Selama pandemi COVID-19 muncul istilah baru "doomscrolling" yang menggambarkan tindakan tanpa henti menggulir berita buruk di media sosial dan membacanya hingga muncul perasaan khawatir akan berita tersebut. Sayangnya kebiasaan tersebut telah menjadi kebiasaan yang umum di masa pandemi COVID-19 dimana biologi otak kita mungkin juga sedang berperan dalam hal tersebut, sehingga pikiran rentan mengalami stres.
Dikutip dari Sciencedaily.com (13/06/2021) bahwa para peneliti di Fakultas Kedokteran Universitas Washington di St. Louis telah mengidentifikasi area dan sel tertentu di otak yang menjadi aktif ketika seorang individu dihadapkan pada pilihan untuk belajar atau bersembunyi dari informasi tentang peristiwa tidak diinginkan yang kemungkinan besar tidak dapat dicegah oleh individu tersebut. Penemuan ini menjelaskan proses yang mendasari kondisi kejiwaan seperti gangguan obsesif-kompulsif dan kecemasan, belum lagi bagaimana kita semua mengatasi banjir informasi yang merupakan ciri kehidupan modern.
"Gaya hidup modern dapat membentuk kembali sirkuit di otak kita yang telah berevolusi selama jutaan tahun untuk membantu kita bertahan dalam ketidakpastian yang berubah," kata penulis senior Ilya Monosov, PhD, seorang profesor ilmu saraf, bedah saraf dan teknik biomedis.
Untuk menemukan sirkuit saraf yang terlibat dalam memutuskan apakah akan mencari informasi tentang kemungkinan yang tidak diinginkan, penulis pertama Ahmad Jezzini, PhD, dan Monosov mengajari dua monyet untuk mengenali sesuatu yang tidak menyenangkan yang mungkin dapat terjadi kepada mereka. Secara singkat monyet-monyet tersebut dilatih untuk memahami simbol-simbol tertentu dengan berbagai tingkat kepastian yang menandakan bahwa kemungkinan buruk akan datang kepada mereka.
![Ilustrasi monyet yang digunakan dalam percobaan penerimaan kemungkinan buruk. (Pixabay.com)](https://media.arkadia.me/artikel/funcrevidn/20210614000542-imgori-monkeys-4352588-1920.jpeg)
Para peneliti mengukur apakah hewan-hewan ingin tahu apa yang akan terjadi setelah mereka memperhatikan sinyal kedua atau mengalihkan pandangan mereka seolah tidak peduli terhadap hal tersebut.
Sama seperti manusia, kedua kera memiliki sikap yang berbeda terhadap berita buruk: Yang satu ingin tahu; yang lain memilih untuk tidak melakukannya. Perbedaan sikap mereka terhadap berita buruk sangat mencolok karena mereka memiliki kesamaan pikiran dalam hal berita baik.
Dengan mengukur secara tepat aktivitas saraf di otak saat monyet dihadapkan pada pilihan ini, para peneliti mengidentifikasi satu area otak, korteks cingulate anterior, yang mengkodekan informasi tentang sikap terhadap kemungkinan baik dan buruk secara terpisah. Mereka menemukan area otak kedua, korteks prefrontal ventrolateral, yang berisi sel-sel individu yang aktivitasnya mencerminkan sikap monyet secara keseluruhan tentang kemungkinan baik atau buruk.
Memahami sirkuit saraf yang mendasari ketidakpastian adalah langkah menuju terapi yang lebih baik untuk mengobati orang dengan kondisi kecemasan dan gangguan obsesif-kompulsif, yang melibatkan ketidakmampuan untuk mentolerir ketidakpastian hingga berakibat stres.
"Kita hidup di dunia tempat otak kita tidak berevolusi. Ketersediaan informasi yang konstan adalah tantangan baru yang harus kita hadapi. Saya pikir memahami mekanisme pencarian informasi penting bagi masyarakat dan kesehatan mental bahkan populasi" tutur Monosov, rekan profesor ilmu saraf.