Opini: Pengurangan Subsidi BBM Sebagai Strategi

Siswanto | Siswanto
Opini: Pengurangan Subsidi BBM Sebagai Strategi
Pengumuman "Bensin Habis" yang dipasang di salah satu Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di daerah Jawa Barat, Senin (25/8/2014). [Antara/Indrianto Eko Suwarso]

Strategi pengurangan BBM sebenarnya merupakan strategi yang tepat dan jitu. Dengan mengurangi subsidi BBM, banyak hal bisa dicapai, seperti optimasi APBN karena selama ini terlalu besar alokasi digunakan untuk subsidi BBM sehingga program lain terbengkalai (infrastruktur, intervensi pendidikan, kesehatan, pertanian dsb).

Pengurangan BBM juga bisa mengubah “budaya konsumtif” menjadi “budaya produktif” karena selama ini BBM banyak digunakan untuk kenikmatan mobil pribadi. Pengurangan subsudi BBM dapat mendorong eksploitasi energi baru terbarukan yang sampai saat ini masih di bawah lima persen serta konversi BBM ke energi lain seperti batu bara dan gas. Kesimpulannya dalam jangka panjang, pengurangan subsidi BBM lebih menjamin kinerja ekonomi secara keseluruhan.

Kesalahan yang terjadi dengan strategi pengurangan subsudi BBM selama 30 tahun ini adalah karena strategi tidak diikuti dengan taktik-taktik (rencana aksi) yang relevan. Misalnya, ingin mengurangi subsudi BBM, tapi penggunaan kendaraan pribadi tidak dibatasi, harga BBM tidak dinaikkan malah penggunaan sepeda motor malah seperti didorong dan memperpanjang ukuran jalan di kota-kota besar untuk menampung kendaraan dan sepeda motor pribadi.

Harga BBM yang tetap dipertahankan rendah merupakan “biang kerok” besarnya jumlah pemakaian BBM dan menaikkan harganya merupakan aksi yang paling mendukung strategi dalam waktu singkat. Ini mutlak harus dilakukan segera.

Sama seperti beras, kalau harganya terus dipelihara rendah, program diversifikasi pangan akan terus gagal karena konsumsi beras sulit turun dari 139 kg/perkapita/pertahun, malah bisa meningkat dan beras selalu kurang dan menggoda untuk impor.

Taktik-taktik (rencana aksi) untuk mengurangi subsidi BBM seyogyanya lebih memilih yang bersifat “preventive control” ketimbang yang bersifat “corrective control.” Contoh aksi yang menekankan corrective control yang gagal, misalnya pengendalian arus mudik/balik di Cikampek pada Idul fitri yang lalu dan anehnya pemerintah kok lebih banyak menggunakan model ini.

Penanggulangan kemacetan dan banjir di DKI Jakarta juga masih banyak bersifat corrective control dan hasilnya tidak seberapa. Bentuk preventive control yang paling utama untuk menanggulangi kemacetan misalnya adalah mengendalikan jumlah penduduk yang mesti dilakukan sejak 30-40 tahun yang lalu.

Memang masalah kependudukan, digit pertama dalam pembangunan regional karena bertambahnya penduduk menyebabkan meningkatkan semua kebutuhan, mulai dari air, listrik, pangan, transportasi, pasar, mal, sekolah, jalan dsb. Jadi perencanaan kependudukan merupakan hal pertama yang dilakukan sebelum perencanaan sektor lainnya.

Untuk mendukung strategi pengurangan BBM, salah satu tindakan aksi yang lebih bersifat preventive antara lain menetapkan kebijakan kenaikan harga BBM yang memberi dampak cepat (quick impact). Kenaikan harus signifikan agar efektif. Kenaikan harga ini akan dengan cepat mengurangi jumlah pemakaian, mengeliminasi salah penggunaan dan penyelundupan bahkan dalam janggka menengah mendorong eksplorasi dan penggunaan/konversi energi alternatif.

Dalam hal ini perlu diperhatikan golongan masyarakat yang menggunakan BBM untuk tujuan produktif (nelayan, industri kecil/kreatif) dan kebutuhan dasar publik seperti transportasi massal, listrik, air dan sebagainya. Dicari bentuk subsidi yang sulit disalahgunakan (tidak menurunkan harga).

Dalam jangka panjang, pembatasan berbagai hal yang berkaitan dengan penggunaan BBM dapat dilakukan seperti lebih memprogresifkan pajak kendaraan pribadi (termasuk sepeda motor) terutama di kota besar untuk kepemilikan kedua, ketiga dst, mempertinggi tarif pengurusan STNK, SIM dan BPKP, pengguaan listrik untuk rumah tangga, mempertinggi PBB untuk rumah yang kedua, ketiga dst. serta memperbaiki sistem transportasi publik yang bersifat massal dan murah.

Contoh yang baik untuk pengendalian pencegahan ini dapat dilihat dinegara tetangga Singapura. Jarang kita melihat sepeda motor berada dijalan.jalan raya, jumlah mobil pribadi relatif tidak terlalu banyak dan adanya MRT yang kinerjanya sangat baik. Negeri terkadang lebih liberalis dari negeri-negeri liberal di duna. Kalau punya uang di Indonesia bisa punya rumah banyak, mobil berapun dan bisa memasang daya listrik 20 KVA atau lebih............Edan.

Dikirim oleh Darwin Kadarisman, Jawa Timur

Anda punya cerita atau foto menarik? Silakan kirim ke email: [email protected]

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak