Oleh: Reza Ramadhan, Mahasiswa DIV Akuntansi Politeknik Keuangan Negara STAN
Penyusunan kebijakan perpajakan di era ekonomi digital adalah suatu tantangan yang harus segera diselesaikan oleh pemerintah. Banyak negara yang dirugikan dengan praktik perencanaan, penghindaran, hingga penggelapan pajak atau biasa disebut Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) oleh perusahaan multinasional, salah satunya dari penghasilan atas penyediaan layanan jasa digital atau Over-The-Top (OTT) misalnya Netflix, Facebook, dan Spotify. Isu pemajakan ekonomi digital sebenarnya sudah lama digaungkan sejak OECD merumuskan rencana aksi BEPS tahun 2013 sebagai strategi perlawanan praktik BEPS. Namun, banyak negara belum menemukan solusi kebijakan pajak yang tepat untuk diterapkan.
Pada Oktober 2015, OECD dan G20 merilis BEPS Action 1 mengenai tantangan pemajakan di era ekonomi digital dengan judul “Addressing the Tax Challenges of the Digital Economy, Action 1:2015 Final Report”. Laporan ini hanya merupakan rekomendasi bagi negara OECD dan G20 sebagai pendukung proyek BEPS. Walaupun begitu, negara OECD dan G20 diharapkan pula melaksanakan koordinasi antara negara pasar ekonomi digital dengan negara tempat ultimate parent company dari perusahaan digital berada. Selain itu, OECD dan G20 akan memonitor pelaksanaannya dan membuat laporan terkait ekonomi digital pada 2020.
Saat ini, Indonesia telah menyiapkan strategi yang lebih komprehensif atas praktik penghindaran pajak OTT yang agresif ini. Pemerintah menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) Perpajakan yang terbagi menjadi dua skema yaitu satu perangkat UU tersendiri (Omnibus Law) dan Revisi UU KUP, UU PPh, dan UU PPN secara komprehensif. RUU ini bertujuan salah satunya untuk menciptakan keadilan berusaha antara pelaku usaha dalam negeri dan pelaku usaha luar negeri. Salah satu poin perubahannya adalah pemajakan atas perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) karena diperlukan adanya level playing field pemajakan atas transaksi perdagangan konvensional dan elektronik.
Dalam pelaksanaan pemajakan atas PMSE, terdapat dua pokok perubahaan. Pertama, dalam hal pemungutan dan penyetoran PPN atas impor barang tidak berwujud dan jasa, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menunjuk SPLN yaitu Pedagang, Penyedia Jasa, dan Platform Luar Negeri untuk memungut, menyetor, dan melapor PPN. SPLN juga dapat menunjuk perwakilan di Indonesia untuk memungut, menyetor, dan melapor PPN atas nama SPLN. Jadi walaupun tidak ada kegiatan operasi dan tidak berada di Indonesia tetapi memiliki aktivitas yang bertujuan untuk menghasilkan pendapatan dari Indonesia sebagai negara sumber penghasilan, mereka tetap menjadi SPLN yang berwenang menjadi pemungut, penyetor, dan pelapor PPN atas transaksi elektronik yang dilakukan kepada otoritas pajak di Indonesia.
Pokok perubahan ini sangat bagus karena selama ini DJP kesulitan mengawasi pemungutan pajak atas transaksi elektronik. Perubahan ini juga dapat mengoptimalisasi penerimaan pajak di sektor PPN atas transaksi barang atau jasa digital cross border. Pengimplementasian prinsip destination principle juga dapat berjalan efektif sehingga atas barang atau jasa digital yang dikonsumsi di dalam negeri dapat dikenakan pajak di Indonesia. Ketentuan ini akan mengubah kewajiban pengadministrasian dalam Pasal 3A ayat (3) UU PPN yang dilakukan dengan pendekatan customer collection yaitu konsumen (pihak yang melakukan impor) di dalam negeri sebagai pemungut dan penyetor PPN mengunakan Surat Setoran Pajak menjadi pendekatan supplier collection.
