Bullying Subur Karena Kita Tak Pernah Menciptakan Safe Space, Benarkah?

Lintang Siltya Utami | Angelia Cipta RN
Bullying Subur Karena Kita Tak Pernah Menciptakan Safe Space, Benarkah?
Ilustrasi Bullying. (Pexels/Mikhail Nilov)

Setiap tahun, kampanye anti-bullying bermunculan di sekolah, kampus, komunitas, hingga media sosial. Poster berwarna cerah dipasang di dinding kelas, seminar motivasi berlangsung selama satu atau dua jam, dan konten anti-bullying dibagikan ribuan kali. Namun ada satu hal penting yang sering luput seperti ruang aman atau safe space tidak akan pernah hadir hanya karena kita mengulang slogan yang sama.

Sebab ruang aman bukanlah tempat tertentu, bukan ruangan ber-AC dengan bantal empuk, bukan pula sekadar ruang curhat. Ruang aman adalah tindakan kecil, komitmen pribadi, dan keberanian untuk tidak diam ketika melihat ketidakadilan. Dan masalah terbesar kita hari ini adalah budaya diam itu sendiri.

Di Indonesia, diam sering dianggap lebih aman daripada ikut memperbaiki keadaan. Kita diajarkan untuk tidak “ikut campur”, untuk menjaga harmoni meski harmoni itu palsu, untuk tidak melawan meski perilaku salah terjadi di depan mata.

Padahal bullying tidak selalu berbentuk kekerasan yang terlihat jelas. Ia bisa hadir dalam candaan kecil yang dianggap wajar, pengucilan dalam grup kelas, komentar soal fisik yang dibungkus “humor”, hingga sikap meremehkan yang dibiarkan karena dianggap bagian dari pergaulan.

Ketika ini terjadi, kebanyakan orang hanya menonton. Kita takut dianggap lebay, takut ikut jadi sasaran, atau bahkan menganggap itu normal. Sayangnya, justru cara pandang seperti itulah yang membuat bullying hidup dan tumbuh. Kita sering lebih cepat menyalahkan korban daripada menghadapi pelaku.

Ketika seseorang mengaku disakiti, respons yang muncul sering kali, “Ah, kamu baper banget,” atau “Bercanda doang,” atau “Anggap latihan mental.” Ucapan seperti ini mungkin terdengar ringan, tetapi ia menghancurkan satu hal keberanian untuk bersuara. Ruang aman pun tidak pernah terbentuk, karena orang yang butuh ruang justru dipaksa diam.

Itulah mengapa safe space sebenarnya bukan tentang menyediakan jawaban atau solusi instan. Safe space adalah tentang menyediakan telinga. Tempat di mana seseorang tidak takut bicara, tidak takut dihakimi, dan tidak takut diremehkan. Banyak anak muda yang ingin menceritakan pengalaman bullying, tetapi tertahan karena mereka tidak yakin ada orang yang percaya.

Mereka takut dibilang berlebihan, sensitif, atau hanya mencari perhatian. Ruang aman yang sebenarnya adalah ketika seseorang bisa berkata, “Aku dengar kamu,” tanpa buru-buru memberi nasihat atau mengoreksi.

Ruang aman terbentuk bukan oleh siapa yang bicara paling keras, tetapi oleh siapa yang mau mendengarkan paling tulus. Masalahnya, banyak dari kita menunggu. Kita menunggu sekolah tegas, kita menunggu guru mengambil tindakan, kita menunggu pemerintah membuat aturan.

Semua itu penting, tetapi tidak ada gunanya bila lingkungan sosial tidak berubah. Kebijakan tidak bekerja jika kita tetap menormalkan ejekan. Konselor sekolah tidak membantu jika korban takut berbicara. Poster tidak memberi efek apa pun jika kita masih tertawa saat melihat orang lain dipermalukan.

Pada akhirnya, safe space adalah proyek yang dibangun dari bawah, dimulai dari seseorang yang berani melakukan hal kecil tidak ikut menertawakan, tidak menyebarkan gosip, tidak mengomentari fisik orang lain, mengajak teman yang terisolasi untuk ikut bergabung, atau berani mengatakan “stop” ketika sesuatu terasa tidak wajar.

Tindakan-tindakan kecil ini sering diremehkan, padahal perubahan budaya selalu dimulai dari keberanian kecil yang dilakukan berulang kali. Ruang aman, pada dasarnya, bukan tentang membuat dunia selalu lembut. Dunia memang tidak selalu aman, dan itulah kenyataannya. Tetapi ruang aman adalah tentang memastikan tidak ada yang menghadapi kerasnya dunia sendirian.

Ruang aman hadir ketika seseorang merasa dilihat, didengar, dihargai. Dan itu mulai dari kita, bukan dari slogan, bukan dari program tahunan, bukan dari seminar dua jam.

Gerakan anti-bullying bukan sekadar kampanye. Ini adalah tanggung jawab sosial. Bullying tidak akan hilang hanya karena kita minta hilang. Ia hilang ketika kita berhenti membiarkannya.

Pada akhirnya, ruang aman tidak terbentuk dari poster yang ditempel di dinding, tidak lahir dari pidato panjang di acara sekolah, dan tidak muncul dari janji-janji kosong. Ruang aman terbentuk dari keberanian seseorang dalam menghadapi semua hal bersama, berani melawan penindasan dan itu, sesederhana apa pun, selalu dimulai dari diri kita sendiri.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak