Baru-baru ini, terjadi perdebatan di platform X (dulu Twitter) yang bikin warganet terpecah jadi dua kubu. Perdebatan tersebut mengarah pada persoalan personal branding.
Umumnya, kita mengetahui personal branding sebagai hal positif yang sangat dibutuhkan di pasar kerja saat ini. Namun, hal tersebut justru memicu komentar negatif dari beberapa orang.
Ada yang mengatakan kalau branding seharusnya digunakan hanya untuk merek dagang atau orang yang memang pekerjaannya terikat dengan citra publik, seperti influencer. Beberapa berpendapat bahwa orang biasa tidak seharusnya repot-repot membangun sebuah ‘merek diri’.
Akun X @piesusugoceng membagikan komentarnya, “It’s ironic how society seems to force us untuk bikin the ideal image of us in front of public and call that as “personal branding”. Kayak dipaksa masang merek mahal terus dipajang di etalase toko,” tulisnya.
Ada pula akun @strawken700 yang menambahkan, “Been a hater of “personal branding” since start. Cause, unless you’re a public figure or business owner, why we need to be a brand? We’re a human being,” ujarnya.
@nonhieumanbeing juga menambahkan, “Guys, you need to understand that personal branding is part of the wicked system.”
Sebenarnya, Apa Sih Manfaat Personal Branding?
Meski menuai kritikan, personal branding tetap memiliki peran penting di dunia profesional. Berdasarkan Harvard Business School Online, personal branding adalah praktik strategis untuk mendefinisikan serta mengekspresikan nilai diri. Ini tidak cuma soal penampilan luar saja, tetapi tentang bagaimana orang lain memandang keahlian, karakter, dan keunikan kita.
Harvard juga menjelaskan beberapa manfaat penting dari personal branding, di antaranya:
Meningkatkan Visibilitas dan Pengaruh: Personal branding yang kuat dapat membantu seseorang dikenal lebih luas, membuka peluang promosi, dan mendapatkan pengakuan.
Membangun Kepercayaan dan Kredibilitas: Personal branding yang autentik mampu menumbuhkan kepercayaan dari rekan kerja dan atasan.
Memperluas Jaringan Profesional: Melalui personal branding yang jelas, orang lain akan lebih mudah mengenali keahlian kita dan tertarik untuk membangun koneksi baru.
Kenapa Bisa Jadi Kontroversi? Titik Temu Antara Peluang dan Tekanan
Perdebatan yang ada sebenarnya menunjukkan bahwa terdapat sebuah ketimpangan dalam sistem sosial. Banyak orang akhirnya merasa terpaksa untuk menampilkan sisi “ideal”, yang seringkali terasa palsu dan membebani. Personal branding secara halus akhirnya menjadi sebuah kewajiban, bukan lagi pilihan.
Misalnya, untuk mendapatkan pekerjaan, kamu seolah-olah harus punya personal branding yang "menjual" di LinkedIn, yang menciptakan kesan bahwa ini adalah syarat tak tertulis di dunia kerja.
Akibatnya, tak jarang personal branding lebih sering diasosiasikan sebagai sistem yang hanya mementingkan penampilan dan status.
Jadi, Harus Gimana Dong?
Personal branding memang bisa menjadi senjata jitu untuk menaikkan peluang karier. Tetapi, apakah ini berarti kamu harus selalu memenuhi gambaran ideal yang ada? Tentu saja tidak!
Setiap orang punya karakter dan keunikannya masing-masing. Kamu tidak perlu melulu mengikuti standar yang telah ditetapkan dunia agar bisa menonjol. Cukup jadi unik, yaitu dengan menjadi dirimu sendiri secara autentik.
Tidak perlu membebani diri. Jika personal branding bisa menjadi sarana untuk menyeimbangkan profesionalitas dengan autentisitas diri, kenapa tidak? Justru, kamu bisa tetap menonjol tanpa harus kehilangan esensimu sebagai seorang manusia. Yang penting, branding-nya jujur, bukan dibuat-buat.
Penulis: Flovian Aiko