DJP juga dapat mempertimbangkan biaya kepatuhan dengan melaksanakan rekomendasi OECD mengenai teknis pemungutan PPN yaitu supplier dengan omset melebihi batas Rp 4,8 miliar diwajibkan untuk melakukan registrasi sebagai pemungut PPN serta PPN yang terkumpul disetor dan dilaporkan dalam periode tertentu melalui mekanisme pendaftaran yang sederhana. Kebijakan ini akan semakin efektif bila dibarengi dengan peningkatan kerjasama internasional salah satunya melalui pertukaran informasi keuangan.
Suatu kesempatan yang baik karena Indonesia telah mengikatkan diri pada perjanjian internasional di bidang perpajakan yang berkewajiban untuk memenuhi komitmen keikutsertaan dalam mengimplementasikan automatic exchange of information (AEoI) dengan menerbitkan UU No. 9 Tahun 2017. Payung hukum ini dapat dimanfaatkan DJP untuk mendapatkan data mengenai transaksi keuangan perusahaan asing yang memperoleh penghasilan dari dalam negeri. Selain itu kerjasama internasional dapat juga dalam bentuk sinergi penegakan hukum dengan menagih dan memeriksa pajak bersama dengan negara di mana perusahaan digital berada (negara residen).
Kedua, terkait pengenaan pajak atas penghasilan terkait dengan transaksi elektronik yang dilakukan di Indonesia oleh SPLN yang tidak memiliki physical presence di Indonesia, RUU ini menetapkan definisi Bentuk Usaha Tetap (BUT) tidak hanya berdasarkan physical presence tetapi juga berdasarkan significant economic presence. Pokok perubahan ini merupakan perhatian utama otoritas pajak karena selama ini sebagian besar OTT tidak memiliki tempat usaha fisik di Indonesia dan peraturan perpajakan belum mengakomodasi konsep digital presence.
Perusahaan yang menyediakan layanannya melalui platform digital belum memenuhi aspek keberadaan BUT. UU PPh mengakui keberadaan BUT jika terdapat fasilitas fisik yang merupakan tempat untuk menjalankan usaha. Sebenarnya ketentuan BUT ini diciptakan untuk mengakomodasi kepentingan negara sumber atas hak pemajakannya bagi SPLN yang konsisten mencari penghasilan di Indonesia sebagai negara sumber.
Namun karena secara ketentuan harus ada tempat usaha fisik, Indonesia kesulitan menarik pajak atas penghasilan perusahaan digital tersebut. Walaupun perusahaan tersebut memiliki kantor perwakilan di Indonesia, kantor tersebut masih dianggap tidak melakukan kegiatan usaha karena seluruh penghasilannya dialihkan ke negara residen. Perubahan ketentuan ini merupakan penerapan rekomendasi yang dirancang OECD untuk menghadapi tantangan pada era ekonomi digital yaitu pengaturan ulang terkait di mana pajak harus dibayar dengan memperluas hak pemajakan dalam ekonomi digital.
DJP dapat dengan mudah mengakui seluruh penghasilan perusahaan OTT yang mencari pendapatan dari Indonesia sebagai objek pajak penghasilan (terbatas hanya penghasilan yang diperoleh dari Indonesia) jika definisi BUT ditetapkan berdasarkan significant economic presence. Keadilan juga dapat ditegakkan dengan penerapan ketentuan ini karena pada dasarnya perlakuan pajak BUT dipersamakan dengan SPDN dan berdasarkan RUU Perpajakan, tarif dan dasar pengenaan pajaknya sesuai ketentuan pajak penghasilan, serta dapat menjaga level playing field yang sama antara pelaku ekonomi konvensional dan digital.
Namun, DJP juga tetap harus memperhatikan kemudahan implementasi peraturan agar pelaksanaan pengenaan pajak dapat optimal. Selain itu, harus ada koordinasi dengan negara residen perusahaan OTT terkait pengenaan perpajakan dan memperhatikan substansi Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) untuk meminimalisasi sengketa dan menghindari pajak berganda.
Rumusan RUU Perpajakan terkait pemajakan atas perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) ini diharapkan dapat menjadi strategi yang baik dan efektif untuk optimalisasi potensi penerimaan pajak sekaligus menciptakan pajak yang berkeadilan di era ekonomi digital.