Merebaknya wabah Covid-19 (Corona Virus Disease-2019) membuat lumpuhnya kegiatan masyarakat di berbagai sektor. Mulai dari aspek pendidikan, sosial, ekonomi, bahkan hukum sekalipun.
Di bidang hukum sendiri, penyebaran Covid-19 yang masif terjadi mempengaruhi berjalannya proses penegakan hukum. Salah satunya aktivitas persidangan, yang tak luput dari timbulnya dilema akbibat pandemi Covid-19.
Aktivitas persidangan yang paling terdampak permasalahannya akibat pandemi Covid-19, yaitu pada persidangan perkara pidana. Dengan alasan masa tahanan yang terbatas, menjadi dasar bagi Mahkamah Agung (MA) untuk menetapkan persidangan online dengan berdasar pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2019 tentang Tata Cara Persidangan Secara Eloktronik.
Sebuah MoU (Memorandum of Understanding) kesepakatan antara pihak Mahkamah Agung, Kejaksaan RI dan Kementerian Hukum dan HAM dalam hal ini Direktorat Jenderal Pemasyarakatan disahkan. MoU tersebut terkait kesepakatan pelaksanaan persidangan selama masa pandemi Covid-19 yang akan dilaksanakan sampai dengan berakhirnya wabah Covid-19 di Indonesia.
Dalam MoU itu ditetapkan salah satunya kesepakatan untuk menjalankan persidangan perkara pidana secara online. Lebih jelasnya Hal tersebut, juga sesuai instruksi Jaksa Agung yaitu untuk mencegah penyebaran dan penularan Covid 19 agar perkara pidana disidangkan secara online.
Instruksi tersebut tertuang dalam Surat Edaran Jaksa Agung (SEJA) Nomor B-049/A/SUJA/03/2020 tanggal 27 Maret 2020 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Tugas, Fungsi dan Kewenangan Kejaksaan di tengah pandemi Covid 19.
Upaya melaksanakan persidangan online dimasa pandemi Covid-19 dianggap sebagai langkah progresif, dalam memecahkan permasalahan stagnasi perkara akibat penyebaran Covid-19.
Lalu bagaimana kemudian, setelah persidangan online ditetapkan?
Setelahnya, aspirasipun berdatangan. Berbagai macam pujian dilontarkan, seakan menilai penegak hukum mampu berinovasi, demi tetap berjalannya proses persidangan.
Akan tetapi dibalik terselenggaranya persidangan online perkara pidana, yang dianggap sebagai sebuah inovasi dibidang hukum, ternyata menemui kendala dalam proses berjalannya. Salah satunya terkait pembuktian dipersidangan. Di mana diketahui, pembuktian adalah tahapan penting dalam peradilan untuk menampakkan bahwa terdakwa bersalah atau tidak.
Dalam hukum pembuktian, untuk melindungi kepentingan umum, Kejaksaan sebagai alat negara ditugaskan untuk melakukan beban pembuktian sekaligus guna melakukan tuntutan pidana. Sementara hakim dalam perkara pidana diwajibkan untuk mencari kebenaran materiil.
Hakikat pembuktian dalam persidangan perakara pidana amat terasa urgen. Lilik Mulyadi dalam bukunya "Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi," telah menguraikan urgensi beban pembuktian. Pembuktian merupakan suatu proses untuk menentukan dan menyatakan tentang kesalahan sesorang dapat dijatuhkan pidana.
Dari hasil persidangan dapat dibuktikan sah dan meyakinkan sesorang melakukan tindak pidana (veroodeling), atau kemudian dapat pula dibebaskan dari dakwaan (Vrispraak) apabila tidak terbukti melakukan tindak pidana. Atau bisa dilepaskan dari segala tuntutan hukum (anslaag van allerchtvervolging) apabila apa yang didakwakan terbukti, tetapi bukan merupakan suatu tindak pidana.
Yahya Harahap dalam bukunya "Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi Dan Peninjauan Kembali." Mengemukakan bahwa pembuktian merupakan suatu ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan oleh undang-undang, yang digunakan oleh hakim dalam membuktikan kesalahan yang didakwakan dalam persidangan, dan tidak dibenarkan membuktikan kesalahan terdakwa dengan tanpa alasan yuridis dan berdasarkan keadilan.
Permasalahan terkait pembuktian di muka persidangan saat ini, manakala persidangan perkara pidana dilaksanakan secara online atau melalui teleconference dengan alasan pandemi Covid-19. Hal tersebut sejatinya telah memantik sejumlah isu terkait keabsahan pembuktian yang dilakukan penuntut umum untuk membuktikan kesalahan terdakwa serta keyakinan hakim, akan pembuktian yang dilakukan oleh penuntut umum.
Pasal 183 KUHAP menjelaskan “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Dan apabila kita memperhatikan penjelasan Pasal 183 KUHAP, maka maksud pasal tersebut adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang.
Permasalahan saat ini dengan penerapan sidang secara online atau melalui teleconference yang sejatinya dalam praktik, terdakwa menjalani sidang dengan tetap berada di Lembaga Pemasyarakatan, sementara hakim berada di ruang persidangan dan penuntut umum berada di kantor kejaksaan ataupun diruang sidang bersama-sama dengan hakim, telah mempengaruhi pembuktian dalam persidangan.
Untuk perkara pidana yang pembuktiannya mudah, hal tersebut sejatinya tidak terlalu berpengaruh. Namun, untuk perkara yang pembuktiannya rumit dan membutuhkan alat bukti yang spesifik, penerapan sidang secara online atau melalui teleconference menurut hemat penulis tidak dapat dilaksanakan.
Melainkan harus dilakukan secara langsung, arti langsung disini adalah langsung dihadapkan terdakwa di depan hakim untuk menilai secara langsung pembuktian yang dilakukan oleh penuntut umum dan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan.
Dalam pelaksanaan persidangan online, untuk perkara pidana yang pembuktiannya rumit dan membutuhkan alat bukti spesifik yang penulis maksud adalah perkara yang dalam pembuktiannya menjadikan alat bukti surat sebagai dasar pijakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa, di mana tanpa alat bukti surat kesalahan terdakwa tidak dapat dibuktikan dan alat bukti lainnya seperti keterangan saksi bergantung pada alat bukti surat.
Contoh dari perkara tersebut salah satunya yakni perkara korupsi yang membutuhkan dokumen-dokumen persuratan untuk membuktikan telah terjadi tindak pidana korupsi, sehingga dokumen-dokumen persuratan tersebut yang merupakan alat bukti surat haruslah diuji kebenarannya dan di perlihatakan secara langsung kepada para pihak untuk menilai kebenaran akan dokumen surat yang dijadikan alat bukti dalam persidangan.
Sehingga pelaksanaan persidangan untuk perkara sebagaimana dimaksud penulis diatas, tidaklah dapat dilakukan melalui persidangan online karena akan rentan terjadi manipulasi persidangan atau permainan perkara yang dapat mengaburkan ataupun mengubah fakta persidangan, selain itu pelaksanaan persidangan online atau teleconference dari sisi non teknis juga rentan bermasalah seperti gangguan jaringan internet yang dapat mengakibatkan tidak didengar dan dilihatnya secara baik atau salah menangkap maksud keterangan para pihak baik itu jaksa, hakim, pengacara, saksi maupun terdakwa yang dapat mengaburkan fakta sebenarnya sehingga tidak dapat dicapainya kebenaran materil dari hasil persidangan perkara pidana.
Pembuktian yang rumit, yang membutuhkan kemampuan lebih dari penuntut umum untuk mengurai persesuaian keterangan para saksi, bukti surat, petunjuk dan alat bukti lainnya, serta mengkonfrontasi keterangan-keterangan saksi, terdakwa dan bukti surat yang dihadirkan oleh penuntut umum, tidak dapat dilakukan begitu saja melalui teleconference atau pertemuan secara virtual. Karena akan mempengaruhi hak-hak para pihak yang berperkara, baik itu terdakwa, korban, maupun masyarakat secara umum yang tidak dapat dikurangi ataupun disimpangi guna menemukan kebenaran materiil dalam pelaksanaan persidangan perkara pidana.
Oleh karenanya menurut penulis pembuktian dalam persidangan online menjadi sah serta dapat dilaksanakan untuk perkara yang pembuktiannya tidak sulit.
Namun, untuk perkara sulit yang pembuktiannya rumit dan spesifik tetap harus dilaksanakan secara langsung dimuka persidangan. Untuk itu penulis berpendapat agar Mahkamah Agung dan Kejaksaan RI merumuskan jenis perkara pidana yang dapat disidangkan secara online dan jenis perkara yang tetap dilaksanakan di muka persidangan seperti biasanya.
Selain itu terkait dengan persidangan online perlu juga disepakati SOP (standar Operasional Prosedur) pelaksanaan persidangan online, untuk memastikan standar kelayakan pelaksanaan persidangan online baik itu dari segi sarana dan prasarana serta keamanan penyelenggaraan persidangan, agar penyelenggaraan persidangan online tidak merugikan dan mengurangi hak-hak para pihak baik itu terdakwa maupun korban dan masyarakat.
Sehingga untuk perkara-perkara sulit dan pembuktiannya rumit dan spesifik pelaksanaan persidangan dengan menghadirkan terdakwa dimuka persidangan atau persidangan biasa pada umumnya, dilaksanakan dengan menerapkan protokol kesehatan Covid-19 serta menerapkan SOP persidangan yang ketat.
Karena sekali lagi hak-hak para pihak yang berperkara baik itu terdakwa, korban, maupun masyarakat tidak boleh dikurangi. Serta inti dari persidangan adalah menemukan kebenaran materiil yang dengan keyakinan hakim disertai alat bukti dapat memutuskan nasib terdakwa yang disidangkan.
Mengutip sebuah pameo hukum yang mengatakan, "lebih baik membebaskan seratus penjahat, daripada menghukum seorang yang tidak bersalah." Maka, dalam memutus nasib sesorang yang diadili di persidangan harus dilakukan secara cermat dan hati-hati.