Kementerian Keuangan telah memulai reformasi birokrasi tahap kelima dengan tajuk Transformasi Digital sejak tahun 2019 sebagai respon atas perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang menuntut organisasi publik maupun privat beradaptasi dengan lingkungan kerja yang baru.
Transformasi digital yang dilakukan oleh Kemenkeu merupakan reformasi birokrasi yang diintegrasikan dengan konteks yang lebih modern dengan penekanan pada aspek digitalisasi melalui implementasi 11 Inisiatif Strategis (IS) untuk memperbaiki layanan kepada masyarakat.
IS Nomor 2 yaitu Office Automation merupakan inisiatif untuk membangun digital workplace, salah satunya melalui pola kerja baru yang dinamakan flexible working space (FWS) yang memungkinan pegawai melakukan pekerjaannya di mana saja, seperti ruang kerja bersama (open space) di unit kerja Kemenkeu, di tempat tinggal pegawai, atau di lokasi lain yang memiliki fasilitas pendukung.
Kemenkeu telah mengambil momentum dengan adanya kebijakan Work from Home (WFH) selama pandemi COVID-19 berlangsung untuk mengimplementasikan FWS sesuai dengan KMK NOMOR 223/KMK.01/2020.
Implementasi FWS sebagai pola kerja baru di lingkungan Kemenkeu merupakan solusi jangka panjang yang adaptif untuk menghadapi ‘new normal’ dan tantangan birokrasi ke depan. Terdapat tiga faktor penting yang dapat mendukung implementasi FWS di Kemenkeu, yaitu adanya komitmen pemimpin, perubahan budaya organisasi, dan infrastruktur yang memadai.
Faktor pertama terkait dengan konsep kepemimpinan, Montgomery dalam Caiden (1969) menyatakan bahwa reformasi birokrasi membutuhkan komitmen dari seorang pemimpin yang memiliki otoritas untuk melakukan perubahan. Pada tahun 2018, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengeluarkan KMK Nomor 452/KM.1/2018 untuk membentuk kelompok kerja (Pokja) TEAM Finance yang terdiri dari tim pengarah dan tim pengelola untuk mempersiapkan transformasi digital yang akan dilakukan di lingkungan Kemenkeu. Leaders Offsite Meeting (LOM) yang melibatkan menteri, wakil menteri, beserta seluruh pimpinan unit eselon I juga telah dilaksanakan.
Pertemuan tersebut kemudian berhasil menciptakan visi baru Kemenkeu sebagai penggerak utama pertumbuhan ekonomi Indonesia yang produktif, kompetitif, inklusif, dan berkeadilan di abad ke-21, tentunya berbagai hal telah dipertimbangkan seperti era revolusi industri 4.0, inovasi, nilai dan budaya Kemenkeu, pengembangan proses bisnis, pengelolaan SDM, dan sebagainya. Kesepahaman yang dihasilkan melalui LOM kemudian dikaji kembali oleh setiap unit eselon I dan disempurnakan melalui pembahasan bersama Steering Committee Meeting RBTK, hingga akhirnya ditetapkan melalui KMK Nomor 302/KMK.01/2019.
Kebijakan yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan bagi masyarakat serta mendorong efisiensi proses bisnis tersebut juga memperhatikan aspek sustainability, oleh sebab itu implementasinya disesuaikan dengan nilai dan budaya organisasi Kemenkeu.
Berdasarkan hal tersebut, terlihat bahwa menteri, wakil menteri, serta serta jajarannya memiliki komitmen untuk meningkatkan Kemenkeu sebagai institusi yang unggul melalui strategi dan pendekatan yang baru, serta menciptakan pegawai yang adaptif dan terbuka terhadap perubahan.
Tindakan yang dilakukan oleh pimpinan Kemenkeu juga terkait dengan konsep kepemimpinan visioner, yakni pemimpin yang dapat menciptakan dan mengartikulasikan visi yang realistis, kredibel, dan menarik untuk meningkatkan keadaan organisasi saat ini.
Motivasi dan arahan yang menekankan pada usaha bersama anggota organisasi juga dilaksanakan guna mencapai visi dan tujuan kerja (Robbins & Coulter, 2017; Yukl; 2013).
Salah satu Inisiatif Strategis (IS) yakni Office Automation melalui flexible working space (FWS) telah diterapkan selama pandemi COVID-19 berlangsung, inovasi tersebut juga sejalan dengan SE Menteri PANRB mengenai penyesuaian sistem kerja ASN. Kebijakan FWS telah tertuang dalam KMK NOMOR 223/KMK.01/2020, sehingga implementasinya sudah memiliki dasar hukum yang kuat.
Berdasarkan keputusan tersebut, terdapat penjelasan mengenai pengaturan pola kerja yang memberikan fleksibilitas lokasi kerja selama periode tertentu dengan mengharuskan pegawai memaksimalkan teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan dan menjaga produktivitas agar pelaksanaan tugas dan fungsi Kemenkeu tetap terjamin.
FWS dapat dilakukan baik itu oleh PNS, nonPNS, dan PPPK dengan syarat memiliki NPKP minimal “Baik”, dapat melakukan pekerjaan yang sifatnya mandiri, bertanggung jawab, mengutamakan komunikasi yang baik, responsif, serta tidak sedang dalam proses menjalani hukuman disiplin atau proses pemeriksaan.
Konsep FWS juga telah mempertimbangkan aspek manajemen ASN meliputi penilaian kinerja, penggajian dan tunjangan, oleh sebab itu dengan persiapan yang matang FWS nantinya tetap diimplementasikan setelah pandemi COVID-19 berakhir.
Faktor kedua terkait dengan budaya organisasi. Reformasi birokrasi dapat terjadi apabila terdapat perubahan paradigma, prosedur birokrasi, dan perilaku dari birokrat itu sendiri guna mencapai tujuan organisasi secara efektif (Caiden, 1970; Quah, 2010). Embedding culture atau penanaman budaya juga menjadi kunci penting dari keberhasilan reformasi birokrasi (Neo & Chen, 2007).
Berkaca dari konsep tersebut, penerapan flexible working space (FWS) tidak akan berhasil apabila mindset dari pegawai Kemenkeu belum berubah.
FWS yang saat ini diimplementasikan di lingkungan Kemenkeu bukanlah suatu kebijakan yang mendadak sebagai respon atas pandemi COVID-19, melainkan bagian dari Transformasi Digital yang terencana dan terstruktur yang merupakan hasil dari komitmen para pemimpin di Kemenkeu.
Oleh sebab itu, kebijakan ini tidak terlepas dari agenda besar “The New Thinking of Working”, yaitu penguatan budaya organisasi Kemenkeu yang bertujuan untuk menciptakan budaya kerja yang adaptif, berintegritas, dan berbasiskan digital guna meningkatkan kinerja dan produktivitas pegawai.
Penguatan budaya ini juga terkait dengan trust, work life balance, agility organization, dan collaborative, secara khusus melalui FWS diharapkan dapat meningkatkan produktivitas, kepuasan kerja, efisiensi waktu dan biaya, serta meningkatkan keseimbangan antara kehidupan dan pekerjaan secara organisasi maupun individu pegawai.
Kemenkeu telah melaksanakan sosialisasi yang matang terkait dengan perubahan ini, salah satunya melalui survei kepada pegawai baik itu level manajer maupun pelaksana di unit-unit kerja Kemenkeu dalam rangka memeriksa kesiapan individu untuk berubah (individual readiness for change) serta menampung aspirasi terkait dengan perubahan pola kerja baru yang disesuaikan dengan era revolusi industri 4.0. Survei tersebut menghasilkan respon yang positif, sebab responden pada level manajer menyatakan siap untuk melaksanakan FWS dengan penyesuaian tertentu, sementara 88% responden pegawai di tingkat pelaksana berminat untuk bekerja sistem yang lebih modern dan fleksibel ini.
Komposisi Generasi Y dan Generasi X di Kemenkeu yang saat ini mencapai 54.076 orang atau ±65% dari total keseluruhan pegawai diharapkan akan memudahkan Kemenkeu dalam menerapkan sistem FWS.
Pembangunan awareness kepada seluruh pegawai dalam rangka transformasi digital juga dilaksanakan di seluruh instansi di bawah Kemenkeu di seluruh Indonesia melalui pengenalan RBTK, focus group discussion, sharing session, workshop, penguatan nilai-nilai Kemenkeu.
Misalnya, sesi focus group discussion dilaksanakan untuk menampung aspirasi, dukungan, dan kendala dari setiap unit kerja terkait pelaksanaan transformasi digital terutama terkait dengan budaya yang lebih fleksibel untuk mempercepat komunikasi.
Terdapat pula Central Transformation Office (CTO) dan Duta Transformasi sebagai bagian dari manajemen perubahan yang bertugas untuk memastikan dan mengawal implementasi inisiatif strategis yang ada.
Faktor ketiga terkait dengan dukungan secara fisik yakni sarana dan prasarana yang memadai untuk mendukung proses bisnis Kemenkeu. Penyediaan sarana prasarana merupakan bentuk dari employee-friendly policies sebagaimana Berman, Bowman, West, dan Van Wart (2015) menyatakan bahwa lingkungan kerja yang nyaman merupakan bentuk dukungan manajemen kinerja yang dapat menjaga produktivitas pegawai, salah satunya melalui penerapan telecommuting atau secara khusus disebut FWS oleh Kemenkeu.
Oleh sebab itu, infrastruktur teknologi sangat dibutuhkan untuk mendukung implementasi FWS sehingga produktivitas dan kinerja pegawai tetap terjaga meski pegawai tidak bekerja dari kantor. Salah satu aplikasi penunjang Office Automation adalah aplikasi e-Kemenkeu yang terus dikembangkan sesuai perkembangan teknologi, aplikasi ini dilengkapi dengan fitur persuratan digital seperti pembuatan nota dinas, kegiatan presensi pegawai yang menggunakan fitur clock in dan clock out, input pekerjaan sehari-hari, serta dilengkapi dengan modul koordinasi (pengelolaan proyek, aplikasi chatting, video conference, modul dokumentasi (personal folder dan pengelolaan arsip), modul penjadwalan (agenda pegawai, pengelolaan perjalanan dinas), dan sebagainya.
Sosialisasi terkait dengan mengubah stereotip pegawai terhadap penggunaan teknologi juga telah dilaksanakan agar pegawai lebih siap menghadapi situasi yang baru, misalnya penggunaan aplikasi naskah dinas elektronik (Nadine) yang oleh sejumlah pegawai masih dianggap hanya menambah beban kerja, namun sejatinya melalui penerapan aplikasi tersebut, pegawai Kemenkeu akan dimudahkan dalam membuat surat atau nota dinas langsung melalui gadget pribadi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani juga mengatakan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi digital merupakan merupakan dua elemen penting yang dapat dijadikan jati diri Kemenkeu. Pernyataan tersebut bukan lip service semata, sebab Kemenkeu telah memiliki Sistem Layanan Data Kementerian Keuangan (SLDK) yaitu sistem pengelolaan yang menghimpun berbagai macam data dan informasi sehingga terintegrasi dan terpusat dengan mengedepankan prinsip kerahasiaan, keutuhan, dan ketersediaan.
Sistem ini bertujuan untuk mewujudkan Single Source of Truth, yakni satu sumber data di lingkungan Kemenkeu yang dapat dipercaya dan dapat diakses secara efisien dari dari segi waktu dan biaya, terlebih informasi yang ada dapat digunakan untuk pengambilan kebijakan oleh pimpinan Kemenkeu.
Kemenkeu juga telah melaksanakan manajemen kinerja pegawai melalui aplikasi e-performance sejak tahun 2011 untuk menjaga kinerja pegawai melalui perencanaan aksi kinerja, pemantauan perkembangan tugas yang dikerjakan, dan penilaian dari bawahan ke atasan dan sebaliknya sehingga menjadikan penilaian kinerja seobjektif mungkin. Setiap pegawai Kemenkeu juga bisa melihat peningkatan atau penurunan performa kinerjanya secara transparan.
Berbagai sistem pendukung lainnya di lingkungan Kemenkeu juga sudah disiapkan, oleh sebab itu saat terjadi gangguan kerja seperti adanya pandemi COVID-19, bukan menjadi permasalahan besar bagi pegawai Kemenkeu untuk tetap bekerja dan produktif meski dari tempat tinggal masing-masing.
Berdasarkan pemaparan di atas, implementasi FWS di lingkungan Kemenkeu sejatinya tidak dapat dipisahkan dari gambaran besar Transformasi Digital yang merupakan reformasi birokrasi tahap kelima Kemenkeu dalam menghadapi perkembangan zaman.
FWS Kemenkeu tidak dimaknai secara sempit sebagai perubahan tempat kerja sebagai solusi sementara karena adanya pandemi COVID-19 atau keadaan mendesak lainnya yang menyebabkan pegawai tidak dapat bekerja di kantor, namun lebih luas hal ini merupakan upaya Kemenkeu untuk mempersiapkan insitusi kelas dunia yang adaptif dan modern.
Keberhasilan implementasi FWS sangat berkaitan dengan komitmen pemimpin terhadap pencapaian visi organisasi, perubahan mindset pegawai dan budaya organisasi, serta pemanfaatan infrastruktur teknologi guna menunjang efisiensi proses bisnis Kemenkeu untuk mengatasi perubahan, peluang dan tantangan yang terjadi baik skala nasional, regional, dan global untuk mewujudkan Kemenkeu yang lebih efektif dan efisien serta mampu meningkatkan pelayanan dan kepuasan setiap stakeholder dan masyarakat.