suara hijau

Bukan Meninggalkan, Hanya Mendefinisikan Ulang: Kisah Anak Nelayan di Era Modern

M. Reza Sulaiman | Davina Aulia
Bukan Meninggalkan, Hanya Mendefinisikan Ulang: Kisah Anak Nelayan di Era Modern
Sunset scene at Walakiri Beach in East Nusa Tenggara (Unsplash.com/Sutirta Budiman)

Di setiap desa pesisir, laut selalu hadir dalam cerita keluarga. Ia diwariskan bukan melalui buku atau ijazah, melainkan lewat kebiasaan yang diulang setiap hari: bangun sebelum subuh, membaca arah angin, menyiapkan perahu, dan pulang dengan tubuh lelah terbasuh asin air laut. Bagi generasi sebelumnya, laut adalah jawaban atas hidup. Meskipun tidak selalu ramah, ia tetap memberi makan dan memberi alasan untuk bertahan.

Namun, hari ini, laut tidak lagi diwariskan dengan cara yang sama. Banyak anak nelayan tumbuh dengan cerita tentang kerasnya ombak, utang pada tengkulak, dan pulang dengan jaring kosong. Mereka menyaksikan ayahnya menua lebih cepat dari usianya dan ibunya menunggu di tepi pantai dengan kecemasan yang sama setiap hari. Dari pengalaman itu, laut tidak lagi tampil sebagai harapan, melainkan sebagai risiko yang harus dinegosiasikan.

Pilihan Sunyi Generasi Baru

Pilihan generasi muda pesisir kerap sunyi. Tidak ada deklarasi besar tentang meninggalkan laut, tidak ada perlawanan terbuka terhadap tradisi keluarga. Mereka hanya memilih jalan lain: merantau ke kota, bekerja di pabrik, menjadi pegawai toko, atau melanjutkan sekolah sejauh yang mereka bisa jangkau. Keputusan itu terbungkus oleh harapan akan perubahan untuk hidup yang lebih baik. Sederhana, tetapi menyimpan pergulatan panjang.

Bagi sebagian orang, pilihan ini dianggap sebagai bentuk keputusasaan. Anak nelayan dianggap tidak lagi setia pada akar, pada identitas, pada laut yang membesarkan mereka. Namun, jika kita mendengarkan lebih dekat, ada pelajaran penting yang justru muncul dari pilihan-pilihan sunyi ini.

Bukan Menyerah, tetapi Beradaptasi

Generasi muda pesisir sedang belajar membaca perubahan. Mereka memahami bahwa laut kini tidak lagi sama seperti dulu. Cuaca semakin sulit ditebak, musim bergeser, dan hasil tangkapan tak menentu. Di tengah ketidakpastian itu, bertahan tidak selalu berarti tetap tinggal, dan pergi tidak selalu berarti menyerah. Pilihan mereka adalah bentuk adaptasi, sebuah cara lain untuk menjaga keberlangsungan keluarga, meskipun dengan jalan yang berbeda.

Meski tidak lagi melaut, laut tetap hidup dalam ingatan mereka. Laut mungkin tidak diwariskan sebagai pekerjaan, tetapi tetap diwariskan sebagai cara memandang dunia: sabar, membaca tanda, dan siap menghadapi kehilangan.

Di beberapa tempat, generasi muda pesisir bahkan mencoba membangun relasi baru dengan laut. Ada yang terlibat dalam pengelolaan wisata berbasis komunitas, ada yang menggerakkan penanaman mangrove, ada pula yang mendokumentasikan cerita-cerita nelayan agar tidak hilang ditelan zaman. Laut tidak ditinggalkan, melainkan hanya didefinisikan ulang sesuai dengan kemampuan generasinya.

Pelajaran dari Pesisir

Dari sini, pesisir memberi kita pelajaran baru bahwa keberlanjutan tidak selalu berarti mempertahankan bentuk lama. Terkadang, keberlanjutan justru lahir dari keberanian untuk berubah, dari kesediaan mengakui bahwa warisan tidak selalu harus diteruskan apa adanya. Ada kalanya, melepaskan adalah cara lain untuk menjaga.

Pilihan sunyi generasi muda pesisir mengajarkan bahwa menjaga masa depan tidak selalu tentang bertahan di tempat yang sama, tetapi tentang menemukan cara agar kehidupan tetap berjalan dengan bermartabat. Mereka mengingatkan kita bahwa identitas bukanlah sesuatu yang kaku, melainkan sesuatu yang terus dinegosiasikan seiring perubahan zaman.

Laut mungkin tidak lagi diwariskan sebagai takdir. Namun, dari pesisir, kita belajar bahwa kehilangan pun bisa menjadi ruang untuk belajar tentang adaptasi, harapan, dan cara manusia berdamai dengan perubahan tanpa sepenuhnya melupakan asalnya.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak