Birokrasi salah satu instrumen penting dalam perjalanan bangsa Indonesia, kehadirannya sangat diperlukan karena selain berperan dalam pembangunan, birokrasi juga ikut andil dalam pelaksanaan fungsi pemerintahan yang diantaranya adalah pelayanan publik, regulasi, serta distribusi.
Menurut Weber sendiri birokrasi merupakan suatu bentuk organisasi yang penerapannya berhubungan dengan tujuan yang hendak dicapai.
Birokrasi ini dimaksudkan sebagai suatu sistem otoritas yang ditetapkan secara rasional oleh berbagai macam peraturan untuk mengorganisir pekerjaan yang dilakukan oleh banyak orang.
Birokrasi yang selama ini ada belum bisa dikatakan baik karena diantaranya masih banyak struktur organisasi yang kurang efesien, keterlambatan pelayanan yang diberikan, suap-menyuap, prosedur yang berlebihan, pemborosan anggaran dan masih banyak hal lainnya. Hal tersebut memang sudah tidak asing lagi dalam birokrasi, di mana sudah menjadi penyakit yang sukar semuh dan sering disebut sebagai patologi birokrasi. P
atalogi tersebut tetunya merupakan sebuah penyakit yang amat parah di mana penyakit tersebut sudah menjangkiti semua level dalam organisasi pemerintahan seperti eksekutif, legislatif, dan yudikatif maupun oraganisasi pemerintahan lainnya, baik itu ditingkat pusat maupun daerah.
Praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme yang sering terjadi serta kepentingan yang selalu menjadi tujuan utama para birokrat, bahkan dengan adanya birokrasi semakin memperkuat mereka di mana birokraksi sendiri merupakan hierarki berbentuk piramida.
Atas beberapa faktor tersebut maka muncullah reformasi birokrasi yang di mana di gadang-gadang akan membawa perubahan bagi birokrasi di Indonesia.
Dasar pelaksanaan Reformasi Birokrasi adalah Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 dan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 20 Tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014.
Secara teknis kedua kebijakan tersebut dilengkapi dengan berbagai pedoman yang termuat dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 7 s.d 15 Tahun 2011.
Reformasi birokrasi sejauh ini sudah memasuki gelombang ketiga di mana tahun sebelumnya yaitu 2015 - 2019 reformasi birokrasi memasuki gelombang kedua.
Pada saat itu terdapat 8 aspek perubahan yang difokuskan dalam birokrasi, diantarnya mental aparatur, organisasi, tata laksana, peraturan perundang-undangan, sumber daya aparatur, pengawasan, akuntabilitas, pelayanan publik.
Jika kita menelaah kembali dalam Grand Design Reformasi 2010 – 2025 maka gelombang ketiga di mana reformasi birokrasi dilakukan melalui peningkatan kapasitas birokrasi secara terus-menerus sebagai kelanjutan dari reformasi birokrasi yang sebelumnya telah difokuskan hanya saja lebih dimaksimalkan lagi.
Setiap perubahan diharapkan dapat memberikan dampak pada penurunan praktek KKN, pelaksanaan anggaran yang lebih baik, manfaat program-program pembangunan bagi masyarakat meningkat, kualitas pengelolaan kebijakan dan pelayanan publik meningkat, produktivitas aparatur meningkat, kesejahteraan pegawai meningkat, dan hasil - hasil pembangunan secara nyata dirasakan seluruh masyarakat.
Secara bertahap, upaya tersebut diharapkan akan terus meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.
Sejauh ini reformasi birokrasi yang selalu diperbaharui memang mengalami peningkatan salah satunya dalam peraturan perundangan-undangan, regulasi yang tumpang tindih kini diberikan inovasi baru yang berupa omnibus law di mana omnibus law sendiri bertujuan untuk menyederhanakan regulasi dan perizinan sekaligus untuk mengamademen atau mencabut umlah undang-undang.
Tetapi hanya karena dikarenakan beberapa aspek sudah mengalami peningkatan maka tidak bisa dikatakan sebagai berhasilnya birokrasi karena masih banyak lagi yang perlu dibenahi dalam birokrasi itu sendiri, diantaranya organisasi, peraturan perundang-undang, sdm aparatur, kewenangan, pelayanan publik, dan pola pikir.
Dalam membenahi birokrasi kita tidak boleh hanya terfokus pada sistemnya saja tetapi juga para pelaku birokrasi yakni birokrat. Hal ini perlunya memaksmimalkan pengawasan lembaga khusus yang berwenang agar mereka bisa mengevaluasi dan menindaklanjuti gerak-gerik mencurigakan dalam pemerintahan karena kasus-kasus tersebut tidak bisa dibiarkan, yang mana merugikan semua lapisan masyarakat.
Reformasi birokrasi seharusnya bisa dikatakan sebagai obat ampuh bagi patologi birokrasi yang sukar disembuhkan, amat disayangkan jika sistem yang bagus harus cacat karena patologi birokrasi yang sukar sembuh.
Tentunya peran serta baik dari para birokrat maupun seluruh lapisan masyarakat sangat penting dalam menunjang birokrasi yang sehat dan terhindar dari penyakit dan baik bagi kemajuan Bangsa Indonesia kedepan tentunya.
Oleh: Saidatul Habibah / Mahasiswi Universitas Muhammadiyah Malang
Email: [email protected]