Produksi gula merah di desa Todang-Todang, kecamatan Limboro, kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat, bisa dibilang masih menjadi mata pencaharian utama masyarakat di sana. Pekerjaan yang ditekuni masyarakat itu berjalan sejak dari nenek moyang mereka dan sampai hari ini terjadi secara turun temurun.
Salah satu orang yang masih memproduksi gula merah di tempat tersebut, ialah ibu Nia. Sosoknya sebagai perempuan tangguh dan masih semangat memproduksi gula merah bersama dengan anaknya. Padahal kondisi fisik ibu Nia, bisa dibilang sudah masuk kategori tua.
Dari dulu hingga sekarang, penjualan gula merah di desa Todang-Todang masih sangat sederhana, hanya melalui para tengkulak atau pedagang. Ibu Nia sendiri punya beberapa pedagang tetap untuk menjual gula merah yang ia buat, dan pedagang-pedagang tersebut punya jadwal masing-masing untuk membeli gula merah pada ibu Nia.
Ibu Nia yang bekerja sebagai pembuat gula merah, mengatakan bahwa pekerjaannya itu sangat butuh tenaga dan kerja keras yang mempuni. Menurutnya, bekerja sebagai pembuat gula merah harus siap sedia menyiapkan waktunya setiap hari untuk bekerja, tidak ada waktu libur bagi dia. Apabila dalam sehari berlibur diri, maka air aren yang akan dibuat gula merah pun pasti akan rusak, karena memang begitulah kondisinya untuk gula merah, itu sedikit ungkapan dari ibu Nia.
Mungkin karena sudah membudaya dan tidak enakan, kehadiran pedagang bagi ibu Nia dianggap sudah biasa saja, dan ibu Nia tidak bisa menjual gula merahnya itu tanpa perantara para pedagang-pedagang tersebut. Para pedagang bisa menentukan harga dan menawarkan harga pembelian kepada ibu Nia.
Menurut ibu Nia, harga gula merah yang ia jualkan tidak pernah menentu, selalu saja berubah-ubah sesuai yang dikatakan para pedagang. Jadi, pedagang akan menawarkan harga kepada ibu Nia sampai menua kesepakatan.
"Harga gula merah yang dikatakan pedagang kita bisanya mengikut saja, kita biasa atur harga gula merah dengan membandingkan harga yang dijualkan pembuat gula merah yang lain," kata ibu Nia yang raut wajahnya nampak pasrah pada keadaan.
Bagi ibu Nia, ia tidak bisa mematok harga gula merah yang akan dijualkan. Sebab, ibu Nia tidak tahu harga seutuhnya yang ada di pasar apalagi harga yang akan dibelikan oleh perusahaan. Penjualan gula merah di desa Todang-Todang melalui beberapa pedagang, pedagang membeli dari ibu Nia, kemudian pedagang itu menjualnya juga ke pedagang lain, dan begitu seterusnya, hingga harga gula merah itu pun memuncak dengan harga yang mahal. Tetapi, bagi ibu Nia, ia tetap menjualnya dengan harga murah sebagai produksi tangan pertama.
Padahal, seandainya pemerintah desa kreatif mengembangkan potensi lokal gula merah, mungkin saja patokan harga gula merah akan menentu dan lumayan tinggi pula, karena tidak melalui lagi perantara para pedagang atau tengkulak yang biasanya mengeruk keuntungan banyak. Ketika seperti demikian, tentu dapat menambah pendapatan desa dan terlebih dapat memberdayakan masyarakat desa dengan program pemerintah desa.
Harga gula merah yang tidak menentu menjadi perhatian khusus bagi pembuat gula merah di desa Todang-Todang, termasuk bagi ibu Nia sendiri. Bahkan, kisaran harga yang dijualkan pun termasuk kategori rendah yang hanya berkisar Rp 8.000 sampai Rp 15.000 per buah, dan itu tergantung pada kondisi, di samping itu pedagang pun dapat memutar harga, kapan harus turun dan kapan harus naik.