Dear Gen Z, Yakin Masih Mau Kerja Nine To Five?

Hikmawan Firdaus | Ridho Hardisk
Dear Gen Z, Yakin Masih Mau Kerja Nine To Five?
Ilustrasi Gen Z kewalahan dengan beban kerja. (Pexels/energepic.com)

Generasi Z, generasi yang lahir di era digital dan tumbuh besar dalam dunia yang serba cepat ini, seringkali mendapatkan label sebagai generasi yang ‘manja’. Namun, apakah benar demikian? Ataukah kita hanya belum memahami cara kerja dan preferensi mereka dalam dunia kerja?

Artikel ini akan membahas tentang bagaimana generasi Z tidak perlu memaksakan diri untuk bekerja dalam jam kerja tradisional, yaitu dari jam sembilan pagi hingga lima sore, jika mereka merasa tidak mampu. Kita akan mengeksplorasi bagaimana fleksibilitas dan keseimbangan antara kehidupan pribadi dan profesional menjadi lebih penting bagi generasi ini daripada mengikuti norma kerja konvensional. 

Sebelum mencoba kerja kantoran, pahami dulu sistem nine to five

Sebelum memutuskan untuk terjun ke dunia kerja kantoran dengan sistem kerja “nine to five”, penting bagi kita untuk memahami apa sebenarnya sistem ini. Sistem “nine to five” adalah sistem kerja konvensional yang mengharuskan karyawan bekerja dari pukul sembilan pagi hingga lima sore. Meski tampak sederhana, sistem ini memiliki berbagai implikasi, baik positif maupun negatif.

Di satu sisi, sistem ini memberikan struktur dan rutinitas yang jelas, memudahkan koordinasi antar karyawan, dan menciptakan batas yang jelas antara waktu kerja dan waktu pribadi. Namun, di sisi lain, sistem ini mungkin tidak cocok untuk semua orang, terutama bagi mereka yang memiliki gaya kerja atau ritme biologis yang berbeda. Oleh karena itu, sebelum memilih untuk bekerja dalam sistem “nine to five”, penting untuk mempertimbangkan apakah sistem ini sesuai dengan gaya kerja, kebutuhan, dan preferensi kita.

Jika tidak nyaman, lebih baik berhenti daripada menyusahkan rekan kerja yang lain

Subjudul ini menyoroti pentingnya kesejahteraan individu dalam lingkungan kerja. Jika seseorang merasa tidak nyaman dengan pekerjaannya, terutama dalam konteks sistem kerja “nine to five”, hal ini dapat berdampak negatif tidak hanya pada individu tersebut, tetapi juga pada rekan kerja dan produktivitas keseluruhan tim. Ketidaknyamanan dapat mempengaruhi kinerja kerja, motivasi, dan bahkan kesehatan mental seseorang.

Dalam jangka panjang, hal ini bisa menjadi beban bagi rekan kerja yang mungkin perlu mengambil alih tugas atau menangani stres tambahan. Oleh karena itu, jika seseorang merasa tidak nyaman dengan pekerjaannya, mungkin lebih baik untuk mencari alternatif lain daripada memaksakan diri untuk bertahan dalam situasi yang tidak sehat. Ini bukan berarti menyerah, tetapi lebih kepada menghargai diri sendiri dan mengakui bahwa setiap orang memiliki kebutuhan dan batasan yang berbeda dalam dunia kerja.

Cukup realistis dengan keadaan, lihat peluang kerja yang lain 

Fenomena Gen Z sekarang masih cukup sulit untuk mengenali, mengakui serta memahami keadaan pada dirinya sendiri. Padahal, dunia kerja tidak sesempit itu, harusnya bersyukur dengan perkembangan digitalisasi, Gen Z bisa mengenai sistem kerja WFH atau remote. Pekerjaan pada sistem ini sudah banyak diterapkan oleh banyak perusahaan dan pada posisi tertentu. Tinggal para Gen Z menyesuaikan dengan jenis pekerjaan yang lebih sesuai dengan diri sendiri. Jadi, tidak perlu harus pansos di media sosial dengan bawa mental health dan pengen healing ke suatu tempat.

Sekedar nasehat dari seseorang yang juga anak Gen Z, jika terlalu sibuk mementingkan mental health, kamu akan kehilangan kesempatan untuk berkembang lebih jauh sedangkan masih banyak jutaan orang yang siap menggantikan posisimu di dunia kerja. Semoga bermanfaat.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak