Seret Nama Airlangga dan Luhut, Apa Itu Pandora Papers?

Hernawan | Muhammad Hafizh Ramadhan
Seret Nama Airlangga dan Luhut, Apa Itu Pandora Papers?
Ilustrasi Pandora Papers (VOA Indonesia)

Beberapa hari ini, masyarakat dihebohkan dengan berita soal Pandora Papers. Dirilis konsorsium jurnalis investigatif Internasional (ICIJ), Pandora Papers berisi dokumen yang memuat informasi rahasia tentang 14 perusahaan cangkang di negara suaka pajak. Terdengar familiar? Ya, dokumen Pandora sama seperti dokumen (Panama Papers) yang dirilis 2016.

Isinya pun kurang lebih sama, mengungkapkan kesepakatan bisnis dan aset rahasia milik pesohor di seluruh dunia, selain kaum miliarder. Ada kaum seleb seperti Shakira, bandit kriminal dan narkoba, hingga 330 politikus dari 90 negara. Mereka membeli aset atau mendirikan perusahaan cangkang di negara lain.

Perlu diketahui, perusahaan cangkang adalah perusahaan yang dipakai untuk transaksi fiktif atau menyimpan aset dengan menyamarkan pemilik sebenarnya. Meski tidak selalu bertujuan buruk, perusahaan cangkang di negara suaka pajak lekat dengan penghindaran pajak, suap, dan pencucian uang.

Dalam kasus dokumen ini, Raja Abdullah II Yordania adalah salah satu yang disebut. Ia tercatat punya 14 properti senilai 100 juta dolar AS di Malibu, Washington, London, dan Ascot.

Orang Indonesia juga ada. Dalam laporan Tempo berjudul "Garis Merah Dokumen Pandora", dua menko kabinet Jokowi tercatat dalam dokumen itu, mereka adalah Airlangga Hartarto dan Luhut Binsar Panjaitan.

Airlangga Hartarto dilaporkan punya 2 perusahaan cangkang di British Virgin Islands, yakni Buckley Development Corporation dan Smart Property Holdings Limited. Luhut Binsar Panjaitan dilaporkan menjabat di Petrocapital S.A., perusahaan cangkang di Republik Panama.

Juru bicara Luhut, Jodi Mahardi berdalih Petrocapital S.A., akan digunakan untuk pengembangan bisnis Luhut, tetatapi kemudian ia mundur. Sementara Airlangga mengaku tidak tahu soal pendirian Buckley Development dan Smart Property.

Apa bahaya modus penyembunyian aset seperti tertera dalam Pandora Papers ini? Pengalihan aset ke luar negeri umumnya dilakukan untuk menghindari pajak. Dengan hilangnya potensi pemasukan negara itu, agenda pemerataan terhambat.

Global Financial Integrity (GFI), mengungkap aliran dana gelap rata-rata dari Indonesia (2008-2017) mencapai 22,037 juta dolar AS atau sekitar Rp313 triliun per tahun. Angka itu setara 17% pendapatan atau 12% dari belanja APBN 2022. Kalau dana itu masuk ke negara, tentu bisa dipakai buat sekolah, rumah sakit, atau untuk bansos.

Nah, Oxfam yang merupakan organisasi nirlaba fokus dalam perubahan dan pembangunan masa depan terbebas dari kemiskinan, berharap pengungkapan Pandora Papers mendorong para orang kaya bayar pajak .

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak