Bulan September satu abad yang lalu, musim gugur tengah menghujung di Rotterdam ketika Hatta muda untuk pertama kalinya tiba di pelabuhan Nieuwe Waterweg. Beberapa dekade sebelum kemerdekaan Indonesia, Hatta telah menginvestasikan usia mudanya di jalan ilmu pengetahuan dengan studi di kampus ekonomi bergengsi saat itu, Rotterdamse Handelshogeschool (Tempo, 2010). Secara bekesinambungan, kapasitas intelektualnya menjiwai seluruh semangat pergerakannya.
Dalam pembacaan Yudi Latif (2018), kematangan intelektual Bung Hatta menemukan momentumnya ketika ekosistem kebangsaan mulai menguat. Ekosistem ini dapat dipahami sebagai gagasan deklaratif atas terbentuknya bangsa baru yang melampaui ratusan tahun sejarah dan mengelevansi identitas bersama.
Pondasinya adalah Kongres Pemuda I (1926) dan II (1928) yang memproyeksikan bangsa, tanah air, dan bahasa yang satu: Indonesia. Di dalam ekosistem kebangsaan itu, Hatta menjelma menjadi ‘bangsawan pikiran’ yang mengandung kedalaman pengetahuan-pengetahuan tradisional, keagamaan, pikiran-pikiran modern, sekaligus keunggulan sebagai pemimpin dan penentu.
Mengemban peran sejarah sebagai intelegensia, Bung Hatta di dalam naskah pidatonya Lampau dan Datang (1956) menyiratkan bahwa kemerdekaan yang menjadi cita-cita Indonesia adalah kemerdekaan dalam dua pengertian.
Pertama, kemerdekaan secara ‘negatif’ yang berarti bahwa Indonesia harus terbebas dari belenggu kolonialisme untuk dapat berdaulat dan menentukan nasib bangsa secara mandiri. Kedua, kemerdekaan secara ‘positif’ yang dapat dipahami sebagai semangat dan perjuangan bersama untuk memenuhi amanat pembangunan, kesejahteraan sosial, dan keadilan.
Bung Hatta pada ujung naskah pidatonya kemudian kembali menegaskan semangat politik pengkaderannya. Ia meyakini bahwa harapan bagi terpenuhinya kedua makna kemerdekaan itu adalah melalui (i) pemuda yang memiliki pengetahuan dan karakter kebangsaan; (ii) yang dapat berkontribusi dengan menyesuaikan dengan cita-cita besar bangsa Indonesia.
Bagi penulis, kesetiaannya berjalan pada ilmu pengetahuan dalam setiap keputusan politiknya, menjadikan Bung Hatta sebagai sumber intelektual yang bernas dalam memproyeksikan jalan sejarah kemajuan Indonesia. Dan benang merah yang dapat ditarik dari uraian di atas adalah tiga pilar utama: kemerdekaan, pendidikan, dan kepemudaan.
Tiga Kerangka Pengikat
Paling tidak ada beberapa kerangka pengikat yang mempertautkan ketiga pilar tersebut. Pertama, sejarah pergerakan kebangsaan kita adalah gerakan kepemudaan. Kemunculan konsepsi kebangsaan di awal tahun 1920an, berkembangnya komitmen kebangsaan, dan meluasnya organisasi politik di awal kemerdekaan merupakan fase-fase sejarah yang digagas oleh pemuda.
Lebih jauh lagi, pergantian order lama ke dalam orde baru, reformasi pada 1998, hingga diskusi atau demonstrasi terhadap isu-isu publik yang aktual selalu diwarnai oleh komponen pemuda. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa kemerdekaan merupakan titik tuju gerakan kepemudaan sekaligus titik tolak untuk mengembangkan bangsa.
Kedua, membincangkan kepemudaan Indonesia di awal abad ke 20 tidak dapat dipisahkan dari lahirnya generasi yang mendapat persenjataan baru, yakni ilmu pengetahuan.
Politik etis yang berkembang sejak tahun 1901 memungkinkan para pemuda lokal mengenyam pendidikan modern. Bukan hanya sebatas itu, pemuda Indonesia berbekal ilmu pengetahuannya menitis menjadi aktor politik yang memiliki kreatifitas tinggi. Di dalam daya kreatifitas inilah kemudian terbentuk modal-modal sosial yang memiliki kapasitas integratif untuk mengatasi kemajemukan Indonesia.
Ketiga, kemampuan rasionalitas pemuda Indonesia tidak akan berarti banyak apabila hanya berhenti pada pribadi-pribadi atau personal semata. Dibutuhkan pula rasionalitas etis untuk menguatkan kebangsaan Indonesia yang berangkat dari kemajemukan multidimensial.
Titik kulminasi rasionalitas etis itu adalah Pancasila yang secara otomatis juga menjadi moral publik Indonesia. Bisa dibayangkan pada masa pergerakan kemerdekaan Indonesia dimana konektivitas teknis sangat terbatas, para pemuda berhasil merajut konektivitas nalar dan akal di seluruh penjuru nusantara.
Poin yang hendak disampaikan di sini adalah selain pengembangan kapasitas intelektual secara personal, makna pendidikan lainnya yang sangat penting ialah pendidikan kewargaan demi menjaga keutuhan kebangsaan kita.
Menjawab Tantangan
Semua pihak saat ini tengah menghadapi berbagai problem global dan sosial yang secara berkesinambungan mempengaruhi aspek-aspek kehidupan lainnya. Paling tidak ada tiga tantangan konseptual yang perlu dijawab berdasarkan pelajaran dari Bung Hatta.
Pertama, penjajahan bukan hanya telah menggrogoti kehidupan rakyat Indonesia secara fisik dan materiil semata, tetapi juga telah menyemen secara laten mental inferioritas dan jiwa terjajah.
Tingginya angka korupsi, nepotisme, maupun feodalisme dalam institusi publik menjadi sinyalemen bahwa “mental block” tersebut harus segera diatasi (Yudi Latif, 2017). Oleh sebab itu, strategi kemerdekaan yang lebih dalam adalah dengan memanfaatkan institusi pendidikan untuk menanamkan nilai kewargaan, budaya, dan kebangsaan pada generasi muda.
Kedua, pemuda kini tengah berada pada masa krisis pandemi yang banyak melanda sektor-sektor vital di Indonesia. Pemuda yang telah terbekali dengan kapasitas pengetahuan yang cukup harus mengembangkan kreatifitasnya untuk melampaui persoalan yang nyata. Bak mencapai kemerdekaan dari kolonialisme, daya nalar dan daya kreatifitas ini perlu diperas untuk membuka jalan baru, meretas semak belukar, dan bertungkus lumus menuju pengembangan hidup bersama.
Ketiga, jalan panjang yang perlu disusuri oleh anak bangsa saat ini adalah hidup dalam pengertian kecerdasaan kewargaan (civic intelligence). Pendidikan yang menghasilkan kecerdasan dan kebaikan individu tidak otomatis menjadi keunggulan dan kemuliaan dalam kehidupan publik.
Koruptor dengan latar belakang pendidikan yang tinggi dan oknum penyelenggara negara yang mempermainkan hukum merupakan fenomena yang membuktikan hal tersebut. Sehingga, para warga negara yang terdidik perlu mengoptimalkan kebajikan individunya dalam hidup kolektif yang baik dengan mendasar pada nilai-nilai dan moralitas publik, yakni Pancasila.