Sejak UU Nomor 19 Tahun 2019 disahkan, suasana pemberantasan korupsi di Indonesia rasanya seperti menonton sinetron yang sudah kelamaan tayang: pemainnya mulai terlihat bosan, plotnya makin aneh, dan penontonnya cuma bisa geleng kepala tapi tetap nonton karena penasaran. Pemerintah bersikeras bahwa revisi ini adalah langkah “penguatan”. Publik mengangguk… sambil mikir, “Ini benar menguatkan KPK atau justru melemahkan dengan gaya halus?”
Secara resmi, revisi ini dibuat untuk merapikan tata kelola KPK. Lebih akuntabel, lebih profesional, lebih sesuai negara hukum. Kalimat resmi yang rapi, seperti spanduk seminar bertema “Optimalisasi Etos Kerja Aparatur Negara dalam Era Transformasi Digital”, bagus dibaca, tapi kadang tak berdampak apa pun di dunia nyata.
Contohnya perubahan status pegawai KPK menjadi ASN. Katanya supaya profesional. Tapi sebagian publik bertanya-tanya, “Profesional menurut siapa? Bukannya ASN itu hidup di dunia yang serba prosedural, serba izin, dan serba tunggu tanda tangan dulu?” Kekhawatiran muncul karena KPK yang dulu gesit seperti kucing liar di malam hari, bisa saja berubah menjadi kucing rumahan yang harus nunggu majikan bilang “boleh” sebelum loncat ke meja.
Lalu ada Dewan Pengawas. Tujuannya mulia: mengontrol agar tidak ada penyalahgunaan wewenang. Tapi kalau setiap penyadapan butuh izin dulu, proses penggeledahan harus dilaporkan, dan penyitaan perlu rekomendasi, bukankah itu seperti menyuruh polisi menangkap maling tapi harus minta surat izin dari pengurus RT? Malingnya sudah kabur, berdandan, dan update status di media sosial sebelum operasi dimulai.
Pemerintah tetap menjelaskan bahwa semua ini demi mencegah penyimpangan. Publik mendengar, tapi tidak sedikit yang merasa seperti mendengar jurus lama: “Tenang, kami melakukan ini demi kebaikan kalian.” Kebaikan versi siapa? Itu yang belum jelas.
Yang Mendukung Revisi: Katanya Ini Masalah “Harmonisasi”
Agustinus Pohan menyebut UU Tipikor dan KUHP baru seperti dua penyanyi duet yang tidak pernah latihan bareng—bentrok nada dan tidak sinkron. Jadi revisi dianggap perlu. Romli Atmasasmita menambahkan bahwa revisi ini untuk “mengembalikan jati diri” KPK. Seakan-akan KPK selama ini sedang salah pergaulan dan perlu dipanggil pulang.
Secara logika, alasan mereka masuk akal. Tapi politik kan tidak selalu bermain di logika. Seringkali ia bermain di “kepentingan” yang tidak ada di brosur resmi.
Yang Menolak Revisi: “Cepet Banget, Kok Kayak Kejar Deadline Tugas Kuliah?”
Banyak akademisi mempertanyakan proses revisi yang hanya 13 hari. Ini bukan draft makalah mahasiswa, tapi undang-undang yang menyangkut masa depan pemberantasan korupsi. Bahkan promo cuci gudang di marketplace saja durasinya lebih lama.
Idul Rishan juga mengingatkan bahwa revisi ini tidak masuk Prolegnas. Jadi orang wajar bertanya-tanya: ini revisi mendadak atau revisi pesanan?
Manullang dkk menilai bahwa meski KPK kuat, korupsi tetap belum menurun drastis. Betul. Tapi apakah solusinya memperlambat KPK? Kalau ban mobil bocor, apakah solusinya menurunkan kecepatan atau menambal bannya?
Bagi saya, revisi ini bisa jadi baik, kalau niat serta eksekusinya benar. Struktur KPK bisa jadi lebih rapi, pengawasan bisa lebih kuat, pegawainya bisa lebih profesional. Tapi itu semua hanya mungkin terjadi kalau revisi tidak dijadikan alasan untuk meredam gebrakan KPK.
KPK harus tetap tajam. Jika revisi menyebabkannya tumpul, ya berarti ada yang salah.
Lalu, Bagaimana Menjaga KPK?
Yang paling penting: Dewan Pengawas harus benar-benar independen. Bukan independen tapi condong ke satu sisi.
Izin penyadapan dan penggeledahan harus cepat, jangan sampai seperti antre BPJS.
Pegawai ASN KPK harus diberi jalur karier khusus supaya tidak terjebak budaya “yang penting absen”.
Dan tentu saja, partisipasi publik harus makin kuat. Tanpa pengawasan masyarakat, lembaga antikorupsi bisa berubah jadi lembaga anti-ribut.
Pada akhirnya, revisi UU 19/2019 harus dievaluasi berkala. Kalau ternyata malah membuat KPK melemah, revisi balik saja. Yang penting, pemberantasan korupsi jangan sampai kalah cepat dari kreativitas koruptor.