Angka pernikahan kaum muda di Indonesia terus menurun sejak pandemi Covid tahun 2020 silam. Data Badan Pusat Statistik RI yang dirilis awal bulan Maret 2024 menegaskan adanya trend penurunan tersebut.
Berdasarkan data BPS, pada tahun 2023, persentase kaum muda yang memutuskan belum mau melepas masa lajang jumlahnya sekitar 68,29 persen. Jumlah ini mengalami peningkatan dari 54 persen pada tahun 2014 dan terus konsisten mengalami kenaikan selama kurun waktu 9 tahun terakhir.
Angka persentase ini mengindikasikan makin banyak anak muda di rentang usia ideal untuk menikah dan membangun rumah tangga memutuskan untuk menunda atau bahkan menolak untuk menikah.
Jika bertolak dari peraturan perundang-undangan, kaum muda atau pemuda adalah mereka yang berada di rentang usia antara 16 sampai 30 tahun.
Menyoroti isu ini, sebuah fakta menarik terungkap dalam sebuah acara podcast di kanal YouTube milik praktisi mindfulness, Adjie Santosoputro.
Mengutip cuplikan video podcast bertajuk "Pulih Nan Selaras" tersebut, Adjie tengah berdiskusi dengan salah seorang penulis skenario sekaligus sutradara film terkenal Ginantri S. Noer. Keduanya tengah membahas tentang film terbaru Gina Noer yang berjudul "Dua Hati Biru".
Ketika ditanya Adjie apa tanggapannya tentang tren anak muda di Indonesia yang kian enggan menikah, Gina S Noer berpendapat jika media sosial adalah pemicu terbesar munculnya tren tersebut.
Hal ini disadari Gina ketika ia sendiri melihat contoh keponakannya yang tidak mau menikah dan tidak mau punya anak.
Menurut Gina, pola pikir yang terbentuk dalam diri keponakannya termasuk anak muda kebanyakan di era saat ini paling banyak dipengaruhi derasnya informasi miring soal pernikahan yang disebar secara masif di media sosial.
"Kalau lihat media sosial, banyak banget yang tidak mau menikah dan tidak mau punya anak. Mengapa? Karena yang ditonjolkan itu adalah trauma-trauma gitu loh. Apalagi di medsos banyak banget di spill segala macam hal yang membuat keinginan menikah dan punya anak itu makin menurun," ungkapnya.
Salah satu contoh nyata adalah soal isu perselingkuhan. Menurut Gina, alasan mengapa kemudian banyak anak muda tidak mau menikah dan punya anak karena takut diselingkuhi.
"Misalnya nih, isu perselingkuhan yang dihembuskan di medsos. Orang-orang jadinya tidak mau menikah karena takut," ujar Gina.
Padahal menurutnya, tidak semua hal yang dibahas di media sosial itu adalah kebenaran.
"Soal perselingkuhan. Yang kalian lihat itu kan hanya puncak gunung es. Bagian dalamnya tidak terpublish ke atas," kata Gina.
Menurut Gina, meskipun tantangannya berat, ia ingin dirinya termasuk generasi muda saat ini belajar untuk melihat pernikahan dengan kacamata berbeda, yaitu kasih.
"Gue itu melihat pernikahan itu, walaupun berat tapi dilihat dengan kasih gitu," ucapnya.
Senada dengan Gina, Adjie menyebut jika isu perselingkuhan yang terus dihembuskan di media sosial untuk menciptakan rasa takut dan enggan untuk menikah di kalangan anak muda sebagai sebuah hal yang harus disikapi dengan bijaksana.
"Padahal ada banyak juga pasangan menikah yang tidak selingkuh, tetapi justru yang terus diangkat dan dibahas di medsos justru soal pasangan yang selingkuh." ujarnya.
Menurut Adjie, kemungkinan ini diakibatkan kecenderungan pikiran manusia yang lebih tertarik membahas hal-hal yang negatif daripada yang positif.
"Misalnya waktu kita nongkrong bareng teman. Yang paling banyak dibahas justru kasus selingkuh teman sendiri kan daripada keharmonisan rumah tangga teman. Kecenderungan pikiran manusia ya seperti itu," ucapnya.
Berangkat dari keresahan ini, Gina Noer berharap film "Dua Hati Biru" bisa memberikan sebuah perspektif baru bagi masyarakat, terutama kaum muda dalam melihat berbagai masalah yang terjadi dalam keluarga.
"Saya pun berharap, film "Dua Hati Biru" ini juga membuat orang menjadi lebih clear tentang pernikahan. Bahwa kita tidak perlu berekspektasi terlalu tinggi, karena itu bahaya. Kita nya yang akan kecewa. Tapi bukan juga berarti nakut-nakutin sehingga orang tidak mau menikah," ungkap Adjie Santosoputro. (*)