Tewasnya George Floyd oleh polisi kulit putih bernama Derek Chauvin pada 25 Mei lalu, membuktikan bahwa permasalahan rasial di Amerika Serikat sejatinya belum benar-benar tuntas. Padahal, sudah banyak gerakan yang digagas oleh para aktivis pejuang keadilan untuk mengentaskan tindakan rasisme terhadap warga kulit hitam.
Jika mengulas balik ke belakang, gerakan anti-rasisme di Amerika ini pernah mencapai puncaknya di tahun 1950-1960 yang lalu, yang terkenal sebagai gerakan hak-hak sipil (civil rights movement).
Gerakan ini pada akhirnya mendorong disahkannya regulasi revolusioner, yakni Undang-Undang Hak Sipil 1964 yang mengakui kesetaraan warga Amerika Serikat tanpa memandang latar belakang ras, warna kulit, agama, maupun jenis kelaminnya.
Tentu ini merupakan pencapaian besar bagi warga kulit hitam di Amerika, karena sudah bertahun-tahun hidup dengan adanya segregasi maupun diskriminasi dalam berbagai aspek kehidupan.
Adapun sosok dibalik kesuksesan gerakan ini adalah Martin Luther King Jr., yang dengan kepiawaiannya dalam berorasi dan memimpin, menjadi senjata pamungkas melawan kuatnya tekanan terhadap perjuangan anti-rasisme di Amerika.
Yang menjadi menarik, gerakan hak-hak sipil dibawah kepemimpinan Martin Luther King Jr. dilakukan secara damai dan tanpa kekerasan; sebagaimana dikemukakan secara lugas olehnya dalam orasi pada peristiwa Montgomery Bus Boycott.
Kepemimpinan Karismatik
Sebagai seorang pemimpin gerakan yang sukses, banyak pakar menyebutkan bahwa Martin Luther King Jr. menggunakan gaya kepemimpinan karismatik.
Nah, lalu apasih kepemimpinan karismatik itu? Merujuk kepada House (1976), kepemimpinan karismatik adalah pemimpin yang bertindak dengan cara-cara unik; yang memberikan efek karismatik tertentu pada pengikutnya.
Jika definisi tersebut direfleksikan kepada gaya Martin Luther King Jr. memimpin gerakan, maka akan jelas terlihat bahwa memang Martin Luther King Jr. menerapkan cara unik; yakni melawan tindakan represif aparat dengan aksi protes damai dan aksi ‘ketidakpatuhan sipil’, sehingga bentrok antara aparat dengan demonstran dapat diminimalisir.
Untuk memahami lebih jauh mengenai kepemimpinan karismatik, maka ada baiknya kita menelusuri pula karakteristik-karakteristik yang melekat pada seorang pemimpin karismatik.
Melansir dari laman online.stu.edu, karakteristik dari seorang pemimpin karismatik adalah adanya kepekaan terhadap masalah yang terjadi di lingkungan sekitar, memiliki visi, mahir menerapkan tindakan-tindakan yang tidak biasa, dan berani mengambil risiko.
Jika kembali merefleksikan karakteristik seorang pemimpin karismatik pada diri Martin Luther King Jr., maka akan kembali terlihat secara gamblang bahwa karakteristik-karakteristik tersebut memang melekat pada Martin Luther King.
Karakteristik pertama terkait dengan kepekaan terhadap masalah yang terjadi di lingkungan sekitar. Di abad ke-20, diskriminasi terhadap warga kulit hitam di Amerika (khususnya di bagian Selatan) begitu hebat; sampai-sampai, terdapat regulasi segregasi rasial yang mengakibatkan fasilitas umum dan pelayanan publik dipisahkan antara yang berkulit putih dengan yang berkulit hitam.
Tidak hanya sampai disitu, diskriminasi terhadap warga kulit hitam juga dilakukan dalam ranah politik dengan mencabut hak pilih yang dimiliki warga kulit hitam. Puncaknya adalah pada saat terjadi peristiwa yang menimpa Rosa Parks; warga kulit hitam yang enggan memberikan tempat duduknya di bus kepada penumpang kulit putih, dan kemudian Parks dikenakan denda sebesar 10 dollar.
Peristiwa ini kemudian memicu aksi Montgomery Bus Boycott, dan Martin Luther King tampil perdana sebagai seorang pemimpin pergerakan; karena sudah merasa resah dan jengah terhadap permasalahan yang menimpa warga kulit hitam. Pada akhirnya aksi ini berlangsung sukses, yang ditandai dengan dihapusnya regulasi pemisahan tempat duduk.
Namun, perjuangan Martin Luther King Jr. dalam menyuarakan keadilan bagi warga kulit hitam tidak berlangsung sampai situ saja; melalui berbagai keberhasilan aksi protes dan demonstrasi yang digagasnya, pada akhirnya regulasi hukum yang mengatur kesetaraan antara warga kulit putih dengan warga kulit berawarna dapat disahkan di tahun 1964.
