Beberapa waktu terakhir, isu bullying atau perundungan mulai ramai lagi diperbincangkan di Indonesia. Meskipun bukan permasalahan baru, akan tetapi fenomena bullying ini sendiri seakan-akan mengakar cukup kuat dalam budaya di Indonesia baik secara langsung maupun tak langsung. Bahkan, bullying ini sendiri bisa menimpa dan dilakukan oleh sapapun, termasuk oleh orang-orang sekitar kita yang tak jarang kita berpikir mereka bisa mengalami atau melakukannya.
Ironisnya, dalam fenomena bullying ini banyak perbedaan sikap dari masyarakat antara korban bullying atau perundungan dengan pelaku tindakan tersebut. Perbedaan sikap ini sendiri juga didasari oleh kebiasaan dan budaya di Indonesia yang seakan-akan acuh tak acuh atau tak terlalu aware dengan fenomena bullying ini sendiri.
Korban Bullying Seringkali Dibiarkan Begitu Saja Tanpa Penanganan Lebih Lanjut
Salah satu pihak yang kerap kali dirugikan dari aksi bullying atau perundungan ini sendiri tentunya adalah korban. Korban bullying seringkali mendapatkan tindakan kekerasan secara psikis maupun fisik dari pelaku bullying tersebut. Namun, ironisnya sebagian besar korban seakan-akan tak berdaya dan tak mampu melakukan apa-apa saat mengalami tindakan demikian.
Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Faktanya, banyak peristiwa atau fenomena bullying ini seakan-akan dianggap remeh atau bahkan tak ditangani dengan baik oleh berbagai pihak. Misalnya, terjadi tindakan bullying di sebuah sekolah yang menimpa seorang murid. Murid tersebut mendapatkan tindakan perundungan atau bullying dari murid lainnya.
Ketika pihak sekolah tahu, umumnya mereka hanya akan memberikan teguran kepada pelaku bullying tersebut agar tak mengulangi atau melakukan tindakan tersebut di kemudian hari. Ironisnya, korban bullying seakan-akan tak mendapatkan penanganan lebih lanjut dan terkesan dibiarkan oleh pihak sekolah tersebut dengan dalih masalah telah diselesaikan.
Padahal, tindakan bullying sendiri berisiko memililki dampak psikis yang cukup signifikan dan bisa menjadi permasalahan jangka panjang. Hal inilah yang kerap diabaikan oleh banyak pihak karena berpikir jika permasalahan bullying ini sendiri bisa diselesaikan hanya dengan memberikan teguran atau hukuman kepada pelaku bullying itu sendiri.
Namun, tentunya hal ini tak sesederhana teori yang ada di masyarakat sejauh ini. Kita tak pernah tahu bagaimana hal atau kondisi psikis dari korban bullying tersebut dan apa saja yang telah dia alami saat mendapatkan perlakukan bullying tersebut. Terlebih lagi, budaya masyarakat Indonesia yang tak suka membesar-besarkan masalah seakan-akan melanggengkan penangangan tindakan bullying yang setengah hati itu sendiri.
Tak Serius Tangani Bullying Jadi Alasan Korban Enggan Bercerita
Di sisi lain, keengganan menangani bullying yang lebih serius tentunya memiliki dampak yang tak biasa-biasa saja bagi para korban bullying tersebut. Mereka seakan-akan memiliki pemikiran “jika tak ditangani dengan baik, maka lebih baik tak perlu menceritakannya”. Kondisi inilah yang seringkali secara tak sadar tertanam dalam benak para korban bullying tersebut.
Ironisnya, pemahaman semacam ini juga kian dilanggengkan oleh banyak pihak yang seakan-akan mengabaikan kondisi psikis dan mental para korban bullying dan tak menanganinya dengan serius. Kondisi ini tentunya berisiko mempengaruhi kondisi mental dan psikis para korban di masa depan.
Tak jarang para korban ini sendiri bisa saja menjadi pribadi yang lebih tertutup atau bahkan justru menjadi pelaku bullying bagi orang lain karena adanya indikasi ingin membalas dendam atas perlakuan bullying yang diterimanya di masa lalu.
Maka dari itu, pendampingan dan pemulihan psikis korban bullying tak bisa diabaikan begitu saja dan harus mendapatkan penanganan yang cukup serius. Terlebih lagi, kasus dan fenomena bullying ini sendiri tak bisa dianggap remeh dan harus menjadi tanggung jawab kita semua.