Tanggal 10 April 2022, bapak Saeni bersama keluarga harus terpaksa ke rumah sakit atas penyakit yang ia derita. Awalnya, rasa sakit yang ia derita masih bisa ditahan dan menjalani pengobatan di rumahnya, desa Todang-Todang, kecamatan Limboro, kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat.
Di rumahnya ia masih melakukan pengobatan secara tradisional dan meminta tolong kepada orang yang umum dikenal dengan sebutan dukun. Selama enam hari berobat kepada dukun, tetapi tak kunjung juga ada perubahan, bahkan terlihat penyakitnya semakin parah.
Menjelang satu hari sebelum berangkat ke rumah sakit, kondisi bapak Saeni semakin mengkhawatirkan. Titik kritisnya ia sudah tidak bisa makan, meskipun hanya tetesan air putih pun tidak bisa masuk di perut bapak Saeni.
Tak ada pilihan bagi keluarga untuk tidak membawa bapak Saeni ke rumah sakit, selama masih ada keinginan untuk mau sembuh. Satu-satunya cara meredam kondisinya mesti ada cairan yang bisa masuk ke dalam tubuhnya agar ada sedikit kekuatan.
Sekitar pukul 14.00 Wita, bapak Saeni diberangkatkan ke rumah sakit mengendarai mobil kepala desa Todang-Todang, bapak Moser. Pihak keluarga makin khawatir dan syok melihat kondisi bapak Saeni, tubuh yang dulu kekar, kini sudah lemas terbaring yang tak ada kekuatan apa-apa, bahkan minum sekalipun amatlah susah baginya.
Awalnya pak desa mengantar bapak Saeni ke Puskesmas Limboro, Puskesmas yang memang menjadi tempat berobat warga desa Todang-Todang. Namun, Puskesmas itu ternyata tak berjodoh dengan bapak Saeni untuk melakukan perawatan dan pengobatan beberapa hari ke depan. Akhirnya harus terpaksa dirujuk karena fasilitas di Puskesmas Limboro tidak memadai.
Pihak Puskesmas Limboro memberikan pilihan kepada keluarga bapak Saeni maunya dirujuk di mana, entah RSUD Polewali Mandar atau RSUD Majene. Namun, pihak keluarga lebih memilih dirujuk di RSUD Majene dengan beberapa pertimbangan, salah satunya dekat dengan rumah keluarga.
Ruangan Dahlia 5 Kelas III RSUD Majene
Sebelum ditempatkan di ruangan Dahlia 5 Kelas III Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Majene, bapak Saeni sempat dirawat dan diberikan lagi cairan di ruangan Instalasi Gawat Darurat (IGD). Perawat di sana agak kesal sedikit karena menurutnya kondisi bapak Saeni terlambat dilarikan ke rumah sakit, kondisinya sudah sangat parah.
"Kalau ada penyakit seperti ini, jangan langsung dukun yang tangani, segera larikan ke rumah sakit," ujar salah satu perawat di IGD RSUD Majene dengan nada memperingati keluarga bapak Saeni.
Setelah selesai mengurus berkas-berkas yang dibutuhkan, bapak Saeni dipindahkan di ruangan Dahlia 5 Kelas III untuk menjalani perawatan beberapa hari. Di ruangan itu, bapak Saeni dirawat dan menginap untuk menjalani kontroling dan pengobatan.
Mungkin terdengar kurang ajar dan tak tahu syukur, ruangan Dahlia 5 sempit dan pengap. Ya, memang tak bisa dipungkiri begitulah keadaan yang sebenarnya. Kondisi demikian memang patut diberikan kritik, karena dinilai fasilitasnya yang kurang memadai.
Padahal, samping kanan kiri ruangan Dahlia berdiri kokoh bangunan lain RSUD Majene yang melambung tinggi ke atas langit dengan bertingkat, entah ruangan apa itu juga tak jelas, intinya bukan hunian para pasien.
Hal yang menjadi catatan penting sebenarnya, ruangan Dahlia 5 yang termasuk bangunan lama belum direnovasi, padahal ruangan tersebut tak pernah kosong ditempati berobat bagi masyarakat golongan kelas bawah.
Jangankan renovasi, pengadaan kipas angin saja tidak ada, fasilitas di ruangan itu terlihat sudah lama. Di tambah pula ruangan yang sangat sempit dan pengap membuat anggota keluarga dan pasien harus menerima dengan lapang dada dirawat di ruangan tersebut.
Mungkin karena sudah menjadi sistem yang sudah membudaya, terjadi pertentangan kelas di dalam status sosial masyarakat. Masyarakat golongan menengah ke bawah selamanya akan tersisihkan, termasuk terdiskriminasi dalam mendapatkan pelayanan dan fasilitas yang baik, termasuk fasilitas yang didapatkan dalam ranah kesehatan.