Karakteristik kedua terkait dengan visi. Sebagai seorang pemimpin gerakan, Martin Luther King Jr. kerap berorasi di depan massa yang sedang berjuang; menyampaikan visi dan tujuan dari gerakan yang dilakukan.
Salah satu pidatonya yang kemudian menjadi terkenal adalah pidato yang bertajuk ‘I Have a Dream’, yang secara gamblang menjelaskan cita-citanya sebagai warga kulit hitam di Amerika.
Berikut merupakan kutipan pidato yang disampaikan oleh Martin Luther King Jr., disadur oleh penulis dari laman archives.gov:
“…saya berkata kepada Anda hari ini, teman-teman saya. Walaupun hari ini dan esok kita akan mengalami kesulitan, saya masih memiliki mimpi. Mimpi ini adalah mimpi yang mengakar kuat dalam American Dream. Saya memiliki mimpi bahwa bangsa ini akan bangkit dan menghayati makna sebenarnya dari kepercayaan tersebut; 'Kami menganggap kebenaran ini sebagai bukti diri; bahwa semua manusia diciptakan setara'…”.
Visi yang diutarakan secara tegas, lugas, dan amat bermakna, seakan-akan ‘menghipnotis’ para audiens yang ada. Pergerakan untuk berjuang melawan tindakan rasisme terhadap warga kulit hitam, pada akhirnya semakin kuat dan kokoh dengan adanya visi ‘mencapai kesetaraan’ yang telah disampaikan oleh Martin Luther King Jr..
Berikutnya, karakteristik ketiga yang berkaitan dengan mahir menerapkan tindakan-tindakan yang tidak biasa. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, pergerakan hak-hak sipil di Amerika pada saat itu dilakukan dengan cara yang tidak biasa yakni tanpa kekerasan; walaupun mengakibatkan intensitas diskriminasi dan tekanan terhadap warga kulit hitam semakin meningkat.
Namun dengan kepiawaiannya, Martin Luther King Jr. dapat meyakinkan korban tindakan rasisme dan diskriminasi untuk tidak melakukan serangan balik, sehingga gerakan tanpa kekerasan aman terkendali. Adapun karakteristik terakhir berkaitan dengan keberanian untuk mengambil risiko.
Tentu perlu keberanian yang luar biasa hebat untuk dapat menentang dan mengubah status quo, ditambah apabila berasal dari kalangan minoritas. Oleh karenanya, tidak dapat dipungkiri adanya tindakan-tindakan reaktif dari pihak yang bersebrangan untuk tetap mempertahankan status quo; baik yang dilakukan secara terang-terangan, tertutup, dengan cara halus atau bahkan dengan cara kekerasan yang dapat membahayakan dan mengancam nyawa Martin Luther King Jr. beserta keluarga.
Dilansir dari laman britannica.com, intimidasi terhadap perjuangan Martin Luther King tiada habis-habisnya; dari pertama kali Ia tampil ke publik di aksi Montgomery Bus Boycott saja, rumahnya sudah diserang dengan dinamit.
Puncaknya adalah di tahun 1968, pada saat Martin Luther King Jr. berdiri di balkon motel Lorraine di Memphis, Ia tewas tertembak oleh seorang warga kulit putih bernama James Earl Ray.
Kehadiran Martin Luther King Jr. sebagai sosok pemimpin gerakan hak-hak sipil di Amerika merupakan hal yang sangat krusial; karena komando dan arahan untuk pergerakan tersentralisasi sehingga gerakan tidak terpecah belah. Selain itu melalui orasi-orasinya, Martin Luther King Jr. dapat mengobarkan semangat serta gelora perjuangan massa.
Hal ini terbukti dari pidato bertajuk ‘I Have a Dream’ yang disampaikan olehnya pada 28 Agustus 1963 di Lincoln Memorial, telah meningkatkan simpati banyak pihak terhadap gerakan hak-hak sipil di Amerika.
Kesuksesannya dalam memimpin gerakan tanpa kekerasan, keberaniannya dalam menyuarakan kebenaran serta keadilan, serta kepercayaan dirinya untuk memberikan harapan bagi kaum pinggiran, pada akhirnya telah menginspirasi dan memberikan cara pandang baru bagi dunia pergerakan di seluruh dunia.
Untuk berjuang melawan rasisme abad ini, tentu kita memerlukan sosok-sosok ‘Martin Luther King Jr.’ lainnya, yang dapat mengubah dunia menjadi tempat yang lebih baik tanpa memberi kesempatan bagi rasisme dan diskriminasi terhadap golongan tertentu kembali bangkit. Karena seperti yang dikemukakan Martin Luther King dalam pidatonya, bahwa semua manusia diciptakan setara.