Menyinggung isu pesisir Indonesia, yang terlintas dalam pandangan kita biasanya adalah sumber daya alam yang melimpah. Negara kita memang dikenal sebagai negara yang kaya, di wilayah pesisir misalnya kita pasti terbayang dengan adanya perahu-perahu kecil, atau kehidupan nelayan yang mata pencahariannya mengandalkan laut.
Namun, kenyataan di lapangan sering kali berbeda, nelayan kecil yang kita bayangkan hidup dengan bahagia karena dekat dengan sumber daya alam yang melimpah nyatanya masih jauh dari apa yang dibayangkan. Masalahnya adalah bagaimana mereka harus berurusan dengan industry besar.
Ada banyak ancaman untuk mereka (nelayan kecil), mulai dari masalah tambak raksasa, proyek reklamasi, pabrik di tepi laut, hingga kapal penangkap ikan berukuran besar yang memonopoli ruang tangkap.
Salah satu contoh dari masalah ini adalah seperti yang dilansir dari media BETAHITA, yang menyebutkan bahwa Ruang tangkap nelayan Jawa Tengah menyempit setelah pemerintah menetapkan pesisir dan laut sebagai kawasan industri untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Masalah lain selanjutnya adalah ada banyak pencurian ikan (illegal fishing) di wilayah pesisir kita, bahkan ada kasus yang lebih menghebohkan dimana terdapat kasus penyelundupan benih bening lobster. Dalam kasus itu, Kepolisian Resor (Polres) Pesisir Barat menetapkan dua tersangka baru yang salah satu tersangka merupakan anggota Polri yang bertugas di wilayah hukum Polres Pesisir Barat Lampung.
Ruang Tangkap yang Menyempit untuk Nelayan
Nelayan kecil pada dasarnya masih punya tempat untuk menangkap ikan. Secara teknis mereka masih punya laut untuk bekerja. Namun, apakah mereka masih bisa menggunakannya dengan bebas?
Ketika industri besar menangkap sumber daya alam dengan alat tangkap modern, menggunakan laut yang sama. Otomatis mereka akan kalah dari segi jangkauan maupun teknologi. Kekalahan mereka juga akan berpengaruh dengan hasil yang mereka dapat.
Selain hal itu, nelayan juga harus menghadapi beberapa tantangan lain yakni, proyek reklamasi yang menutup titik-titik zona tangkap mereka; perusahaan tambak membuat pesisir yang sebelumnya menjadi area bebas kini berubah jadi kawasan privat; limbah industri yang mencemari laut dan berpotensi untuk merusak ekosistem serta mematikan ikan.
Masalah-masalah ini bukan sekedar tantangan bagi mereka, tapi nelayan kecil akhirnya kehilangan hak dasar mereka untuk punya akses terhadap wilayah mereka sendiri.
Ketimpangan Kuasa: Industri Mendapat Banjir Izin daripada Nelayan
Berbicara mengenai kuasa, nelayan hampir tak punya posisi untuk itu. Di meja perizinan suara mereka tentu akan tenggelam oleh perusahaan besar, rencana proyek, pemerintah daerah, investor, kepentingan ekonomi lainya.
Untuk kasus izin, tentu industri besar akan diberikan tanpa konsultasi bermakna dengan masyarakat pesisir. Bahkan ketika ada sosialisasi untuk pencegahan itu semua dan mementingkan nelayan kecil itu adalah hal yang formalitas belaka. Pendapat nelayan akan tenggelam seiring dengan kenyataan proyek yang sudah dimulai dan alat berat sudah berada di bibir pantai.
Ketimpangan kuasa ini nyata adanya, membuat nelayan kecil harus berhadapan dengan kenyataan pahit bahwa suara mereka akan tenggelam.
Payung Hukum Ada, Ruang Tetap Tidak Terbuka Lebar
Secara legalitas, seharusnya nelayan kecil memang punya payung hukum untuk melindungi keberadaan mereka. Nyatanya, aturan itu memang nyata adanya.
Pertama, ada UU No.7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan yang menjamin akses ruang tangkap dan perlindungan dari konflik dengan industri; Kedua, Peraturan Zonasi Wilayah Pesisir yang mengatur pembagian ruang laut agar tidak dikuasai industry besar; Ketiga, UU Lingkungan Hidup yang melarang pencemaran dan kerusakan habitat pesisir; dan masih banyak lagi.
Artinya, masalah bukan dari ketiadaan aturan untuk melindungi nelayan kecil. Tetapi, masalah penegakan yang selektif. Industri besar yang masih melanggar batas atau sanksi yang kurang tegas adalah masalah utamanya.
Sementara itu, Nelayan kecil yang tidak punya akses dan pengetahuan hukum akhirnya hanya bisa pasrah untuk menerima keadaan itu. Harusnya hukum yang bisa menjadi alat penyelamat nelayan kecil, namun hari ini belum bisa menegakkan keadilan dengan semestinya.
Saatnya Kita Bersuara
Jika bicara soal masa depan pesisir, nelayan harus ditempatkan sebagai pihak yang ikut dalam pembangunan pesisir ini. Mereka adalah pihak yang paling paham dengan ruang laut dan hidup berdampingan dengannya. Mereka juga pihak paling terdampak jika ada kebijakan yang salah arah.
Bagi penulis, solusi untuk ini adalah dengan bersuara. Bukan hanya suara dari nelayan kecil tapi dari kita sebagai seorang warga negara yang peduli akan keselamatan hidup para nelayan. Kita juga harus memastikan bahwa masyarakat pesisir tidak dikorbankan atas nama pertumbuhan ekonomi negara semata.
Untuk pemerintah, ini adalah suara untuk merubah segalanya. Sudah waktunya pemerintah benar-benar menempatkan perlindungan nelayan kecil sebagai prioritas utama. Karena jika suara mereka terus tenggelam, suatu saat yang hilang bukan hanya nelayan. Namun, wilayah pesisir serta masa depan kita!