Ini adalah pengalaman kolektif setiap mahasiswa, khususnya bagi mereka di rumpun sosial-humaniora, yang kepayahan dalam memilih teori untuk penelitian sosial, khususnya skripsi yang menjadi penentu kelulusan. Padahal, mereka sudah lulus mata kuliah teori, tapi terkadang saking banyaknya pilihan teori, mereka kebingungan mana yang harus dipilih.
Walhasil, karena kebingungan tanpa arah, nggak sedikit mahasiswa itu asal-asalan milih teori. Tidak jarang mereka memilih teori nyari yang dikuasai, nyari yang menurutnya mudah, nyari teori yang disukainya. Bahkan enggak jarang dari mahasiswa itu milih teori cap cip cup kembang kuncup, tebak-tebakan saja, dan takdir yang menentukan.
Dikarenakan pemilihan teori yang nggak berlandas itu, tidak sedikit dari mahasiswa kenak omel dosen, caci maki, bahkan umpatan amarah dari dosen yang mengoblok-goblokkan mahasiswa dalam memilih teori. Ya, itu risiko, kalau milih teori asal-asalan dan nggak berdasar.
Nah, untuk menghindari caci maki dosen, dan untuk keberlangsungan pengerjaan skripsi biar lancar, saya ada beberapa kiat sukses untuk memilih teori untuk penelitian sosial. Oleh karenanya, wahai mahasiswa sosial humaniora, simaklah dengan seksama.
1. Identifikasi Paradigmanya
Kunci untuk memilih teori itu harus selaras, kalo teorinya ngebahas A, ya penelitian sosialnya ngebahas A. Jangan teori ngebahas A, eh penelitian sosialnya ngebahas Z, ya nggak nyambung dong. Ingat, penelitian sosial itu basisnya ilmiah, kerja berpikirnya juga ilmiah, bukan cocokologi, yang penting gatuk.
Nah, salah satu keselarasan yang perlu diperhatikan adalah tentang paradigma teori yang hendak digunakan. Salah satu paradigma yang biasa digunakan untuk teori sosial, khususnya sosiologi itu adalah paradigma dari George Ritzer. Mulai dari paradigma fakta sosial, yang mencakup teori-teori sistem, teori konflik dan lainnya. Paradigma definisi sosial, yang mencakup teori-teori tindakan sosial, interaksi simbolik dan yang lainnya. Dan, terakhir paradigma perilaku sosial yang terdiri teori-teori behaviorisme, pertukaran dan seterusnya.
Kita harus tau banget nih teori yang kita gunakan itu paradigmanya apa. Pasalnya, itu menentukan objek yang diteliti dan metode yang harus digunakan. Misal nih, kalau fakta sosial itu menggunakan kuantitatif, definisi sosial menggunakan kualitatif, dan perilaku sosial menggunakan eksperimen.
Nah, jadi mahasiswa punya gambaran, kalau emang nggak suka hitung-hitungan bisa pakai teori-teori yang tergolong paradigma definisi sosial atau perilaku sosial. Namun, kalau mahasiswa suka banget hitung-hitungan bisa menggunakan teori-teori di paradigma fakta sosial.
2. Pahami Skala Ruang Lingkupnya
Selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah tentang ruang lingkup penelitian sosial yang hendak kita lakukan. Sekurang-kurangnya ada tiga pembagian, mulai dari skala makro yang membahas masyarakat secara luas, negara atau semacamnya, kemudian meso yang merupakan taraf menengah seperti komunitas dan paling kecil ada mikro yang berfokus pada individu.
Mahasiswa harus menyelaraskan nih antara subjek penelitiannya dan teori yang akan digunakannya. Tentu sangat aneh ketika teorinya skala makro ngebahas negara, globalisasi, atau semacamnya, tapi yang diteliti subjeknya hanya segelintir orang. Begitupun dengan ketika teorinya ngebahas mikro, eh yang diteliti subjeknya ratusan orang.
Misal nih, mau membahas tentang pengalaman sosial seseorang, itu bisa menggunakan teori-teori mikro seperti fenomenologi, identitas, self, atau semacamnya. Berkebalikan dengan itu, misalnya mau membahas perseteruan antara etnis A dengan etnis B, nah itu menggunakan teori-teori makro seperti teori konflik.
3. Telaah Metodenya
Hampir kebanyakan teori, apalagi teori yang sudah komperhensif, yang sudah dikaji berulang-ulang, teori yang sudah didengar oleh telinga di seluruh dunia, biasanya teori itu memiliki metode-metode wajib yang digunakan untuk penelitian sosial. Jadi nggak asal sembarangan nih kalau kita menggunakan teori A, eh metodenya nyomot-nyomot dari tokoh lain. Itu nggak bisa, kita nggak boleh berkhianat dengan tokoh lain.
Misalnya nih, bagi mahasiwa yang menggunakan teori-teori yang dikemukakan Max Weber, maka dalam penelitian sosialnya bisa menggunakan metode verstehen yang emang sudah diciptakan oleh tokohnya. Teori lain seperti tokoh Peter L. Berger, itu bisa menggunakan metode debunking.
Kenapa kok harus selaras seperti ini? Ya, agar data yang dihasilkan itu dapat dianalisis menggunakan teori yang digunakan. Selain itu, ketika di lapangan si peneliti ini bisa terarah apa-apa saja yang seharusnya digali ketika penelitian.
4. Tujuan Penelitian dan Teori harus Selaras
Terakhir, yang tak kalah pentingnya juga adalah keselarasan antara tujuan penelitian dan peta konsep atau proposisi yang ada di dalam teori. Ini harus dan wajib banget, jangan sampai hal ini nggak selaras.
Jadi, kita tentuin dulu nih, tujuan penelitian kita ini apa sih? Untuk kelulusan sarjana? Ya, jangan gitu juga ya. Maksudnya tujuan penelitian itu adalah apa sih yang mau digali dari penelitian ini? Kalau sudah ketemu, baru nyari teori yang memang sesuai dengan visi kita. Misal, untuk membongkar wacana tertentu, itu bisa menggunakan teori-teori Foucault atau Derrida.
Nah, itu beberapa kiat dalam memilih teori untuk penelitian sosial. Jadi, jangan lagi sekali-kali mencoba makai teori asal-asalan yang penting suka. Plis, dosen kalian mikirnya nggak begitu.