Potret Desa Bojong yang Warganya Hidup Tanpa Listrik

Siswanto | Siswanto
Potret Desa Bojong yang Warganya Hidup Tanpa Listrik
Ilustrasi warga desa [Antara/Adhitya Hendra]

Pada liburan Idul Fitri kemarin, saya ingin bermain ke rumah teman lama saya. Sebut saja namanya Aryo. Dia seorang guru sekolah dasar di daerah tersebut. Tepatnya di Desa Bojong, Kecamatan Sukaresmi, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.

Katanya, lokasi desanya tak jauh dari kawasan wisata Puncak, Bogor, atau hanya membutuhkan waktu beberapa jam sampai ke tempat tinggal saya di Jakarta.

Dalam benak saya, pasti di sana tempatnya sejuk dan nyaman. Soalnya lokasinya dekat Puncak, obyek wisata berhawa dingin yang sudah terkenal dimana-mana. Kata Aryo, di dekat tempat tinggalnya masih banyak obyek wisata, termasuk Taman Safari dan Istana Bogor.

Dan pagi itu, akhirnya saya berangkat dengan mengendarai sepeda motor. Setelah tiga jam perjalanan, saya sampai di Cipanas. Sepanjang perjalanan saya menikmati panorama kiri kanan jalan yang berliku tanpa macet. Jalanan naik turun, sangat beda dengan jalan-jalan di Ibu Kota Jakarta yang umumnya datar, macet pula.

Ketika sampai di Cipanas, saya langsung menelepon Aryo untuk minta dijemput di Pasar Cipanas. Saya minta dijemput karena belum pernah ke rumah dia sebelumnya. Waktu itu saya meluncur ke rumah Aryo karena lagi dapat cuti bersama dari kantor.

Sembari menunggu Aryo di pasar, saya melihat-lihat aktivitas warga di sana. Semua masih terlihat sangat sederhana. Setengah kemudian Aryo datang dengan sepeda motor. Ia berboncengan temannya, si Ayun.

Saya pun berbisik kepada Aryo. “Kenapa kamu membawa teman untuk menjemput saya?”
“Sudah kamu tenang saja. Nanti juga kamu akan tahu sendiri kenapa aku ke sini membawa si Ayun,” jawabnya.

Dalam pikiran saya, mungkin si Ayun masih satu keluarga dengan Aryo dan kami pun bergegas pergi menuju rumah Aryo. Ternyata di luar dugaan saya, rumah Aryo terasa sangat jauh. Soalnya, akses jalan yang menuju ke sana sangat memprihatinkan. Jalanannya tidak diaspal. Tapi semuanya pakai batu kali atau krikil.

Tak terbayangkan sebelumnya, jalanan sesusah itu, ditambah medan yang berliku tajam karena melewati bukit-bukit dan hutan pinus. Sepanjang jalan banyak sekali jurang dan tebing. Saya sulit juga naik motor lewat sana. Saya sering hampir terjatuh karna.

Saat itulah saya tahu kenapa Aryo bawa si Ayun. Sepeda saya, saya serahkan ke Aryo. Lalu, saya membonceng motor si Ayun. Dia itu tukang ojek yang sudah biasa membawa orang dari kampung-kampung menuju pasar.

Sepeda motor merupakan alat transportasi yang paling banyak digunakan di sana. Soalnya, angkutan umum hanya lewat tiga atau empat jam sekali.

Setelah menempuh perjalanan berat, sampailah di desa Suka Resmi. Kami berhenti di sebuah rumah sederhana. Rumah itu bukan rumah Aryo, melainkan tempat penitipan sepeda motor. Mengapa dititipkan, karena Aryo tidak bisa membawa motor pulang ke rumah karena jalur ke desanya, Kampung Bojong, tidak bisa dilewati kendaraan.

Setelah sepeda motor dititipkan, saya berjalan kaki menuju ke rumah Aryo. Menuju ke rumah Aryo mesti melewati sawah yang luas, serta naik turun, dan jalanannya hanyalah pematang sawah. Tidak ada jalan lain.

Sepanjang jalan saya menikmati panorama alam yang indah sekali. Saya jadi tidak merasa lelah sama sekali. Setelah melewati pematang sawah, harus menyeberangi sungai yang penuh dengan bebatuan besar. Untuk menyeberangi sungai, mesti berpijak pada batu yang satu ke batu yang lain.

Sekitar 30 menit lamanya, sampailah kami di rumah Aryo. Mayoritas rumah di sana berbahan dasar kayu. Alasnya pun terbuat dari kayu. Rumah-rumahnya bentuknya panggung. Itu sangatlah aneh bagi saya. Tapi asyik sekali.

Suasananya sepi sekali. Serangga-serangga liar terdengar jelas, meskipun di siang hari. Benar-benar beda dengan Jakarta yang sangat bising dan penuh polusi udara.

Sejenak saya istirahat. Setelah itu, saya meminta Aryo untuk mengantarkan ke kamar mandi karena saya ingin mandi setelah tadi melakukan perjalanan panjang. Dan dengan tegas, Aryo pun mengajak saya ke luar rumah.

Akupun bertanya kepada Aryo. “Kita mau kemana? Saya, kan mau ke kamar mandi.”
Dengan tersenyum aryo pun menjawab. “Kamu jangan kaget ya.”

“Lho kenapa?,” kata saya.

“Soalnya warga di desa ini aktivitas MCK (mandi, cuci, air minum, air buat masak dan semua keperluan yang berhubungan dengan air) semua mengambil dari sungai yang kita lewati tadi.

Jadi di sini sama sekali tidak ada sumur,” kata Aryo.

Saya mau tidak mau harus mandi, buang air, dan sebagainya di sungai itu. Semua juga begitu, laki, perempuan, anak, orang tua, pakai air yang sama dari sungai. Mereka tidak malu-malu untuk mandi bareng di sungai, padahal saya merasa risih.

Setelah mandi, kami langsung pulang lagi ke rumah Aryo dan saya pun langsung istirahat siang.

Saya baru bangun sore harinya, kira-kira jam 18.00 WIB. Saya kaget sekali karena rupanya hari sudah mulai gelap dan saya mencari-cari tombol saklar untuk menyalakan lampu. Tapi tak ketemu-ketemu. Akhirnya saya ke luar dari kamar dan saya melihat Aryo dan keluarganya sedang berkumpul di ruang tamu dengan di tengah-tengah mereka ada sebuah lampu teplon (lampu pakai minyak tanah).

Waktu itu saya pikir hanya mati lampu. Saya pun bergabung dengan mereka dan bertanya kenapa bisa mati lampu? Padahal cuaca terang. Pak Anton, bapak dari Aryo, pun menjawab.

“Di sini bukannya mati lampu? Di desa kami ini memang belum ada listrik. Makanya tidak ada sama sekali penerangan karena listrik belum sampai ke Desa Bojong ini.”

Saya kaget bukan kepalang. Kampung apa ini ya. Padahal, kampung ini tak jauh dari Jakarta dan Bandung. Hanya berapa kilometer dari Ibu Kota Negara. Kenapa jaman sekarang masih ada desa yang tak tersentuh aliran listrik. Dimana tatanan pemdanya dan PLN-nya.

Sedangkan di tempat-tempat yang jauh dari Ibu Kota, bahkan daerah-daerah perbatasan saja sudah ada penerangan listrik.

Kata warga setempat, pernah dulu ada petugas PLN datang untuk memberikan penyuluhan tentang pemasangan kabel listrik ke rumah-rumah. Setiap pemilik rumah diwajibkan membeli meteran listrik. Untuk kapasitas kecil, meteran plus pemasangan Rp900 ribu. Sedangkan yang kapasitas besar biayanya Rp1.750.000.

Setelah itu, sebagian warga setuju dan membayar tahun 2013. Tapi sampai sekarang pemasangan listrik belum juga dilakukan. Boro-boro pasang kabel, tiangnya saja belum ada.

Dari apa yang saya temui di desa itu, saya tersadar. Ternyata tak jauh dari Ibu Kota Negara masih saja ada jalan desa yang rusak parah, jalan tidak bisa dilewati kendaran, warga masih pakai air sungai untuk MCK dan minum, lalu desa tidak tersaluri listri, bahkan banyak warga hanya berpendidikan SD. Hanya orang kaya saja yang bisa sekolahan anak ke SMA.

Karena memang jarak sekolah SMP dan SMA sangat jauh, yaitu di Kota Cipanas. Jadi, anak-anak yang sekolah ke sana mau tidak mau harus kos sehingga perlu biaya lebih mahal.

Di tengah saya sedang berpikir-pikir, Aryo dan temannya datang mengajak saya makan bersama di halaman rumah. Di sana ada sejumlah warga juga. Kami makan nasi liwet. Nasi ini sudah menjadi tradisi di sana. Ramai-ramai makan beralaskan terpal dengan api unggun kecil. Semuanya menikmati malam itu dengan menyenangkan.

Saya sangat berkesan dengan semua itu. Saya mendapatkan banyak pengalaman tentang tantangan hidup. Dan waktupun tak terasa sudah malam, saya pun segera ke kamar dan istirahat.

Dikirim oleh Dodi Haryanto, Jakarta

Anda memiliki foto atau cerita menarik? Silakan kirim ke email: [email protected]

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak