Meninjau Kembali Ronggeng Dukuh Paruk, Novel Karya Ahmad Tohari

Tri Apriyani | Estepani Junita
Meninjau Kembali Ronggeng Dukuh Paruk, Novel Karya Ahmad Tohari
Ahmad Tohari. (ANTARA/Teresia May)

Siapa yang tak kenal Novel Ronggeng Dukuh Paruk? Novel melegenda karya Ahmad Tohari, seorang penulis asal Banyumas. Beliau adalah sastrawan ternama yang pandai mengamati fenomena-fenomena sosial budaya sekaligus berani mengungkap fakta kemanusiaan pada karya-karyanya yang fenomenal hingga saat ini.

Salah satu karyanya yang sukses menyorot perhatian adalah Novel Ronggeng Dukuh Paruk. Novel ini menceritakan perjalanan hidup seorang ronggeng yang pernah menjadi saksi kejamnya kehidupan pada masa G30SPKI yang bernama Srintil. Pada mulanya, novel ini menuai banyak kontroversi karena dianggap dekat dengan PKI (Partai Komunis Indonesia) sehingga menyebabkan penerbitannya terancam dibatalkan.

Sebelum melanjutkan menulis, Ahmad Tohari sempat dirundung kegundahan antara menuntaskannya atau tidak. Kecemasan dan kekhawatiran dalam hatinya saat memikirkan kalau-kalau ia akan menghadapi masalah besar membuatnya memikirkannya berulang kali. Namun, anak yang lahir dari pasangan suami istri Bapak Muhammad Diryat dan Ibu Saliyem ini tak mau menyerah. Ia memilih lebih mengedepankan sisi kemanusiaannya daripada terus mempertimbangkan keraguan dalam hatinya.

Pada akhirnya, ia berhasil menceritakan seluruh alur kehidupan seorang gadis bernama Srintil yang menjadi ronggeng di sebuah desa yang disebut Dukuh Paruk, desa kecil yang dirundung kemiskinan, kelaparan, dan kebodohan. Dengan adanya Srintil sebagai ronggeng di desa tersebut memberikan semangat kehidupan baru pada desa kecil tersebut. Karena ronggeng adalah lambang kehidupan sekaligus jati diri bagi sebuah desa.

Namun menjadi ronggeng ternyata tidak semudah yang Srintil bayangkan, ia harus melewati banyak hal untuk menjadi seorang ronggeng, bermula dari tradisi ‘bukak klambu’ yang mengharuskannya merelakan kesuciannya sebagai bagian dari ritual hingga harus berjoget dan tidur dengan siapa saja yang bisa membayarnya. Secara tidak langsung, hal tersebut sangat menjatuhkan harga diri Srintil sebagai perempuan.

Tidak berhenti sampai di situ, pergolakan politik pada masa itu membuat Dukuh Paruk tertimpa malapetaka karena kebodohan mereka pada politik. Semua orang di desa tersebut, tak terkecuali Srintil, ditahan dan divonis sebagai pengkhianat negara serta diperlakukan secara semena-mena.

Pengalaman pahit yang dirasakan Srintil selama menjadi tahanan politik seperti menyadarkannya akan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Oleh karena itu, setelah bebas ia berniat memperbaiki citranya yang sempat tercoreng dengan berhenti melayani lelaki manapun dan menjadi wanita somahan seutuhnya.

Lewat kisah tersebut, kita bisa melihat banyak nilai-nilai moral kemanusiaan dalam hidup Srintil yang ingin disampaikan Ahmad Tohari. Terlepas dari kontroversinya, pembaca seperti diingatkan untuk tidak melupakan sisi kemaanusiaan dalam diri mereka, terlebih di saat menghadapi musibah akibat pandemi corona saat ini.

Seperti yang kita ketahui, virus corona telah menjadi pandemi global yang menyerang Indonesia sejak awal tahun 2020. Virus ini sangat berbahaya hingga berpotensi mematikan siapapun yang menjadi inangnya. Ketika informasi tersebut sampai ke telinga masyarakat, banyak dari mereka yang menjadi panik, berbondong-bondong membeli bahkan memborong berbagai APD seperti masker, hand sanitizer, face shield, dan lain-lain dengan jumlah yang tidak sedikit. Akibatnya, APD menjadi langka dan harganya melonjak naik.

Tak hanya itu, seiring berjalannya waktu jumlah kasus meninggal terus bertambah. Semakin banyak korban jiwa, semakin menipis pula area pemakamannya. Namun di tengah situasi tersebut, beberapa masyarakat yang masih saja menolak jenazah korban untuk dimakamkan di wilayah mereka. Hal itu mereka lakukan dengan alasan takut tertular virus dari jenazah-jenazah para korban.

Dari dua kasus di atas dapat kita lihat wujud nyata keegoisan manusia di tengah situasi pandemi saat ini. Mulai dari masyarakat yang berbondong-bondong membeli APD untuk diri mereka sendiri, tanpa memikirkan bahwa masih banyak tenaga medis dan orang yang terjangkit kekurangan APD untuk mereka gunakan. Hingga masyarakat yang tetap menolak jenazah untuk dimakamkan di wilayahnya, meski tahu area lahan pemakaman sudah sangat menipis.

Melalui Novel Ronggeng Dukuh Paruk, dapat kita cermati bahwa penulis ingin menyampaikan arti dan makna kemanusiaan bagi siapa saja yang membacanya. Ahmad Tohari seperti berpesan agar dua kasus di atas tidak terulang kembali. Beliau tidak menginginkan manusia menjadi egois dan menghiraukan sisi kemanusiaannya. Justru, alangkah baiknya manusia lebih mengedepankan kepeduliannya terhadap orang lain dengan saling membantu dan tolong menolong.

Bila itu terwujud, Tohari yakin hidup yang kita anggap sulit akan terasa lebih mudah. Sisi kemanusiaan dalam hati manusia pun tidak akan hilang meski akan terjadi musibah besar di masa depan. Karena itulah, mari sama-sama jadikan musibah meluasnya pandemi virus corona ini sebagai momentum untuk memperkuat jiwa kemanusiaan sesama manusia agar hidup yang kita jalani menjadi lebih indah.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak