Menikmati Kota Jakarta dengan menggunakan angkutan umum memang sangat berkesan. Bukan karena keindahan atau kenyamanannya, melainkan karena kemacetan dan memakan waktu yang terlalu lama di jalanan.
Tetapi ada satu hal yang kadang kala kita tak ketahui dan kadang orang menyepelekannya, bahkan terkadang kita semua pasti membencinya. Apa itu? keberadaan pengamen jalanan di angkutan.
Hal itu pernah saya rasakan ketika suatu hari berangkat kerja dari Ciledug menuju Blok M. Hampir setiap hari, saya selalu menggunakan sepeda motor ke mana pun saya pergi. Pada saat itu, motor saya rusak dan harus diperbaiki di bengkel. Akhirnya saya pun pergi ke kantor menggunakan Metromini 69 jurusan blok M – Ciledug.
Saya duduk di bangku paling belakang. Tak lama setelah saya naik, datanglah seorang lelaki yang membawa gitar kecil dan bernyanyi. Dalam benak saya, itu sudah pasti pengamen. Akan tetapi ada yang aneh dengan pengamen kali ini karena dia memakai pakaian muslim (kemeja koko, peci dan celana panjang).
Saya berpikir mungkin itu trik tipuan agar semua orang mengira dia orang baik dan mungkin agar semua orang memberi belas kasihan padanya. Dan lagu-lagu yang dinyanyikan pun lagu-lagu berbau Islami. Tetapi bagi saya, semua sama saja. Itu semua cara mereka saja.
Tak lama kemudian pengamen itu meminta-minta uang. Setelah itu dia duduk persis di samping saya. Karena keadaan macet, saya pun mulai jenuh, tanpa sadar pengamen itu mengajak ngobrol saya.
"Jakarta macet terus kapan lancarnya ya pak,” kata pengamen.
Dan akhirnya saya berbincang-bincang dengannya.
Jadi, pengamen itu namanya Teguh. Pak teguh melakukan pekerjaan itu kurang lebih sudah dua tahun. Ia mengamen hampir setiap hari. Dulu sebelum jadi pengamen, ia sekuriti pabrik di Tangerang.
Semua berubah gara-gara pabrik tempatnya bekerja ada perubahan manajemen. Jadi semua karyawan pabrik dan sekuriti diambil alih oleh yayasan pengerah outsourcing. Yang tadinya jam kerja Pak Teguh dari jam 07.00 pagi sampai jam 15.00, kini berubah menjadi sistem tiga shift. Dari jam 07.00 sampai jam 15.00 WIB, jam 15.00 WIB sampai jam 23. WIB, jam 23.00 WIB sampai 07.00 WIB.
Jadi Pak Teguh bekerja dengan shif berganti-ganti. Padahal ketika masih di manajemen dulu, ia masuk jam 07.00 WIB sampe 15.00 WIB.
Setelah perubahan manajemen, ia jadi sulit mengatur waktu, sementara ia harus mengajar mengaji jam 16.00 WIB dan jam 19.00 WIB di masjid dekat rumah.
Di situlah tantangannya. Dia harus mempertahankan kerja di pabrik atau mengajar mengaji. Akhirnya, ia memutuskan berhenti bekerja dan memilih menjadi pengamen agar tetap bisa mengajar mengaji.
Pak teguh mengamen dari pagi setelah subuh sampai jam 15.00 WIB. Walaupun dibenci keluarga karena keluar dari pabrik, itu tidak menyurutkan semangat. Menurut Pak Teguh, Allah Maha Tahu. Asalkan jalan kita benar, Allah akan selalu ada di jalan kita dan dia pun menyerahkan semua kehidupannya kepada Allah.
Sembari tersenyum, Pak Teguh pun berkata: "Mencari pekerjaan itu lebih gampang daripada mengajar ngaji yang semestinya diutamakan untuk semua muslim di dunia. Itu jauh lebih sulit karena tanggung jawabnya sangat besar di dunia dan akhirat."
Pak Teguh sangat menikmati kehidupannya sekarang karena dia tidak sekadar mengajar ngaji di rumah, tetapi juga mengajar mengaji di mana pun dia berada karena lagu-lagu yang dinyanyikannya adalah lagu-lagu Islam.
Saya belajar dari Pak Teguh. Lebih baik punya pekerjaan sederhana, tapi bisa berguna bagi orang lain. Ketimbang kerja yang wah, tapi tidak bermanfaat untuk orang lain.
Setelah ngobrol panjang lebar, Pak Teguh turun dari Metromini dan pindah ke Metromini lain untuk mengamen.
Dikirim oleh Dodi Haryanto, Jakarta
Anda memiliki foto atau cerita menarik? Silakan kirim ke email: yoursay@suara.com