Efek Domino Bullying di Sekolah: Prestasi Turun hingga Trauma Jangka Panjang

Hayuning Ratri Hapsari | e. kusuma .n
Efek Domino Bullying di Sekolah: Prestasi Turun hingga Trauma Jangka Panjang
Ilustrasi bullying di sekolah (Pexels/Mikhail Nilov)

Bullying nggak jarang dianggap sebagai “bumbu” kehidupan sekolah yang bahkan disebut normal demi membentuk mental atau candaan semata antarteman. Namun, pada kenyataannya bullying meninggalkan efek domino yang jauh lebih serius daripada yang terlihat.

Dampak yang dirasakan korban bully bukan hanya menurunkan prestasi akademik, tetapi juga memengaruhi kesehatan mental, hubungan sosial, dan masa depan akibat trauma jangka panjang.

Dalam banyak kasus, korban bullying membawa luka psikis bertahun-tahun yang bahkan dirasakan hingga dewasa. Karena itu, penting bagi sekolah, orang tua, dan masyarakat untuk memahami betapa besar dampak bullying agar hal ini tidak terus dinormalisasi.

Prestasi Akademik Merosot Drastis

Efek pertama yang paling mudah terlihat dari bullying adalah penurunan prestasi akademik di sekolah. Korban biasanya mengalami gangguan konsentrasi belajar akibat rasa takut, cemas, dan tidak nyaman hingga sulit fokus pada pelajaran.  

Pikiran mereka dipenuhi kekhawatiran jika diejek lagi hingga potensi bertemu situasi di mana harus menghadapi pelaku bullying saat jeda istirahat atau jam pulang sekolah.

Ujungnya, ‘siksaan’ ini membuat korban enggan masuk sekolah, bukan karena takut pada pelaku tapi juga tidak berani bersuara atas apa yang dialami kepada keluarga maupun guru.

Kalau sudah begini, motivasi belajar juga jadi hilang dan pelajaran di sekolah tidak lagi menarik karena pikiran dipenuhi rasa terancam. Hasilnya? Prestasi akademik menurun, disiplin memburuk, dan korban akhirnya kehilangan potensi terbaiknya.

Hilangnya Rasa Aman di Lingkungan Sekolah

Seharusnya, sekolah menjadi ruang aman bagi anak untuk tumbuh dan belajar. Namun, hal ini tidak berlaku bagi korban bullying yang menganggap sekolah terasa sebagai ‘medan perang’.

Dalam situasi ini, korban merasa seolah selalu diawasi, selalu salah, tidak punya tempat untuk bercerita, dan tidak mendapat perlindungan.

Rasa aman yang hilang ini membuat korban mengalami toxic stress, yaitu kondisi stres yang berlangsung terus-menerus hingga mengganggu perkembangan otak dan emosi yang bisa menetap hingga dewasa.

Menurunnya Kepercayaan Diri dan Self-Image

Bisa dipastikan bullying sangat merusak kepercayaan diri korban, terutama bentuk perundungan yang berkaitan dengan kondisi fisik, kemampuan, dan latar belakang keluarga.

Hinaan berbalut candaan yang menyebut jelek, gendut, bodoh, atau miskin, akan berubah menjadi suara internal yang terus terdengar dalam kepala korban.

Lama-kelamaan, korban mulai percaya kalau ucapan itu benar dan merasa tidak cukup baik, tidak layak diterima, atau tidak penting hingga memicu rasa insecure. Kalau sudah begini, korban jadi merasa tidak berharga dan mulai menarik diri dari pergaulan.

Kepercayaan diri yang rusak di masa sekolah bisa berdampak pada karier, hubungan sosial, hingga pola asuh ketika korban menjadi orang tua di masa depan.

Kesulitan Bersosialisasi dan Kehilangan Kepercayaan pada Orang Lain

Tidak sampai di situ, bullying juga membuat korban merasa ragu untuk mulai mempercayai orang lain. Mereka terlannjur melihat dunia sosial sebagai ancaman, bukan ruang untuk membangun relasi.

Akibatnya, keputusan untuk menjaga jarak sosial diambil oleh korban dan membuatnya sulit memiliki teman dekat karena takut dihakimi atau malah dianggap “aneh”.

Bahkan setelah dewasa, trauma ini bisa berkembang menjadi social anxiety, rasa cemas yang berlebihan saat berada di lingkungan sosial. Banyak orang dewasa yang pendiam atau tertutup ternyata memiliki sejarah pernah dirundung di masa kecil.

Risiko Depresi, Kecemasan, dan PTSD

Inilah efek domino paling serius dari bullying di mana tidak hanya mengganggu kenyamanan sehari-hari, tetapi juga dapat memicu gangguan kesehatan mental.

Rasa sedih berkepanjangan akibat pengalaman di-bully membuat korban merasa hidupnya tidak berharga hingga merasa cemas, jadi depresi, dan berpotensi mengalami Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD).

Trauma psikis ini memiliki kemiripan pola dengan trauma yang dirasakan korban kekerasan fisik. Mereka bisa mengalami mimpi buruk, flashback, atau ketakutan ekstrem terhadap hal-hal yang mengingatkan pada kejadian bullying.

Bullying dan Efek Jangka Panjang saat Dewasa

Yang lebih mengejutkan lagi, efek pengalaman mendapat bullying tidak berhenti setelah lulus sekolah. Pengalaman buruk itu bahkan bertahan sampai bertahun-tahun dan membuat korban sulit mempertahankan hubungan.

Di sisi lain, pengalaman bullying membuat mantan korban merasa rendah diri dalam karier, rentan mengalami burnout, dan potensi trauma muncul kembali saat menghadapi konflik.

Efek domino ini seharusnya membuka pikiran masyarakat bahwa bullying bukan masalah sepele, apalagi candaan yang bisa dilontarkan anak-anak usia sekolah pada temannya.

Kasus bullying, baik verbal, fisik, maupun mental, harus diperlakukan sebagai masalah serius demi meminimalkan potensi kehancuran masa depan anak.

Lalu, tugas siapa untuk mencegah bullying? Tentu saja bukan hanya tanggung jawab sekolah, tetapi juga orang tua dan masyarakat. Mulailah dengan membiasakan empati, mengajarkan komunikasi yang sehat, dan menciptakan lingkungan yang aman agar tidak ada lagi anak yang tumbuh dengan luka yang akan dibawa seumur hidup.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak