Kedaulatan Indonesia dari Perspektif Filsafat Politik Agamben

Tri Apriyani | Anggy Fitri
Kedaulatan Indonesia dari Perspektif Filsafat Politik Agamben
Ilustrasi bendera indonesia (pixabay/andreas danang)

Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 menimbulkan pro kontra dari beberapa pihak. Negara mengakui kemerdekaan Indonesia ialah Mesir, Arab Saudi, Suriah, Irak, Iran, Yaman, Afghanistan, dan Turki. Akan tetapi masih banyak negara yang belum mengakui salah satunya yaitu Belanda yang saat itu sedang berkeinginan untuk merebut kembali kekuasaannya.

Peristiwa proklamasi kemerdekaan Indonesia menjadi momen yang paling membahagiakan bagi rakyat yang telah berjuang di bawah kerasnya penjajahan. Namun jika dilihat dari persiapan dan kelengkapannya pada saat itu hingga berjalan saat ini, apakah hal tersebut telah cukup untuk dikatakan Indonesia memiliki kedaulatan penuh atas negaranya? Dalam menjawab hal tersebut, dapat melihat dari filsafat politik dan sejarah.

Demokrasi

Semenjak proklamasi kemerdekaan, Indonesia menjadi negara yang mengalami beberapa pergantian sistem pemerintahan. Demokrasi menjadi sistem yang dipakai hingga saat ini. Menurut pandangan seorang filsuf asal Italia yang bernama Giorgio Agamben dalam bukunya yang berjudul Democracy in What State menjelaskan bahwa demokrasi dianggap sebagai suatu model bagaimana kekuasaan dilegitimasi dan dipraktikkan dalam bentuk kepemerintahan yang mampu menyentuh rasionalitas politik serta ekonomi, sebelum secara mentah-mentah menerima posisi de facto dari demokrasi liberal.

Demokrasi di Indonesia tidak langsung berjalan mulus tanpa adanya percobaan terlebih dahulu. Sistem Demokrasi Parlementer yang awalnya dianut harus jatuh karena fragmentasi politik yang keras. Kemudian berganti ke Demokrasi Terpimpin, yang konon katanya konsep asli Indonesia.

Akan tetapi tetap tidak berjalan sepenuhnya, sebab mendapatkan kritik keras dari para petinggi seperti wakil presiden pada masa itu yakni Muhammad Hatta. Demokrasi Terpimpin berakhir sesuai dengan berakhirnya jabatan presiden yang dipegang oleh Soeharto, selanjutnya berganti Demokrasi Pancasila hingga sekarang.

Sesuai dengan perspektif Agamben, demokrasi di Indonesia dijalankan dengan trias politika dimana kekuasaan pemerintahan dibagi menjadi eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Namun prinsip tersebut banyak menimbulkan penyimpangan-penyimpangan karena tidak berimbangnya pemisahan kekuasaan, dimana salah satunya terlalu mendominasi.

Malpraktik adanya sistem dianggap sebagai paradoks demokrasi yang dijelaskan oleh Agamben merujuk pada teori politik inheren di dalamnya. Indonesia dalam kedaulatannya berada di tangan rakyat, akan tetapi masih belum melaksanakan prinsip demokrasi sepenuhnya. Bahkan sejarah pernah menjelaskan bahwa adanya totaliter pada masa Soeharto, menempatkan Indonesia dalam krisis demokrasi.

Hak Asasi Manusia

Awal terbentuknya negara Indonesia, banyak sekali hak-hak rakyatnya yang masih belum dapat dipenuhi, hal ini dikarenakan adanya faktor ekonomi maupun politik yang baru saja mengalami tatanan baru. Seluruh hak-hak rakyat menjadi hal yang tertinggi dalam kedaulatan bagi negara. Akan tetapi, saat itu hingga akhir tahun 1998 menjadi catatan kelam dalam perjalanan sejarah yang di dalamnya banyak sekali korban jiwa atas keputusan-keputusan pemerintah.

Rakyat berusaha untuk menyuarakan aspirasi, namun seolah tidak ada yang terdengar hingga ke telinga para pejabat pada masa itu. Kelaparan terjadi di berbagai sudut daerah hingga maraknya kasus kriminalitas demi melindungi hak untuk hidup.

Hak-hak rakyat telah diatur rapi hingga sedemikian rupa di bawah aturan atas nama hak asasi manusia. Negara berperan sebagai komunitas yang dilembagakan demi kehidupan dan kesejahteraan manusia di dalamnya. Oleh karena itu, dengan kedaulatan negara akan sangat bergantung pada kesejahteraan rakyat, dimana rakyat di dalamnya wajib untuk mentaati tanpa harus melanggarnya.

Tidak ada seorangpun yang ada di luar jangkauan hukum. Politik memegang peranan penting dibandingkan dengan hak-hak rakyatnya. Melalui bukunya yang berjudul Homo Sacer: Sovereign Power and Bare Life, Agamben menyebutkan adanya homo sacer (manusia telanjang) dimana diartikan manusia mengalami adanya kecenderungan dalam menciptakan garis pemisahan antara mereka yang layak mendapatkan tempat (bios) dan yang tidak layak (bare life).

Dalam catatan sejarah, dahulu meskipun adanya pemilihan secara langsung dari rakyat, dalam praktiknya masih banyak yang menjadi wakil rakyat berasal dari keturunan. Hal inilah yang menjadikan politik dapat memisahkan hak asasi manusia.

Kedaruratan Negara

Agamben mengkritisi adanya demokrasi dan proses hukum yang masih sering ditangguhkan, prinsip pemisahan kekuasaan yang sering diabaikan, dan hak-hak asasi manusia yang masih sering dilanggar dapat terjadi ketika adanya keadaan darurat atau keadaan pengecualian. Sebenarnya kondisi darurat disebabkan adanya peristiwa-peristiwa yang dapat membahayakan rakyat seperti adanya perang saudara, pemberontakan, invasi asing, dan ancaman terorisme.

Indonesia tanpa disadari telah sering mengalami keadaan darurat negara, hal ini dapat dilihat dari banyaknya peristiwa dimana para kekuasaan eksekutif sering mengatasnamakan kepentingan rakyat dan nasional, meskipun dalam realitanya hal tersebut justru tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam kondisi seperti itu, maka tidak menutup potensi untuk rakyat berstatus sebagai homo sacer yang dapat menjadi objek kekerasan tanpa adanya tameng sebuah perlindungan hukum yang dapat membantunya untuk mendapatkan haknya.

Dalam keadaaan darurat, maka akan timbul tiga hal penting. Pertama, hubungan politik antara negara dan rakyat bukanlah perlindungan, tetapi penelantaran. Kedua, tindakan fundamental negara dalam kekuasaan berdaulat ialah menghasilkan homo sacer yang terpisahkan antara hak dan cara hidupnya. Terakhir, ruang publik politik bukan menjadi paradigma kehidupan biopolitik manusia, melainkan menjadi kamp.

Beberapa kasus penangguhan hukum yang terjadi di Indonesia saat keadaan darurat antara lain penelantaran anggota dan simpatisan PKI pada masa orde baru, kekerasan terhadap jamaah Ahmadiyah, dan yang sering terjadi bahkan sampai saat ini ialah diskriminasi terhadap minoritas kaum Tionghoa.

Terlepas dari adanya berbagai macam permasalahan yang menimbulkan adanya kedaruratan negara bagi Indonesia, Indonesia memiliki cara tersendiri dalam meraih dan memegang kedaulatannya.

Sebagai generasi penerus bangsa, sudah sepatutnya kita melihat dari sudut pandang bahwa perjuangan demi mencapai kata kemerdekaan bukanlah hal yang tampak mudah melainkan butuh kesatuan yang utuh, sebab itu dalam era ini perlunya kesadaran untuk menghargai jasa para pahlawan dan yang bertugas sebagai wakil dari rakyat bisa bekerja sesuai tanggungjawabnya. Persoalan-persoalan akan terus muncul sehingga kedaruratan negara akan sulit dihindari, namun perlunya solusi dengan kesatuan dan saling kepercayaan sesuai tugasnya sangat diperlukan, serta hukum yang berlaku perlu ditegakkan.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak