Diterbitkannya Perppu 1 Tahun 2020 menimbulkan beberapa pemikiran di masyarakat. Bagaimana tidak? Di tengah pandemi COVID-19 dengan kegentingan pada masalah kesehatan, Pemerintah justru mengeluarkan regulasi yang terlihat hanya berfokus ke bidang ekonomi.
Perppu 1 Tahun 2020 mengatur tentang Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi COVID-19 dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Mengapa regulasi pertama yang diterbitkan Pemerintah tidak berfokus ke bidang Kesehatan dan terlihat mementingkan ekonomi saja?
Bukankah banyak hal yang perlu diatur mengenai prosedur penanganan pasien COVID-19, operasional rumah sakit, pengamanan alat Kesehatan, dan lain sebagainya.
Ditambah lagi kebijakan pemerintah baru-baru ini mengenai izin moda transportasi yang dibuka kembali, penerbangan kembali dibuka dengan prasyarat, dan masyarakat usia dibawah 45 tahun boleh kembali beraktifitas. Pemerintah menilai bahwa urgensi regulasi di bidang ekonomi lebih mendesak karena saat ini, Pemerintah dihadapkan dengan kondisi yang sulit di bidang perekonomian dan memiliki kemungkinan dampak yang sangat luas.
Pertama mari kita merujuk pada himbauan Food and Agriculture Organization (FAO) mengenai krisis pangan. Dalam artikel COVID-19: Our hungriest, most vulnerable communities face “a crisis within a crisis” disebutkan bahwa pengaruh besar dari pandemi ini salah satunya adalah gangguan rantai pasokan makanan.
Berkaca pada pandemi Ebola tahun 2014 di Afrika yang memberikan gangguan besar pada pasokan produk agrikultur Afrika, sepertinya dunia sedang menuju ke arah yang sama. Pandemi Ebola menyebabkan sebagian besar petani di Afrika Barat tidak bisa melakukan kegiatan agrikultur sehingga menyebabkan penurunan produksi secara massal. Akibatnya, persediaan bahan makanan tidak mencukupi kebutuhan masyarakat.
Jika rantai pasokan makanan menjadi terganggu dan banyak masyarakat kehilangan pekerjaannya, konsekuensinya adalah banyak masyarakat yang mengharapkan bantuan dari pemerintah serta meningkatkan ketegangan sosial bahkan konflik dan kekerasan.
Gejala awal krisis pangan sebenarnya sudah mulai terlihat. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa beberapa komoditas pangan di Indonesia seperti beras, gula pasir, telur, minyak goreng dan lain-lain mengalami defisit karena penurunan produksi.
Keadaan akan semakin diperparah dengan kondisi Ramadhan dan Idul Fitri karena meningkatkan kebutuhan komoditas pangan. Bagaimana dengan impor? Ambil contoh beras. Beberapa Negara pengekspor beras Asia seperti Myanmar dan Vietnam mulai mengurangi jumlah ekspornya karena penurunan produksi, pasar yang masih buka hanya Thailand itu pun dengan jumlah yang terbatas.
Krisis pangan tentunya memiliki dampak yang berlipat ganda untuk Indonesia. Harga komoditas akan naik, biaya menjadi mahal, masyarakat akan semakin resah, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akan semakin membengkak, potensi terjadi ketidakstabilan politik dan sosial akan meningkat. Ya, dampak krisis pangan tidak bisa disepelekan.
Implementasi Pembatansan Sosisal Berskala Besar (PSBB)
Kedua, implementasi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa wilayah. Banyak masyarakat yang kehilangan pekerjaan di berbagai sektor ekonomi, padahal harga komoditas semakin naik.
Bagi masyarakat berpenghasilan bawah, mereka tidak hanya berperan melawan pandemi, mereka lebih berpikir bagaimana bisa tetap makan, daripada memikirkan risiko terpapar virus. Pilihan tidak makan atau melawan virus, keduanya sama-sama mematikan.
Di sinilah Pemerintah perlu turut serta memberikan perannya dengan memberikan stimulus ekonomi dan bantuan sosial sehingga masyarakat tetap bisa bertahan pada kondisi pandemi. Berbagai bentuk bantuan sosial dari uang tunai, bahan makanan dan bahan pokok lainnya diberikan pemerintah dalam skala besar. Beban bantuan sosial selama Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) inilah yang saat ini juga memberatkan pemerintah.
Belanja Pemerintah Meningkat Drastis Namun Penerimaan Negara Mengalami Penurunan Drastis
Ketiga, dikala belanja pemerintah meningkat drastis karena kebutuhan pelayanan kesehatan, bantuan sosial dan stimulus ekonomi meningkat, penerimaan negara mengalami penurunan yang sangat drastis.
Untuk mempercepat penanganan COVID-19 Pemerintah memberikan Fasilitas Kepabeanan dan/atau Cukai Serta Perpajakan Atas Impor Barang Untuk Keperluan Penanganan Pandemi Covid-19 sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 34/PMK.04/2020.
Dari segi perpajakan, pemerintah juga memberikan stimulus keringanan insentif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) untuk barang dan jasa tertentu terkait penanganan COVID-19 dan industry tertentu yang terdampak COVID-19. Penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan pun juga diberikan Pemerintah secara bertahap mulai tahun ini hingga tahun 2022.
Ketika pendapatan pajak pemerintah turun, pemerintah justru memberikan banyak keringanan perpajakan untuk berbagai pelaku ekonomi agar melindungi usaha mereka. Pemerintah telah menetapkan defisit APBN sebesar 5,07% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau sekitar Rp 852 triliun.
Dapat dikatakan pemerintah kini terkepung tiga biaya besar yaitu biaya medis penanganan pasien COVID-19, biaya bantuan sosial selama penerapan PSBB dan skema impor komoditas pangan. Sedangkan penerimaan pemerintah pun turun secara drastis.
Pemerintah terlihat seperti hanya mempertimbangkan masalah ekonomi, tetapi disitulah terdapat potensi keadaan terburuk yang akan terjadi. Pemerintah ada dalam kondisi dilematis pilihan melindungi masyarakat dari penyebaran COVID-19 dan membiarkan ekonomi terus melemah dan terpuruk, atau memperlonggar aturan agar ekonomi tetap hidup tetapi mempertaruhkan keselamatan dan kesehatan masyarakat.
Mungkin pemerintah terlihat seperti berpikir lebih baik ‘mati sebagian’ daripada ‘mati semuanya’. Kebijakan yang diterbitkan bukanlah tanpa alasan. Tetapi alangkah lebih baiknya jika terdapat harmoni antar peraturan yang diterbitkan.
Oleh: Mila Maulinda / Staff Kementerian Keuangan RI