Menurunnya Kualitas SDM sebagai Dampak dari Kemiskinan dan Gizi Buruk

Tri Apriyani | adilah citra anindya
Menurunnya Kualitas SDM sebagai Dampak dari Kemiskinan dan Gizi Buruk

Hingga saat ini kemiskinan masih menjadi masalah yang pelik untuk dihadapi bangsa Indonesia. Krisis moneter yang terjadi di Indonesia tahun 1997/1998 silam, menimbulkan pengaruh negatif terhadap kondisi ekonomi baik makro atau mikro di Indonesia. Pada bulan maret 2015, menurut data Badan Pusat Statistik DKI Jakarta, data masyarakat miskin mencapai 398,92 ribu orang.

Di perkotaan masyarakat miskin dilihat dari kepala keluarga yang bekerja pada sektor informal, pendidikan yang rendah, menetap di kawasan kumuh yang rawan bencana, dan tidak memiliki jaminan suatu bangunan atau rumah yang kuat. Situasi ini berdampak pada tumbuh kembang anaknya terutama pada balita.

Pembangunan yang terjadi di Indonesia harus diikuti dengan perbaikan kualitas sumber daya manusianya, salah satunya dengan memperhatikan status gizi pada balita. Masalah gizi balita masih menjadi perhatian yang cukup penting, karena tak sedikit balita di Indonesia yang mengalami masalah gizi buruk.

Kesulitan ekonomi merupakan tekanan yang menambah beban mental orangtua sehingga dapat mempengaruhi kesehatan mental orangtua (Chaffin et.al. 1996). Tanpa kita sadari kualitas pengasuhan orangtua merupakan hal krusial bagi perkembangan anaknya.

Mengapa masalah gizi balita penting? Karena masalah ini akan menyebabkan semakin menurunnya tingkat kecerdasan, produktifitas dan kreatifitas yang dimiliki, hal ini merupakan bentuk nyata penurunan kualitas sumber daya manusia yang akan terjadi nantinya.

Hasil Riskesdas tahun 2013 menyatakan bahwa prevalensi gizi kurang dan buruk pada tingkat nasional mencapai angka 13,8 persen dan 3,9 persen. Menurut Badan Pusat Statistik prevalensi kekurangan gizi di provinsi Jawa Barat mencapai 13,20 persen pada tahun 2018. Sedangkan jika kita khususkan lagi dengan sumber data dari dinas kesehatan kota depok pada tahun 2016 dengan pengukuran antropometri yang menggunakan indeks berat badan menurut umur (BB/U) dan dikategorikan dalam gizi lebih, gizi baik, gizi kurang dan gizi buruk.

Pada tahun 2016 balita yang ditimbang sebanyak 133.466 balita. Jumlah balita gizi lebih sebanyak 8.094 balita, jumlah balita gizi baik sebanyak 121.397 balita, jumlah balita gizi kurang sebanyak 4.029 balita, dan kasus balita gizi buruk sebanyak 85 balita.

Status gizi pada balita dipengaruhi oleh asupan yang dimakan setiap harinya. Selain itu, tingkat asupan dapat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi keluarga yang belum mencukupi. Kondisi ekonomi yang rendah atau miskin dapat mempengaruhi kebutuhan gizi pada balita yang dominan berasal dari makanan yang dimakan setiap harinya.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Depok pada tahun 2018 memiliki jumlah presentase penduduk miskin sebesar 2,14 persen. Jumlah ini lebih rendah jika dibandingkan dengan presentase tingkat kemiskinan provinsi jawa barat sebesar 7,45 persen. Berdasarkan paparan tersebut, diperoleh kesimpulan bahwa masalah kemiskinan masih menjadi masalah yang tidak boleh dipandang sebelah mata oleh Indonesia. Jika hal ini tidak segera mungkin diatasi maka akan menyebar kepermasalahan lainnya. Karena adanya masalah kemiskinan permasalahan gizi buruk pada balita akan ikut membludak.

Jika hal ini dibiarkan kualitas sumber daya manusia 15 tahun mendatang akan banyak yang kurang produktif, oleh karenanya pembangunan di Indonesia akan ikut terhambat. Maka dari itu pemerintah harus memberikan perhatian lebih perihal masalah gizi buruk balita di indonesia dan lebih memperhatikan faktor lain yang dapat memicu hal ini seperti permasalahan-permasalahan di bidang ekonomi.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak