Wilayah pesisir Indonesia bukan sekedar hanya garis batas antara darat dan laut. Namun, ia adalah ruang hidup yang puluhan tahun dijaga oleh masyarakat local, tempat mereka menambatkan identitas, budaya dan cara merawat alam.
Hadirnya, produk hukum baru yang dibentuk sebagai Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU Konservasi) muncul dengan istilah baru yang bernama “areal preservasi”. Istilah itu pun memunculkan kekhawatiran khususnya untuk masyarakat pesisir.
Alih-alih memperkuat perlindungan ekosistem, regulasi ini dikhawatirkan justru membuka pintu baru bagi perampasan ruang pesisir.
Ruang yang Diklaim Kosong, Padahal Tempat Masyrakat Pesisir Hidup
Salah satu masalah terbesar dalam tata kelola pesisir Indonesia adalah bagaimana cara negara memandang pesisir dan laut sebagai area kosong. Hal ini dibuktikan dengan negara yang mengkalim bahwa ribuan desa pesisir sebagai kawasan hutan atau wilayah kelola tanpa melibatkan pendapat masyarakatnya.
UU Konservasi ini akhirnya memperkuat pola tersebut dengan memberi pemerintah kewenangan untuk menetapkan “areal preservasi” secara sepihak.
Dilansir dari Mongabay, Imam Mas’ud, Kepala Divisi Pengelolaan Pengetahuan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), menjelaskan, penetapan areal preservasi itu wewenang pemerintah pusat dan daerah.
Oleh karena itu, yang menjadi masalah akhirnya adalah pada praktiknya akan sama dengan yang pemerintah lakukan selama ini saat menetapkan areal yang berkaitan dengan KSDAHE lainnya yang tidak melibatkan masyarakat, sehingga hanya merupakan klaim sepihak pemerintah.
Ketika sebuah ruang ditetapkan sebagai areal preservasi tanpa partisipasi dari masyarakatnya, maka nilai ruang hidup untuk masyarakat di dalamnya juga akan terhapus. Pesisir pada akhirnya akan dianggap sebagai temat yang bisa digunakan sesuai dengan kebutuhan pemerintah (politik).
Kita semua sadar bahwa pesisir bukan tanah kosong, melainkan tempat yang dihuni, dikelola, dan diwariskan untuk masyarakatnya.
Potensi Perampasan Ruang Hidup Berlabel Hijau
Salah satu polemik yang muncul adalah terbukanya pengelolaan areal preservasi oleh pihak luar. Hal ini termaktub dalam Pasal 9 Ayat 4 yang berbunyi “Setiap Orang yang memiliki perizinan berusaha di Areal Preservasi wajib menjaga kelangsungan fungsi perlindungan wilayah dengan melakukan kegiatan Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, termasuk menyediakan pendanaannya.”
Tak bisa dipungkiri, pada pasal 9 ayat 4 tersebut berpotensi untuk membuka jalan bagi pihak luar termasuk korporasi untuk mengelola areal preservasi dengan dalih konservasi. Model bentuknya pun beragam mulai dari investasi karbon biru (blue carbon), perdagangan karbon, hingga dept swap yang menggunakan wilayah pesisir sebagai kompensasi utang negara.
Sebelumnya, perampasan ruang yang dilakukan oleh pemerintah terjadi lewat tambang, reklamasi ataupun perkebunan dengan skala besar, kali ini mereka hadir lewat bentuk narasi lingkungan,
Dengan adanya regulasi ini, perusahaan yang punya kewajiban melakukan konservasi dikhawatirkan akan mematikan cara konservasi warga yang sudah berjalan lama. Label preservasi (ekologis) ini akan menjadi celah untuk masyarakat mengakses ruang kelola, mendorong relokasi paksa masyarakat pesisir atau bahkan menggosongkan ruang untuk kepentingan ekonomi yang hanya menguntungkan pihak luar saja.
Kebijakan yang Tak Akui Penjaga Wilayah
Masyarakat pesisir termasuk nelayan tentu punya pengalaman untuk melakukan konservasi. Masyarakat pesisir pasti lebih paham mana yang harus dijaga, kapan harus berhenti menangkap ikan, dan bagaimana kesenjangan anatara hidup dan ekosistem.
UU Konservasi hadir bukan untuk memberikan perlindungan bagi masyarakat pesisir untuk melakukan konservasi berbasis pengalaman, namun sebaliknya justru menempatkan mereka sebagai ancaman. Pada dasarnya yang sering merusak alam justru proyek-proyek besar yang hadir dari izin pemerintah itu sendiri.
Aturan yang membuka ruang legal utuk mengawetkan kawasan, maka akan berimbas dengan relasi kuasa yang timpang. Negara dan korporasi punya wewenang untuk memutuskan nasib sebuah wilayah, termasuk wilayah pesisir. Sementara itu, masyarakat sering kali diabaikan dalam pengambilan keputusan itu.
Pesisir adalah ruang yang menghadapi perubahan iklim, ruang ini akan rapuh jika masyarakat penjaganya disingkirkan.
UU Konservasi harusnya menjadi jalan untuk memperkuat kehidupan dalam ruang pesisir. Regulasi ini harusnya menjadi acuan bagaimana pemerintah berhasil memastikan partisipasi, perlindungan ruang hidup, dan mengakui bahwa konservasi yang paling baik adalah datang dari mereka yang hidup di pesisir itu sendiri.
Secara keseluruhan, penulis menyimpulkan bahwa kita harus kompak untuk bersuara. Kritik terhadap UU Konservasi dilakukan bukan karena penolakan tetapi ini adalah suara untuk lingkungan yang lebih baik. Ini adalah pengawasan dari rakyat untuk kebijakan agar produk hukum tercipta tidak untuk menjadi alat perampas ruang bagi rakyat pesisir.
Konservasi lingkungan tentu hal yang baik, namun ini tidak boleh menjadi kedok untuk perampasan. Masa depan pesisir harus ditentukan dengan suara mereka yang hidup didalamnya.
