Stunting dan Pusaran Kemiskinan

Tri Apriyani | Diva Arum Mustika
Stunting dan Pusaran Kemiskinan
Ilustrasi stunting

Balita stunting masih menjadi masalah gizi utama di Indonesia. Mengacu pada hasil Studi Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) yang terintegrasi dengan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2019 angka stunting pada tahun 2019 mencapai 27,7 persen.

Pemerintah terus merencanakan berbagai program demi menekan angka stunting dan menargetkan dalam lima tahun ke depan angka stunting bisa turun di bawah 20 persen. Persoalan stunting sendiri bukan hanya mengenai status gizi yang buruk, akan tetapi juga berkaitan dengan rantai kemiskinan yang terus berlanjut apabila tidak segera di tangani.

Sumber Daya Manusia (SDM) yang digadang-gadang menjadi prioritas utama menjadi tidak berdaya saing apabila anak-anak Indonesia masih diselimuti permasalahan stunting. Bonus demografi yang diprediksi akan terjadi di tahun 2030 nanti juga akan sia-sia atau malah akan menjadi bencana apabila generasi muda bangsa masih mengalami stunting.

 Apa itu Stunting?

Stunting atau kerdil merupakan kondisi di mana balita memiliki panjang atau tinggi badan yang kurang apabila dibandingkan dengan umur. Kondisi ini diukur dengan panjang atau tinggi badan yang lebih dari minus dua standar deviasi median standar pertumbuhan anak dari World Health Organization (WHO). Lantas, apa penyebab balita mengalami stunting?

Stunting disebabkan oleh faktor multi dimensi. Balita yang mengalami stunting termasuk masalah gizi kronik yang disebabkan oleh banyak faktor seperti kondisi sosial ekonomi, gizi ibu saat hamil, morbiditas atau kesakitan pada bayi, dan kurangnya asupan gizi pada bayi. Intervensi yang paling  mentukan yaitu pada 1.000 hari pertama kehidupan.

Dampak buruk bagi balita stunting di antaranya mudah sakit, gangguan pertumbuhan fisik dan metabolisme pada tubuh, serta di masa yang akan datang akan mengalami kesulitan dalam kemampuan kognitif dan prestasi belajar, dan beresiko tinggi mengalami berbagai penyakit seperti diabetes, penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker, stroke, dan disabilitas pada usia tua.

Prevalensi Stunting Masih Tinggi

Data prevalensi balita stunting yang dikumpulkan WHO, Indonesia termasuk ke dalam negara ketiga dengan prevalensi tertinggi di regional Asia Tenggara/South-East Asia Regional (SEAR), dengan rata-rata prevalensi balita stunting di Indonesia tahun 2005-2017 adalah 36,4 persen.

Angka stunting di Indonesia terus mengalami penurunan, pada tahun 2013 angka stunting mencapai 37,2 persen yang kemudian terus turun hingga tahun 2019 angka stunting di Indonesia menjadi 27,7 persen. Kendati terus mengalami penurunan, namun angka tersebut masih jauh dari target pemerintah yang menargetkan angka stunting di bawah 20 persen dalam lima tahun ke depan.

Lingkaran Kemiskinan

Kemiskinan dianggap menjadi faktor penting penyebab terjadinya stunting pada balita. Rumah tangga yang miskin tidak dapat memenuhi asupan gizi untuk anak nya, sehingga anak tersebut menjadi stunting. Dengan kondisi seperti itu, tumbuh kembang anak menjadi terhambat sehingga menghasilkan SDM yang tidak berkualitas.

SDM yang tidak berkualitas tidak dapat memenuhi kebutuhan ekonomi sehingga terjerat dalam kemiskinan. Seperti itulah kira-kira gambaran mengenai stunting dan pusaran kemiskinan.

Menurut Pusat Data dan Informasi, Kementerian Kesehatan, investasi melalui perbaikan gizi dapat membantu memutus lingkaran kemiskinan dan meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) hingga 3 persen dalam satu tahun. PDB Harga Berlaku Indonesia tahun 2018 sebesar 14.837,4* triliun rupiah (*angka sangat sementara), bukan tidak mungkin pada tahun-tahun selanjutnya salah satu penyumbang peningkatan nilai PDB berasal dari investasi yang dilakukan dalam rangka perbaikan gizi.

Melalui peningkatan status gizi, dapat terbentuk SDM yang berkualitas diikuti dengan pertumbuhan ekonomi. Dampak ini tentu saja dapat tercapai apabila semua pihak bekerja sama mengatasi masalah ini sesuai dengan bidangnya.

Perbaikan gizi tidak hanya bertujuan untuk pengentasan kelaparan, asupan gizi anak yang berkualitas dapat meningkatan kecerdasan anak sehingga memperoleh pendidikan yang lebih baik. Dengan pendidikan yang baik, upah atau gaji menjadi lebih besar sehingga dapat memutus rantai kemiskinan.

Upaya Penanganan Stunting

Melihat keterkaitan stunting dengan pusaran kemiskinan yang berlarut-larut, penanganan stunting harus segera dilakukan sesegera mungkin. Intervensi stunting dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif. Apa bedanya dari dua intervensi tersebut?

Intervensi gizi spesifik ditujukan kepada anak pada 1.000 hari pertama kehidupan, misalnya dengan mengedukasi untuk para ibu hamil agar menambah asupan gizi untuk mengatasi kekurangan energi dan protein kronis, serta mendorong pemberian ASI eksklusif.

Sedangkan intervensi gizi sensitif dilakukan melalui berbagai kegiatan pembangunan di luar sektor kesehatan, misalnya menyediakan bantuan dan jaminan sosial pada keluarga miskin.

Dalam rangka percepatan penurunan stunting, pemerintah juga telah menetapkan 1.000 desa prioritas intervensi stunting yang terdapat pada 100 kabupaten/kota di 34 provinsi di seluruh Indonesia.

Penurunan stunting tidak dapat dilakukan apabila hanya dari upaya pemerintah, diperlukan upaya dan kesadaran seluruh masyarakat untuk mengantisipasi terjadinya stunting demi memutus rantai kemiskinan. Dengan mencegah stunting artinya kita berkontribusi untuk menyelamatkan masa depan bangsa.

Oleh: Staf Seksi Statistik Distribusi BPS Kabupaten Sekadau

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak