Kata korupsi sudah tidak asing lagi bagi semua masyarakat di dunia. Ada banyak beberapa pengertian korupsi dari para ahli dan sumber. Black’s law dictionary —kamus hukum yang paling banyak digunakan di Amerika Serikat— menjelaskan bahwa korupsi adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan keuntungan yang tidak resmi dengan menggunakan hak-hak dari pihak lain, yang secara salah dalam menggunakan jabatannya atau karakternya di dalam memperoleh suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain, yang berlawanan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain.
Joseph Nye— salah satu dari 10 orang paling berpengaruh dalam hubungan internasional di Amerika Serikat— dalam bukunya Corruption and political development mendefinisikan korupsi sebagai perilaku yang menyimpang dari aturan etis formal yang menyangkut tindakan seseorang dalam posisi otoritas publik yang disebabkan oleh motif pertimbangan pribadi, seperti kekayaan, kekuasaan dan status.
Masih banyak lagi pengertian tentang korupsi dari para ahli tetapi kata kunci yang paling penting untuk memahami korupsi dari 2 pengertian tersebut adalah ‘penyalahgunaan kekuasaan’ dan ‘keuntungan sepihak’. Penyalahgunaan kekuasaan sebagai modus operandi praktik korupsi dan tujuannya adalah mencari keuntungan pribadi.
Di Indonesia, korupsi seakan-akan sudah menjadi budaya. Berita penangkapan oknum pejabat dan aparatur sipil negara perkara korupsi sudah tidak spesial lagi dilihat di media televisi dan koran. Menurut kementrian dalam negeri, dari tahun 2014-2019 terdapat 105 kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi daerah di 22 provinsi. Angka tersebut belum termasuk jumlah aparatur sipil negara yang tertangkap basah melakukan praktik korupsi.
Kasusnya pun bermacam-macam mulai dari penyuapan, pengadaan barang dan jasa, penyalahgunaan anggaran, tindak pidana pencucian uang, pungutan liar, pemerasan, perizinan, dan merintangi proses KPK.
Berdasarkan data KPK pada tahun 2014-2019 jenis kasus yang menempati peringkat pertama adalah penyuapan dengan 602 kasus diikuti dengan pengadaan barang dan jasa sebanyak 195 kasus, penyalahgunaan anggaran sebanyak 47 kasus, tindak pidana pencucian uang sebanyak 31 kasus, pungutan dan pemerasan sebanyak 15 kasus, perizinan sebanyak 13 kasus, dan merintangi proses KPK sebanyak 10 kasus.
Bayangkan, dalam kurun waktu 5 tahun terdapat total 913 praktik korupsi yang terjadi di Indonesia. Angka tersebut menunjukkan betapa buruknya kualitas birokrasi kita dalam menghadapi praktik korupsi.
Hukuman untuk Koruptor di Indonesia
Hukuman yang diberikan kepada pelaku korupsi pun tidak sebanding dengan perbuatan yang dilakukannya. Indonesia Corruption Watch menyatakan sepanjang tahun 2019 rata-rata hukuman yang dijatuhkan untuk pelaku korupsi hanya 2 tahun 7 bulan pidana penjara. Bahkan, terdapat 54 terdakwa yang divonis bebas dan lepas dari pengadilan. Tren vonis ringan ini pun meningkat sepanjang tahun 2019.
Hal ini disebabkan vonis yang dijatuhkan pengadilan lebih rendah daripada tuntutan yang disampaikan penuntut baik kejaksaan maupun komisi pemberantasan korupsi yang memberikan tuntutan 3-5 tahun. Denda yang diberikan kepada pelaku korupsi pun tidak sebesar dari uang yang sudah ia curi.
Berkat RKUHP, denda paling banyak yang dapat diberikan untuk koruptor turun dari 1 milliar menjadi 500 juta. Hukuman ini tidak membuat pelaku korupsi menjadi jera tetapi malah membuat pelaku korupsi dapat melakukan perbuatannya lagi akibat hukuman yang meringankan setiap orang melakukan perbuatan korupsi.
Padahal, jika kita melihat hukuman untuk pelaku korupsi di negara lain mereka sangat memprioritaskan kejujuran dan memastikan bahwa pelaku korupsi di negara akan mendapatkan hukuman yang sangat berat. Contohnya, di negara China apabila terdapat oknum yang melakukan korupsi dan merugikan negara lebih dari 100.000 yuan atau sekitar Rp.215.000.000,00 akan dikenakan hukuman paling berat yaitu hukuman mati.
Tidak hanya china, negara tetangga kita Malaysia juga menghukum berat pelaku korupsi di negara mereka. Malaysia membuat undang-undang antikorupsi dan membentuk Badan Pencegah Rasuah (BPR) menegaskan barangsiapa yang terbukti melakukan praktik korupsi akan dijatuhi hukuman gantung.
Jika kita lihat dari sisi harga diri, Jepang adalah negara yang apabila politisinya terdapat melakukan praktik korupsi. Mereka akan membersihkan nama mereka dengan cara mengambil nyawa mereka sendiri. Sebaliknya di Indonesia, korupsi di Indonesia seakan-akan bukan merupakan kejahatan luar biasa melainkan kejahatan biasa.
Pelakunya pun dapat dengan santai keluar dari penjara dalam kurun waktu beberapa tahun dengan denda yang tidak sebanding dengan uang yang mereka curi.
Meskipun pelakunya tetap ditangkap dan dimasukkan penjara, mereka masih bisa keluar masuk penjara dan jalan-jalan. Bahkan, mereka dapat melakukan transaksi dengan orang yang mempunyai ‘authority’ di sana terkait sel dan barang pribadi mereka.
Aparat dan Korupsi
Tulisan ini merupakan tanggapan terhadap video yang pernah viral di sosial media perihal dua orang oknum polisi yang berasal dari Bali melakukan kegiatan pungutan liar terhadap turis Jepang.
Dua orang polisi tersebut meminta seorang turis Jepang uang sebesar Rp1.000.000,00 disebabkan turis itu mengendarai motor tanpa menyalakan lampu utama sepeda motor pada siang hari. Padahal, jika kita mengikuti ketentuan undang-undang tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) pengemudi yang tidak menyalakan lampu utama pada siang hari dipidana kurungan paling lama 15 hari dan denda paling banyak Rp100.000,00.
Polisi yang bukan seorang oknum akan memberikan pengarahan kepada turis tersebut dan memberikan sanksi sesuai perbuatan yang dia langgar. Namun, Perbuatan dua oknum polisi tersebut sangat tidak mencerminkan tugas mereka yaitu memberikan pelayanan dan pengarahan kepada masyarakat apalagi perbuatan tersebut dilakukan terhadap warga negara asing.
Perbuatan dua oknum polisi tersebut tidak hanya membuat malu negara kita tetapi juga menunjukkan kualitas sesungguhnya birokrasi kita dan berlaku untuk semua pejabat yang menduduki jabatan pemerintahan serta aparatur sipil negara yang harusnya melayani dan mengayomi masyarakat tanpa melihat warga negara mereka.
Presiden Jokowi pernah berkata, “Membiasakan yang benar, bukan membenarkan kebiasaan”. Perkataan presiden kita perlu didengar oleh semua orang tidak melihat seberapa besar kekuasaan yang kita miliki. Pejabat melakukan tugasnya mendengar aspirasi rakyat. Polisi melakukan tugasnya melayani masyarakat. Presiden melakukan tugasnya menjadi pemimpin rakyat.
Revolusi Mental Birokrasi Pemerintah
Kita memerlukan revolusi mental di hidup kita dalam bermasyarakat dan bernegara. Kita memerlukan revolusi mental dalam birokrasi pemerintahan kita. Kita memerlukan mental yang dapat dengan bangga kita bilang sebagai mental orang Indonesia.
Ketika kita telah membiasakan yang benar tanpa melihat kekuasaan yang kita miliki, pada momen itulah kita telah sadar bahwa kita sudah menjalankan wewenang dengan semestinya serta kekuasaan yang kita miliki tidak hanya menjadi kekuatan untuk diri kita sendiri tetapi juga menjadi kekuatan yang dapat kita berikan kepada saudara-saudari kita.
“Government’s first duty is to protect the people, not run their lives.“ –Ronald Reagan
Referensi:
- https://www.beritasatu.com/yudo-dahono/nasional/622645/icw-sebut-koruptor-di-indonesia-masih-dihukum-ringan
- https://www.antaranews.com/berita/1153224/65-persen-jenis-perkara-suap-dominasi-kasus-korupsi-di-indonesia
- https://aclc.kpk.go.id/materi/berpikir-kritis-terhadap-korupsi/infografis/dasar-hukum-pemberantasan-korupsi
- https://www.youtube.com/watch?v=XfpBw9F5OKo