trauma jangka panjang. Korban bisa kehilangan rasa percaya diri, merasa tidak berharga, bahkan menarik diri dari lingkungan sosial.
Dampak yang paling berbahaya adalah ketika korban mulai memvalidasi perlakuan itu sendiri. Mereka kemudian jadi berpikir kalau dirinya yang salah karena terlalu sensitif dan berujung membenarkan perilaku negatif sang teman.
Padahal, perasaan tersakiti tetap valid meski pelakunya adalah teman sendiri. Dalam psikologi sosial, fenomena ini disebut “relational bullying”, bentuk perundungan yang dilakukan dalam konteks hubungan dekat seperti pertemanan, pacaran, atau bahkan keluarga.
Mengapa Bullying Sering Disebut Candaan?
Ada alasan mengapa banyak orang berlindung di balik dalih “bercanda.” Dalam budaya kita, terutama di kalangan anak muda, humor sering digunakan sebagai mekanisme sosial untuk menunjukkan kedekatan.
Sayangnya, batas antara keakraban dan pelecehan verbal sering kali kabur. Beberapa faktor penyebabnya antara lain kurangnya empati sosial, budaya “harus kuat”, tekanan kelompok, hingga normalisasi media.
Jika perilaku ini terus dibiarkan, kita yang merupakan bagian dari masyarakat ini sedang menciptakan lingkungan sosial yang tidak aman. Orang pun jadi merasa harus menahan sakit demi diterima dalam lingkungan sosial.
Solusi: Dari Bercanda Jadi Berempati
Bullying dalam pertemanan sering kali tidak disadari karena bersembunyi di balik kata “bercanda.” Namun, efeknya bisa sama menyakitkan dengan bentuk perundungan lainnya.
Membangun humor yang sehat bukan berarti berhenti bercanda, tapi belajar menempatkan empati di dalamnya. Candaan sejati adalah yang membuat semua orang tertawa, bukan hanya sebagian di atas penderitaan orang lain.
Kita bisa mulai dengan menjadi pendengar yang peka, memperhatikan reaksi teman saat bercanda, dan berani meminta maaf jika candaan tersebut dirasa mulai menyinggung perasaan.
Sudah saatnya kita berhenti menormalisasi ejekan atas nama keakraban. Bercanda boleh, asal tidak melukai. Ingat, pertemanan sejati tidak tumbuh dari tawa yang menindas, tapi dari saling menghormati dan memahami batas.