Pandemi COVID-19 dan Keamanan Internasional

Tri Apriyani | umar mubdi
Pandemi COVID-19 dan Keamanan Internasional
[Unsplash/Markus Spiske]

Pandemi COVID-19 yang kini tengah melanda seluruh negara di dunia telah memberikan dampak serius pada setiap aspek kehidupan domestik dan internasional. Tantangan terbesar dalam sistem kesehatan global ini tidak hanya berhenti pada aspek ekonomi dan politik semata, tetapi juga pada isu keamanaan internasional. Negara yang berkonflik adalah salah satu pihak yang paling rentan dalam menghadapi pandemi ini.

Internasional Crisis Group (ICG, 2020) menyatakan bahwa ada beberapa aspek yang berkenaan dengan tantangan kesehatan global dan kondisi konflik atau perang.

Pertama, penduduk yang berada di daerah konflik. Mereka telah mengalami sejumlah penderitaan dan beratnya bertahan hidup karena situasi yang diakibatkan oleh konfrontasi bersenjata. Semisal kelaparan, sanitasi yang buruk, akses terhadap layanan kesehatan dan pendidikan, serta adanya ancaman terhadap keselamatan jiwa yang setiap saat membayangi.

Kondisi tersebut jelas akan semakin menyulitkan populasi untuk bertahan dalam menghadapi pandemi COVID-19. Sebab, negara yang semestinya memberikan perlindungan kesehatan dan sosial harus berjibaku dengan situasi di mana institusi pemerintah menjadi lemah akibat konflik.

Sehingga, sejumlah persiapan yang harus dilakukan negara terkait mewabahnya COVID-19 tidak dapat dipenuhi secara optimal.

Sebagai contoh, sebelum terjadinya pandemi COVID-19, krisis di Venezuela menunjukkan statistik yang menghawatirkan bahwa sekitar 5,000 jiwa meninggal dalam rentang waktu 2017-2019 akibat kelangkaan suplai medis (OAS, 2019). Hal tersebut terjadi akibat berlangsungnya kontestasi panjang antara pemerintahan Maduro dengan kelompok oposisi.

Selain itu, konflik yang terjadi di bagian timur Kongo pada 2019 telah terbukti menghambat kerja World Health Organization (WHO) dan misi perdamaian Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Kongo dalam mengatasi wabah Ebola. Jumlah kematian yang terkonfirmasi akibat Ebola mencapai 2,264 jiwa (ICG; MSF, 2020).

Situasi konflik semacam itu niscaya mengakibatkan penyaluran informasi dan pelayanan kesehatan yang diperlukan dalam menghadapi pandemi ini tidak dapat dilakukan. Belum lagi atribusi konflik yang menempel pada pemerintahan seperti mismanajemen institusi, korupsi, atau sanksi internasional.

Ketidakmampuan pemerintah tersebut dikhawatirkan akan kembali melahirkan ketidakpercayaan publik yang pada gilirannya akan memperparah konflik.

Kedua, populasi di negara berkonflik menjadi semakin rawan dihadapan pandemi ini karena kapasitas aktor international dalam memberikan bantuan kemanusiaan semakin terbatasi.

Hal tersebut paralel dengan restriksi penerbangan dan perjalanan internasional plus skeptisme domestik untuk menerima bantuan pihak lain, semisal dalam kasus Maduro di Venezuela. Masih dalam konteks yang sama, agenda perdamaian (peacebuilding process) yang diperjuangkan di berbagai negara akan terhambat.

Sebagai aktor internasional dalam upaya perdamaian di krisis Venezuela, International Contact Group yang terdiri dari negara-negara Uni Eropa dan negara regional di Amerika Selatan harus menunda sejumlah agenda di Caracas akibat pandemi COVID-19 (ICG, 2020).

Proses transisi pemerintahan di Sudan yang dikawal oleh Dewan Keamanan PBB bakal diundur berkenaan dengan sejumlah pihak yang ingin berfokus pada upaya penanggulangan pandemi ini.

Organisasi internasional non-pemerintah yang memberikan bantuan kemanusiaan kepada pengungsi Rohingya di Bangladesh, yakni Save the Children dan Oxfam, juga mengalami hambatan serupa akibat penundaan penerbangan dan transportasi lainnya (Rogers; Lieberman, 2020).

Ketiga, imbas dari kerawanan posisi populasi tersebut dapat terakumulasi dalam bentuk resiko ancaman ketertiban sosial dan eksploitasi politik terhadap krisis. Meningkatnya ketidakpercayaan publik pada pemerintah sangat mungkin mengekskalasi konflik ke dalam fase yang lebih buruk.

Kelompok demonstran, kamp pengungsi, penjara dan pusat penahanan adalah pihak dalam konflik yang sangat riskan tertular virus COVID-19. Terutama dengan memperhatikan kondisi layanan kesehatan dan sanitasi yang minim.

Pada sisi yang lain, sejumlah negara berkonflik yang semestinya mengadakan pemilihan pada tahun ini mesti melakukan penundaan. Implikasi dari penundaan tersebut salah satunya adalah kebutuhan untuk menunjukkan kompetensi dan kapabilitas pemerintah dalam menangani pandemi COVID-19 demi simpati publik domestik. 

Peluang Kerjasama Global

Selain mengganggu stabilitas dan sustainabilitas negara, krisis global ini juga harus dimaknai sebagai peluang untuk merajut kerjasama global yang lebih intensif. Konflik yang terjadi di berbagai negara dapat mereda sejenak akibat pandemi ini.

Situasi tersebut menjadi kesempatan berbagai aktor internasional untuk memberikan bantuan berupa suplai medis dan sejumlah informasi terkait penangan pandemi COVID-19. Pada saat yang sama, bantuan kemanusiaan tersebut bisa membuka keran komunikasi antara pihak berkonflik dalam menyusun agenda perdamaian.

Dengan demikian, pandemi COVID-19 sesungguhnya menjadi momentum global dalam mentransformasi relasi yang lebih konstruktif. Rivalitas negara berkonflik di Timur Tengah nampak mulai terurai dengan adanya kiriman bantuan kemanusiaan ke Iran.

China turut mengambil peran penting dalam penanganan pandemi COVID-19 di Eropa Barat dan Amerika Serikat. Terbangunnya relasi kemanusiaan tersebut adalah sinyalemen positif dalam kerjasama global pasca pandemi COVID-19.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak