Dampak Pandemi Covid-19 Terhadap Nasib Perbankan dan Bank Perkreditan

Tri Apriyani | dinda azzahra salsabila
Dampak Pandemi Covid-19 Terhadap Nasib Perbankan dan Bank Perkreditan
Ilustrasi keuangan

Covid-19 memberikan dampak yang besar terhadap negara khususnya pada sektor ekonomi. Perekonomian mengalami pertumbuhan yang lamban, banyak aktivitas perdagangan jual beli yang terhenti, para driver ojek online yang penghasilannya menurun akibat tidak adanya aktivitas di luar rumah, kawasan wisata benar-benar sepi sehingga tidak ada pemasukan dan aktivitas ekonomi.

Jika hal ini terus terjadi, dan tidak tahu kapan akan berhenti maka dampak yang terjadi akan semakin besar serta bisa menular ke sektor perbankan dan bank perkreditan.

Tentu peristiwa ini akan sangat mengkhawatirkan, karena mengingat Indonesia pernah mengalami krisi ekonomi yang parah pada tahun 1997-1998. Harga-harga barang konsumsi melonjak tinggi menurunkan daya beli masyarakat, sistem perbankan banyak yang gulung tikar karena situasi pandemi, gejolak pasar keuangan yang sangat luar biasa dan nilai mata uang semakin tidak berharga.

Namun siapa yang dapat menduga, karena pandemi covid-19 ternyata juga dapat mengkhawatirkan sistem perbankan dan perkreditan rakyat dengan dampak yang sama atau bahkan lebih parah dari krisis ekonomi.

Demi menjaga pertumbuhan ekonomi, pemerintah memberikan stimulus supaya perekonomian dapat bergerak lagi. Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayan Perekonomian Nasional dan atau Stabilitas Sistem Keuangan.

Perppu tersebut memuat pernyataan, terdapat kesempatan bagi Bank Indonesia untuk membeli SUN atau SBSN di pasar perdana. Pemberian kebijakan ini tentunya menjadi kabar menggembirakan karena mendapat pelebaran defisit fiskal. Selain itu, pemerintah mengelurakan kebijakan dengan memberikan keringanan suku bunga guna memberikan stimulus moneter supaya nilai mata uang rupiah tidak anjlok.

Stimulus lainnya dari pemerintah yaitu melalui pelonggaran moneter dengan pemangkasan pemenuhan GWM atau Giro Wajib Minimum. Stimulus ini bertujuan supaya ada tambahan pada ketersediaan likuiditas bank.

Kebijakan ini bagai angin yang menyejukkan bagi bank perkreditan atau bank konvensional yang melakukan kegiatan kredit kepada masyarakat. Sebab relaksasi kredit ini bermakna pemberian kelonggaran baik waktu maupun peraturan terkait pembayaran bunga utang kredit.

Ketentuan ini terdapat pada pasal 2 PJOK  yang menyatakan bahwa pihak bank, bank perkreditan ataupun lembaga pembiayaan dapat menerapkan kebijakan ini guna mendukung stimulus pertumbuhan ekonomi kepada para masyarakat (debitur) yang terkena dampak Covid-19.

Debitur disini seperti debitur UMKM, debitur perumahan, dan lain-lain yang mengalami tunggakan kredit. Melalui cara ini, tentunya memberikan keuntungan di sektor perbankan karena dengan adanya relaksasi dan restrukturisasi tersebut membuat bank dapat tetap menjaga kualitas kegiatan perkreditannya.

Terdapat dua metode dalam penyelesaian kredit macet. Pertama yaitu melalui musyawarah kembali antara pihak bank (kreditur) dengan debitur. Kedua, dengan menyelesaikannya melalui lembaga hukum, seperti PUPN atau Kantor Pengurusan Piutang dan Lelang Negara (KPKNL)

Sedangkan penyelamatan kredit macet dapat dilakukan dengan lima cara, yaitu rescheduling (penjadwalan ulang) sepertu melakukan perpanjangan waktu kredit atau memperpanjang waktu angsuran. Yang ke dua adalah reconditioning (persyaratan ulang), dengan cara mengubah persyaratan kredit meliputi kapitalisasi bunga, penundaan pembayaran bunga sampai waktu tertentu, penurunan suku bunga ataupun pembebasan bunga.

Yang ketiga adalah restructuring (penataan ulang), yaitu dengan penambahan jumlah kredit/modal usaha untuk menghasilkan arus kas dimasa depan atau dengan menambah equity. Yang keempat adalah kombinasi, yaitu menggabungkan 3 metode diatas, dan yang terakhir apabila kredit benar-benar tidak memungkinkan untuk dilanjutkan pembayarannya maka akan dilakukan penyitaan jaminan.

Kebijakan restructuring (penataan ulang) ini sebenarnya dapat menimbulkan masalah baru bagi pihak bank (debitur) atau oleh bank perkreditan lain. Berdasarkan survey dari pemberlakuin metode ini, biasanya bank masih saja mewajibkan pembayaran cicilan bulanan.

Padahal mereka sebenarnya mengetahui tentang perpanjangan waktu pembayaran angsuran sekaligus penurunun bunga seperti yang disampaikan oleh Presiden. Terdapat dua perbedaan pernyataan yang disampaikan Presiden dengan POJK 11 thn 2020 dalam menyikapi relaksasi kredit ini.

Pertama, POJK 11 thn 2020 menyatakan bahwa debitur mendapatkan keringanan relaksasi angsuran dengan 6 porsi diantaranya, penurunan suku bunga, perpanjangan waktu, pengurangan tunggakan pokok, pengurangan tunggakan bunga, penambahan fasilitas kredit, dan konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara.

Sehingga dari 6 porsi diatas tidak berlaku penundaan angsuran dan pengurangan bunga. Yang kedua pada BAB 1 Pasal 1 POJK 11 thn 2020 hanya menyebutkan lembaga perbankan, tidak termasuk bank perkreditan dan lembaga pembiayaan non bank. Seperti pihak Leasing dan Unit Usaha Syariah.

Padahal pada realitanya, kebijakan Presiden dibuat karena memang fokus untuk membantu pelaku usaha UMKM serta driver ojek atau sopir taksi maupun para debitur lain yang sedang memiliki cicilan kredit. Dapat disimpulkan bahwa POJK 11 thn 2020 belum menkoordinasikan apa yang disampaikan oleh Presiden dengan pernyataan yang tercantum didalamnya.

Sehingga hal ini justru menjadi kendala bagi pelaku usaha UMKM, karena akibat dari terjadinya pandemi Covid-19 kondisinya semakin memprihatinkan yang berujung pada pertumbuhan ekonomi nasional tidak stabil bahkan sebagian kondisi menjadi semakin buruk.

Oleh: Dinda Azzahra Salsabila, Mahasiswa PKN STAN

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak