Saat kelopak bunga berwarna-warni dan tangan-tangan lelaki ikut merangkai bunga bersama perempuan. Pemandangan itu bukan hal aneh di komunitas Sporadies, ruang kreatif asal Yogyakarta yang sejak awal menolak menempatkan bunga sebagai simbol gender tertentu.
Risa Vibia (26), Founder Sporadies mengutarakan bahwa bunga bersifat universal. “Sporadies terbuka dan membuka diri untuk membuka workshop merangkai bunga bagi laki-laki,” tambahnya.
Langkah ini juga pernah diwujudkan lewat kolaborasi bersama Vert Erre, sebuah bulkstore ramah bumi di Jogja, yang khusus menghadirkan kelas merangkai bunga untuk laki-laki.
Hasilnya, stigma yang kerap melekat pada bunga yang identik perempuan mulai luntur perlahan. Dalam setiap kelas, sekitar 30 persen peserta kini adalah laki-laki, sebuah angka yang menunjukkan bahwa bunga memang bisa jadi medium ekspresi semua orang.
Bagi Risa, bunga bukan hanya ornamen hias. Di dalamnya tersimpan pesan, simbol, sekaligus pengetahuan yang bisa berguna bagi siapapun, tanpa batas gender. Dari tanaman pangan, tanaman ornamental, hingga tradisi etnobotani, bunga hadir sebagai pintu masuk mengenal lebih banyak tentang alam sekaligus diri sendiri.
Meski begitu, dominasi perempuan memang masih terasa di kelas-kelas Sporadies, dengan jumlah mencapai sekitar 70 persen peserta. Namun, Risa melihat fakta menarik di baliknya. “Kalau kita lihat ke pasar bunga, misalnya di Rawa Belong Jakarta, justru 70 persen perangkai bunga di sana laki-laki dan sangat paham jenis-jenis bunga,” ungkapnya. Artinya, dunia perangkai bunga sebenarnya sudah lama bersifat universal, hanya saja dalam lingkup tertentu stereotip gender masih melekat.
Bagi Risa, perkembangan minat masyarakat terhadap bunga hari ini makin terasa cair. “Saya merasa kalau makin ke sini sebetulnya bunga itu makin fluid. Banyak sekali teman-teman laki-laki yang juga merespon bunga sebagai artwork atau cara mereka berekspresi, jadi tidak melulu soal itu perempuan,” tuturnya.
Ia juga menambahkan, meski stereotip di sebagian masyarakat masih ada, perjalanan Sporadies justru menunjukkan lebih banyak dukungan. “Alhamdulillah ketika Sporadies berjalan, melihatnya malah lebih banyak yang support untuk gerakan ini genderless dan tidak pernah mempermasalahkan itu,” ungkap Risa.
Ketika Lelaki Merangkai Bunga

Salah satu peserta laki-laki yang pernah merasakan pengalaman itu adalah John William Candra (25), seorang entrepreneur. Sejak lama ia sebenarnya tertarik dengan prakarya dan seni, termasuk merangkai bunga. Namun stigma bahwa merangkai bunga identik dengan perempuan membuatnya tak pernah benar-benar mencoba untuk melakukannya. “Kebetulan waktu itu Sporadies open workshop di Blok M. Pas lagi lewat nemenin teman perempuan, akhirnya kita merangkai bunga bareng,” kenangnya.
Bagi John, stigma itu tumbuh dari anggapan bahwa bunga selalu dikaitkan dengan sesuatu yang cantik, dan cantik kerap dilekatkan pada perempuan. “Mungkin karena bunga itu cantik, dan perempuan suka dengan hal-hal yang cantik. Dan aktivitas merangkai bunga juga somehow jadi eksklusif untuk kalangan ‘cantik’ saja. Tapi sebenarnya menghargai kehidupan tidak harus jadi kegiatan yang feminin. Sebagaimana menulis puisi dan jatuh cinta, itu seharusnya jadi kegiatan universal,” ujarnya.
Menurut John, anggapan bahwa bunga identik dengan perempuan muncul karena kecantikan sering dilekatkan pada hal-hal feminin. Padahal, katanya, menghargai kehidupan seharusnya menjadi kegiatan universal, sama seperti menulis puisi atau jatuh cinta.
Setelah mencoba, ia merasa tidak ada yang salah dengan laki-laki merangkai bunga, bahkan justru menemukan pengalaman yang menyenangkan, belajar menikmati momen sederhana sebelum bunga layu.
Pengalaman pertamanya bersama Sporadies semakin berkesan karena mereka tidak memakai material mewah. Ia masih ingat membuat buket bertema Jurassic Park dengan koran, krayon, dan kertas bungkus, serta dihiasi tanaman unik seperti terong susu dan bunga kecombrang. Dari situ, pandangannya berubah: merangkai bunga tidak harus selalu cantik dan estetik, tapi bisa eksploratif dan menyenangkan.
Lewat Sporadies, bunga tak lagi sekadar simbol yang identik dengan perempuan. Ia hadir sebagai medium yang bisa digenggam siapa saja, termasuk lelaki. Dari tangan-tangan yang merangkai, lahirlah cerita bahwa kecantikan dan keindahan seharusnya bisa dinikmati tanpa batas gender.