Sebagian orang merasa produktif merupakan kewajiban untuk mengembangkan potensi diri. Terlebih saat pandemi, para pekerja Work From Home (WFH) akan mencari kegiatan lain untuk mengisi waktu luang agar menjadikannya lebih produktif. Tak sedikit pula dari mereka membuat hal tersebut berlebihan sehingga berdampak buruk bagi kesehatan.
Kini, generasi milenial tengah dibanjiri dengan istilah “hustle culture”, “workaholic”, dan “toxic productivity”. Secara garis besar, mereka memang memiliki kesamaan, tetapi apakah yang menjadi pembedanya?
Hustle culture
Hustle culture adalah prinsip budaya seseorang untuk bekerja secara berlebihan, bahkan nonstop dengan tujuan materi ataupun takhta. Tidak jarang para pekerja bangga dan mengglorifikasi budaya ini sebagai tren yang positif. Namun, nyatanya hal ini tidak baik untuk kesehatan mental dan fisik.
Dikutip dari laman Headversity, dengan memaksa pekerja mempunyai pola pikir 'go hard or go home', prinsip ini mengakibatkan tubuh dalam kondisi 'fight or flight'. Secara tidak lansung membuat pekerja mengalami stres yang berkepanjangan.
Jika hal tersebut terjadi dalam waktu lama, otak akan melepaskan hormon kortisol dalam jumlah yang lebih tinggi sehingga memberikan efek buruk, seperti kecemasan, depresi, penyakit jantung, gangguan memori, dan banyak lagi.
Toxic productivity
Toxic productivity atau 'produktivitas yang tidak sehat' merupakan efek dari hustle culture yang membuat pola pikir seseorang ingin selalu beraktivitas dalam hal apapun. Orang yang menerapkan budaya ini biasanya akan merasa canggung atau cemas jika tidak melakukan sesuatu dalam kurun 2-3 jam.
Tidak ada yang salah ketika kita berproduktif. Namun, sangat tidak wajar jika hal tersebut terus-menerus dilakukan. Sebab, jiwa dan raga mempunyai kapasitas sehingga diperlukan waktu untuk istirahat dan bersantai.
Workaholic
Menurut Klikdokter, workaholic atau 'gila bekerja' biasanya hanya suka bekerja melebihi batas waktu yang ditetapkan sehingga aspek lain di dalam hidupnya terbengkalai. Sebenarnya hampir sama dengan hustle culture, tetapi ia cuma mendedikasikan waktunya untuk bekerja sehingga menyampingkan realitas. Hal tersebut berbeda dengan pekerja keras yang mempunyai work balance dalam prinsipnya.
Pada akhir kata, ketiga hal tersebut tidak akan menjamin kita sebagai orang yang sukses, kaya raya, dan bahagia di masa depan bukan? Sebab, kesehatan fisik dan mental yang optimal adalah kunci utama membuat hidup lebih nyaman.
Sekalipun ingin produktif bekerja, kita harus menyeimbangkannya dengan faktor lain, seperti berlibur, kumpul bersama teman dan keluarga, ataupun yoga (meditasi). Hal tersebut bisa menjadi reward kita untuk diri sendiri sebagai hadiah atas kerja keras selama berhari-hari.