Pada tahun 1998, Indonesia dihadapkan dengan kondisi sistem keuangan yang sulit. Kala itu, terjadi banyak kerusuhan sebagai aksi protes terhadap pemerintah yang gagal menghadapi krisis moneter dimana nilai tukar rupiah jatuh dan menyebabkan banyak perusahaan gulung tikar, sehingga terpaksa memberhentikan para karyawannya akibat tidak mampu membayar upah.
Dapat dikatakan pada saat itu negara sedang mengalami kekacauan dalam sistem ekonomi. Belajar dari peristiwa tersebut, Pemerintah Indonesia mengambil langkah berbeda karena kondisi saat ini yang memang berbeda dengan tahun 1998 yang disebabkan oleh kerentanan struktur ekonomi sendiri. Namun, krisis tahun ini disebabkan oleh virus, makhluk tak kasat mata yang menyebabkan angka pengangguran dan masalah sosial di tengah masyarakat semakin meningkat.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada periode Agustus 2020, jumlah pengangguran di Indonesia menunjukkan peningkatan sebanyak 2,67 juta orang. Jumlah angkatan kerja di Indonesia yang menganggur menjadi sebesar 9,77 juta orang.
Roda ekonomi yang seakan terhenti, namun dengan optimis pemerintah terus meminimalisir dengan melakukan banyak kebijakan dari mulai kebijakan fiskal hingga kebijakan moneter. Semua cara dilakukan untuk menghadapi kondisi ini. Karena jika sampai saat ini belum dapat ditaklukkan, maka potensi krisis ekonomi akan terus ada.
Berbicara mengenai moneter, tentu saja kavlingannya Bank Indonesia (BI). Pemerintah melalui BI terus mengeluarkan berbagai kebijakan moneter dalam merespons penurunan ekonomi akibat Covid-19, misalnya penurunan suku bunga acuan BI (7-day reverse repo rate, BI7DRR) yang telah memasuki episode ke sekian, hingga bertahan di 4,5% saat ini.
Ketika BI menurunkan suku bunga acuan, maka harapannya Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) juga turut menurunkan suku bunga pinjaman (kredit). Penurunan suku bunga kredit diharapkan akan mendorong peningkatan sektor usaha karena turunnya biaya modal perusahaan (kredit lebih murah). Kebijakan ini akan didukung oleh LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) dengan menurunkan suku bunga penjaminan sehingga membuat kebijakan moneter menjadi lebih efektif.
Di masa krisis, BI tidak bisa sembarangan mencetak uang karena jumlah uang harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat serta mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi. BI wajib menjaga mekanisme pengedaran uang kartal (kertas dan logam) yang berpedoman pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 mengenai Mata Uang.
Karena mencetak uang dalam jumlah besar tanpa perhitungan yang tepat, apalagi di tengah penurunan ekonomi justru akan berbahaya di kemudian hari. Mengenai stabilitas moneter, BI dimandati Undang-Undang untuk hal ini, dalam kondisi ketidakpastian yang tinggi, ditambah rupiah yang tergolong mata uang lemah (soft currency) yang sangat mudah terombang-ambing nilainya.
Mengapa demikian? Bayangkan mata uang sebagai barang. Harga barang bisa naik, bisa juga turun, tergantung permintaan dan penawaran. Ketika banyak yang membeli, maka harga barang akan naik akibat jumlahnya yang makin terbatas, begitupun sebaliknya. Artinya, ketika nilai dolar AS (USD) naik (rupiah melemah), berarti jumlah US$ berkurang karena permintaannya meningkat.
Pada kondisi ini, nilai rupiah akan terjun, seperti akhir Maret lalu, yang sempat menyentuh Rp16.000-an per US$. Sehingga BI terus menjaga stabilitas nilai tukar rupiah atau biasa disebut dengan analis sebagai intervensi pasar untuk menstabilkan kembali nilai rupiah, agar tidak semakin melemah.
Menambah jumlah US$, menjaga ketersediaan likuiditas agar US$ kembali banyak di pasar. Namun dengan cara ini, pemerintah harus mengorbankan cadangan devisanya dalam jumlah yang besar sejak awal 2020. Jika ditotal sampai dengan awal Mei jumlahnya telah berada pada kisaran Rp503,8 triliun.
BI juga menyediakan likuiditas di pasar perbankan melalui mekanisme repo (term-repurchase agreement), swap valuta asing, hingga menurunkan giro wajib minimun (GWM) sehingga kondisi likuiditas perbankan saat ini dibilang sangat cukup. Kebijakan ini tampaknya efektif karena didukung oleh stimulus fiskal negara (insentif dari sisi perpajakan), bantuan sosial untuk meningkatkan konsumsi rumah tangga, dan relaksasi aturan mikroprudensial dari OJK yang mempermudah pembiayaan perbankan ke UMKM dan dunia usaha dalam rangka pemulihan ekonomi.
Pada tanggal 6 Desember 2020 diberitahukan bahwa 1,2 juta vaksin Covid-19 Sinovac tahap pertama tiba di Indonesia. Dilansir dari akun instagram resmi @jokowi yaitu Bapak Ir. H Joko Widodo Presiden Republik Indonesia, pada tanggal 16 Desember 2020 menjelaskan bahwa setelah menerima masukan dari masyarakat dan melakukan kalkulasi ulang keuangan negara, maka vaksin Covid-19 untuk seluruh masyarakat Indonesia adalah Gratis alias tidak dikenakan biaya sama sekali. Sehingga tidak ada alasan bagi masyarakat untuk tidak mendapatkan vaksin atau meragukan keamanan vaksin tersebut.
Namun masih ada catatan seperti masalah delivery, masalah kepercayaan masyarakat, dan masalah distribusi bagaimana target dengan minimal 100 juta penduduk sudah bisa tervaksin. Sehingga diharapkan program vaksinasi nantinya dapat merata dan sesuai waktu agar perekonomian Indonesia di tahun 2021 bisa segera membaik yang nantinya juga akan berpengaruh pada seluruh sektor kehidupan. Karena jika vaksinasi gagal, maka akan berimbas pada kondisi perekonomian.
Menurut Direktur Utama PT Bank Central Asia (BCA) Jahja Setiaatmadja memperkirakan kondisi perekonomian Indonesia akan pulih atau normal kembali pada tahun 2022. Dunia perbankan sendiri masih terus memantau bagaimana dampak kehadiran vaksin Covid-19 di Indonesia untuk kembali normal seperti sebelum adanya virus Covid-19 yang tentunya menjadi harapan bersama.
Pemulihan ekonomi kedepan masih dalam ketidakpastian. Dari sisi moneter menunjukkan banyak pekerjaan telah diupayakan pemerintah. Tidak jelasnya kondisi ini membuat kita perlu waspada, yang jelas Covid-19 telah mengubah struktur ekonomi di dunia. Dari sisi moneter, diyakini otoritas moneter akan tetap menerapkan pelonggaran moneter untuk mendorong pertumbuhan. Harapannya apapun kebijakan yang telah dikeluarkan pemerintah dapat membawa ekonomi Indonesia ke kondisi yang lebih baik.
Oleh: Adela/Mahasiswa S1 Pendidikan Ekonomi 2018, Universitas Negeri Jakarta