Dalam kajian-kajian mengenai puasa, maka kita akan pelajari bahwa takwa adalah tujuan dari diwajibkannya puasa atas ummat, seperti yang disebutkan dalam Surat Al-Baqarah ayat 183 yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa".
Syarah mengenai ayat ini pasti Anda sering dengar, bahkan sifatnya repetitif di setiap tahun saat memasuki bulan Ramadhan.
Ada banyak dimensi mengenai takwa. Yang umum diketahui adalah bahwa takwa merupakan sebuah bentuk kepatuhan terhadap syariat yang Allah tentukan atas ummat dengan melaksanakan segala perintahNya dan menjauhi segala laranganNya.
Dalam artinya yang paling sempit, orang yang bertakwa biasanya diimajinasikan sebagai orang yang waktu-waktunya diisi dengan hal-hal yang bersifat ritual seperti sholat, puasa, haji, zakat, dan tidak bermain judi, tidak minum arak/khamr, dan tidak mengkonsumsi daging binatang haram seperti babi atau anjing.
Hal-hal tersebut tentu saja tidak salah, bahkan merupakan bagian dari syariat yang wajib dijalankan oleh ummat. Namun, tentu saja dimensi takwa tidak sesempit itu. Kata takwa dan variannya dalam Al-Qur'an setidaknya tersebar di 14 surat.
Dengan begitu maka selayaknya kita menyelami makna takwa dengan lebih luas. Dan tulisan ini adalah salah satu upaya untuk menyelami luasnya makna takwa tersebut.
Agama pada hakikatnya adalah sebuah guidance. Panduan bagi manusia yang sejatinya adalah makhluk yang serba terbatas. Agama mengajak manusia untuk mengenali dirinya. Karena, hanya dengan mengenali dirinya, manusia bisa menjadi survivor dalam persaingan hidup di antara makhluk Tuhan lainnya.
Hanya dengan mengenali dirinya, manusia bisa mencapai potensi tertingginya dan menjadi khalifah di muka bumi. Dengan mengenali dirinya, manusia bisa mengenali Tuhannya. "Man arafa nafsahu arafa rabbahu", begitu kata seorang alim. Tanpa mengenal Tuhan, apalah arti ketakwaan, begitu kata saya.
Imam Ali bin Abi Thalib mengatakan bahwa "Pengetahuan yang paling bermanfaat adalah pengetahuan tentang diri" (Muthahari:1997). Pengetahuan tentang diri di sini tentu saja bukan sebatas kepada pengetahuan tentang nama, alamat, tanggal lahir, dll. Tetapi mencakup pengetahuan akan unsur-unsur yang ada pada dirinya, baik secara jasmani maupun rohani, serta relasi antar keduanya.
Kesadaran diri merupakan bagian dari unsur rohani yang terdapat dalam diri kita. Sadar diri merupakan pengetahuan akan diri kita yang bersifat fitri atau given. Muthahari menyebut sadar diri itu sama dengan Ego.
Saat manusia mengenal dirinya, maka dia memiliki pengetahuan tentang Ego-nya. Sadar diri ini berkembang seiring dengan bertambahnya pengetahuan atau informasi yang diperoleh manusia sepanjang hidupnya.
Kesadaran diri ini tidak bisa berdiri sendiri. Kesadaran diri kita bersifat mental atau ruhaniah sehingga membutuhkan "rumah" untuk bisa berdiam dan menjalankan fungsinya. "Rumah" itu adalah tubuh jasmani kita.
Tanpa tubuh jasmaniah, maka kesadaran diri akan kehilangan pijakan atau cangkang pelindung. Seperti software yang tidak memiliki hardware.
Unsur jasmaniah bisa diibaratkan jembatan yang menghubungkan kesadaran diri kita dengan realitas di luar diri kita. Kita mengenal adanya "others" yaitu segala sesuatu selain diri kita dengan mencerapnya melalui panca indera jasmaniah.
Melalui panca indera manusia memperoleh informasi-informasi dari luar dirinya untuk kemudian diolah, dimodifikasi, hingga akhirnya menghasilkan kebudayaan dan peradaban.
Mulla Shadra, dalam tafsir Surat Al'Alaa yang dikutip oleh Kerwanto (2019), menyatakan bahwa manusia merupakan sintesis dari dunia materi. Shadra menyatakan bahwa Tuhan telah mengumpulkan berbagai esensi dari seluruh unsur materi dalam rangkaian manusia.
Tubuh jasmani manusia adalah Mikrokosmos, atau miniatur dari alam semesta ciptaan Tuhan. Penciptaan manusia dan perkembangannya melibatkan berbagai unsur (materi) dari alam semesta.
Ekstensi atau perluasan tubuh jasmani kita berasal dari apa-apa yang kita konsumsi seperti daging (realitas hewani) dan tumbuh-tumbuhan (realitas nabati). Dari dua realitas tersebut, manusia memperoleh beberapa unsur untuk jasmaninya seperti protein, kalsium, asam amino.
Seluruh realitas hewani dan nabati tersebut tumbuh dengan menyerap materi-materi yang ada di bumi seperti mineral, organik, air, udara, dan renik. Dari sini bisa kita simpulkan bahwa terdapat keterikatan fisikal antara manusia dengan bumi.
Kita berasal dari bumi. Bukan dari bulan, atau planet lain dalam tata surya. Kita adalah ekstensi dari bumi itu sendiri.
Tidak berhenti di situ. Bumi adalah bagian dari keluarga planet yang mengitari Matahari. Matahari merupakan sumber energi utama bagi Bumi. Matahari menghasilkan miliaran kilowatt energi yang sebagiannya diserap oleh Bumi. Matahari adalah sumber utama energi panas bagi makhluk hidup di muka Bumi.
Sinar Matahari yang mencapai Bumi dibutuhkan oleh tumbuh-tumbuhan berklorofil untuk berfotosintesis. Fotosintesis inilah yang menghasilkan oksigen yang vital bagi makhluk hidup. Matahari adalah sumber vitamin D yang dibutuhkan oleh jasmani kita.
Matahari juga berperan penting atas terjadinya cuaca, iklim, hujan dan siklus alam lainnya yang terjadi di Bumi. Gaya gravitasi Matahari menahan Bumi agar tetap pada orbitnya sehingga tidak menjauh dari Matahari ataupun bergerak mendekati Matahari. Dua hal yang bisa berarti bencana bagi makhluk Bumi.
Lebih luas lagi, Bumi dan Matahari merupakan bagian dari sistem tata surya Bima Sakti atau Milky Way, yang tentunya memiliki relasi tersendiri. Begitu juga Bima Sakti, yang merupakan salah satu dari sekian banyak gugus bintang lainnya di alam semesta.
Ada puluhan galaksi di luar sana, baik yang sudah memiliki nama ataupun yang belum. Mulai dari Andromeda, Cartwheel, Bode, Magellan, Sombrero, hingga Centaurus. Inilah yang disebut dengan Makrokosmos.
Dengan fakta-fakta tersebut di atas, maka jelas sudah relasi antara manusia sebagai Mikrokosmos dengan alam semesta sebagai Makrokosmos. Manusia adalah bagian yang tidak terpisahkan dari alam semesta. Unsur-unsur alam semesta ada pada dirinya.
Pengetahuan manusia akan hal inilah yang disebut dengan kesadaran kosmis. Kesadaran yang membuat manusia merasa kecil dan tidak berarti dibandingkan dengan besar dan luasnya alam semesta ciptaan Tuhan.
Saat manusia memiliki kesadaran seperti ini maka dirinya akan melibatkan diri dalam segala hal yang mendukung keberlangsungan kehidupan. Manusia dengan kesadaran kosmis akan menjunjung tinggi martabat kehidupan.
Dia akan memelihara Bumi seperti memelihara dirinya sendiri. Dia akan menjauhi segala bentuk tindakan yang bisa merusak alam. Dia akan menghargai sesamanya karena sadar bahwa dirinya dan mereka adalah berasal dari Bumi yang sama. Dia akan berlaku adil terhadap sesama manusia, walaupun berbeda pendapat atau bahkan berseberangan sikap.
Dia akan menjauhi segala perbuatan keji dan melampaui batas. Bukankah ini bentuk ketakwaan? Mari simak beberapa ayat suci berikut:
"Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran." (QS.An-Nahl[16]:90).
"Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS.Al-Maa'idah[5]:8)
"Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya)." (QS.An-Naziat[79]:37-39.
Seorang psikolog asal Kanada, Richard Maurice Bucke, dalam bukunya Cosmic Consciousness: A Study in the Evolution of the Human Mind, menyebut kesadaran kosmik merupakan level kesadaran tertinggi yang dimiliki oleh manusia.
Kesadaran kosmik, menurut Bucke, adalah kesadaran yang menunjukkan bahwa kosmos (alam semesta) bukan tersusun dari benda-benda mati yang diatur oleh suatu hukum yang tidak sadar, kaku, dan acak atau serba kebetulan; tapi kesadaran ini menunjukkan realitas kosmos yang sebaliknya yaitu sesuatu yang bersifat immaterial, spiritual, dan hidup.
Semoga di bulan Ramadhan penuh berkah ini, kita bisa menggali dan mengambil hikmah dari tanda-tanda kebesaranNya yang tersebar di alam semesta maupun miniaturnya. Semoga hikmah tersebut mampu menggugah kesadaran kita dan membawa kita lebih dekat kepada ketakwaan.
Tulisan ini merupakan syarah dari ceramah online Ust. M.Rusli Malik pada 6 Mei 2020. Semoga beliau ridho dan senantiasa dalam naungan berkat & rahmat Allah SWT.
Oleh: Ryo Disastro / Pegiat Literasi Revolusi Kesadaran